Menjadi Kader Dakwah yang Baik

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Menjadi rijalud dakwah (kader dakwah) yang baik bukanlah sebuah hasil, melainkan proses yang perlu selalu diupayakan dengan memperkuat kepemahaman dan kesungguhan dalam beramal. Di antara kader-kader yang baik itu, ada yang menjadi baik dengan kuatnya ibadah yang mereka lakukan; Ada pula baik karena hebat dalam keilmuan; Bahkan ada juga yang baik lantaran ekspansi dakwahnya yang luar biasa. Mereka menjadi baik karena melakukan kebaikan. Itulah bukti baiknya iman mereka.

Namun ibarat sebuah besi. Hanya mereka yang terasah secara terus meneruslah yang akan menjadi pisau yang tajam dan selalu mampu memotong dan menghancurkan kebatilan-kebatilan. Boleh jadi seorang kader dakwah memiliki kebaikan yang membuat mereka baik, akan tetapi jika tidak terus di asah tidak menutup kemungkinan dirinya akan tumpul dan rusak. Begitu pula seorang kader dakwah yang sangat bersemangat beramal tapi tidak diiringi dengan proses tarbiyah yang sehat, maka cepat atau lambat akan segera “tumpul dan rusak”. Ini juga berlaku sebaliknya. Maka dari itu, sebuah pisau yang baik adalah yang tajam, dipakai, lalu tumpul, diasah, tajam lagi, dipakai lagi, lalu tumpul lagi, diasah lagi, dan seterusnya. Proses ini berlangsung terus menerus, tidak terputus. Dengan begitu, pisau akan terus dalam keadaan baik dan memberi manfaat.

Di sinilah terdapat sebuah pola yang mengagumkan, bahwa untuk tetap menjadi kader yang baik diperlukan satu syarat, yang mana syarat ini bisa menentukan kualitas daya tahan mereka dalam berdakwah, yaitu konsistensi. Nama lain dari konsistensi adalah berkesinambungan, berkelanjutan, kontinyu, terus menerus, stabil, langgeng, atau bisa juga disebut istiqamah.

Katakanlah ada kader dakwah yang sangat semangat berdakwah. Dalam satu pekan dirinya getol hadir di setiap pertemuan ataupun agenda-agenda dakwah tanpa terkecuali. Ini baik. Tapi setelahnya, batang hidungnya tak pernah kelihatan lagi. Bahkan untuk seterusnya. Inilah yang tidak baik. Begitu pula jika ada kader dakwah yang sehari bertilawah satu juz, itu baik. Tapi kalau besok-besoknya tidak tilawah, itu dia yang tidak baik. Itu sebabnya, tanpa konsistensi, seorang tidak akan menjadi kader dakwah yang baik. Karena sekali lagi, predikat ‘baik’ adalah proses, bukan hasil. Maka itu perlu diupayakan terus menerus. Konsisten.

Lebih baik “1 x 10” daripada “10 x 1”. Lebih baik melakukan kebaikan kecil tapi konsisten daripada berbuat besar tapi jarang-jarang. Meski lebih baik lagi adalah menjalankan kebaikan besar dengan tetap konsisten. “Ahabbul a’maali ilallah adwamuhaa wa anqol”. Amal yang paling disukai Allah ialah yang paling langgeng, sekalipun hanya sedikit. Begitu kata Rasulullah SAW. [HR. Bukhari]

Pada akhirnya, dakwah ini hanya dapat dipikul oleh mereka yang memiliki konsistensi. Meski banyak sebab yang mampu melemahkan mereka, tapi mereka selalu tetap dapat bertahan menapaki dakwah ini. Kekuatan mereka terletak pada besarnya cinta mereka kepada Allah. Bukankah cinta dan konsistensi saling berkait? Bukan cinta namanya bila tidak disertai konsistensi. Dan tidak ada konsistensi jika tidak dilandasi dengan rasa cinta.

Sejarah mengajarkan, betapa konsistensi para pengemban dakwah telah melahirkan perubahan dan karya yang besar di dunia ini. Lihatlah Rasulullah SAW, meski ditentang dakwahnya, sempat diboikot selama tiga tahun, menghadapi banyak peperangan melawan pihak-pihak kebatilan, beliau tidak pernah surut dalam berdakwah. Bahkan saat dibujuk kaum Quraisy dengan harta, wanita, kedudukan, dengan sungguh beliau berujar, “Jika mereka memberikan matahari di tangan kananku, bulan di tangan kiriku, untuk meninggalkan urusan ini (baca: dakwah), aku tidak akan bersedia hingga Allah memenangkan kebenaran atau aku mati dalam usaha ini.”

Konsistensi serupa juga tersirat jelas pada perjuangan Nabi Nuh A.S. Sebagian besar usianya yang ‘seribu kurang lima puluh’ telah dihabiskan untuk berdakwah siang dan malam, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Meski begitu, amatlah sedikit yang menjadi pengikutnya. Sisanya lebih banyak membangkang, termasuk anaknya sendiri. Tapi apakah Nabi Nuh A.S menyerah? Tidak! Nabi Nuh A.S tetap berjuang hingga Allah memberikan pertolongan-Nya.

Siapa yang tak kenal Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah? Begitu lama dirinya dipenjara hingga akhir hayatnya karena dianggap dakwahnya tidak sejalan dengan penguasa Mesir yang zhalim. Pun begitu, dirinya tak hentinya berdakwah. Dirinya tetap berdakwah. Para narapidana insaf dan menjadi pendukungnya. Bahkan banyak karya-karya besarnya yang ia tulis di dalam penjara!

Totalitas perjuangan juga telah ditunjukkan oleh Syaikhul Intifadhah, Syeikh Ahmad Yasin. Usianya yang renta, matanya yang sulit melihat, dan tubuhnya yang lumpuh, tak pernah menyurutkan langkah dakwahnya. Ia tetap memimpin pergerakan dakwah dan perlawanan untuk membebaskan Palestina, juga melindungi kiblat pertama Masjidil Aqsha yang dirampas oleh Israel. Hingga, akhirnya ia gugur dalam jihad.

Dalam perjalanan hidup para Nabi dan Rasul, Sahabat, para Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para salafus saleh, selalu saja ditemukan perjuangan yang tak kenal henti, semangat yang membuncah, dan kontribusi terus menerus demi dakwah Islam. Mereka konsisten karena mencintai kebenaran, mencintai dakwah, dan itu semua karena cinta mereka kepada Allah.

Sebagaimana konsistensi tetesan air, sekeras apapun batu, pastilah akan luluh juga. Maka tak ada istilah menyerah dalam perjuangan. Karena kader dakwah yang baik menyadari bahwa dakwah ini adalah kebutuhan hidup mereka. Mereka menyadari dakwah ini tidak tersekat ruang dan waktu. Selama kaki mereka masih berpijak di bumi, semangat dakwah ilallah mereka senantiasa melangit.

Kemuliaan dakwah tidak pernah tertukar. Jikalau usaha yang mereka lakukan belum membuahkan hasil, itu tidak akan mengurangi sedikit pun kemuliaan mereka. Banyaknya cobaan yang mereka terima, tidak pernah melemahkan mereka. Mereka menyadari tak ada kata gagal dalam dakwah ini. Mereka meyakini, bahwa keberhasilan dakwah ini terletak pada hidayah dan pertolongan yang Allah berikan. Mereka hanya perlu berusaha maksimal, sisanya tawakal. Mereka meyakini betul, bahwa hakikat kegagalan sesungguhnya adalah ketika mereka berhenti mencoba.

Penolakan atau kebelumberhasilan bukanlah alasan untuk menghentikan dakwah ini. Itu sebabnya kesabaran menjadi daya tahan utama seorang kader dakwah. Dan Rasulullah SAW telah diingatkan agar jangan sampai mengikuti kekhilafan Nabi Yunus A.S, yang meninggalkan kaumnya lantaran tidak mau menerima dakwahnya.

Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya). [QS. Al-Qalam (68): 48]

Itulah konsep konsistensi. Konsistensi yang terbalut jiwa penuh keikhlasan, kesabaran, kesyukuran, dan ketawakalan. Mereka tidak pernah berputus asa terhadap rahmat Allah. Karenanya mereka tidak terpuruk jika mendapati kegagalan. Mereka pun tidak cepat puas jika mendapat keberhasilan. Mereka konsisten. Terus berdakwah sambil memohon kepada Allah agar dimudahkan usaha dakwahnya. “Mungkin kita sudah berusaha mengajak hingga 1000 kali, tapi boleh saja hidayah Allah itu turun pada usaha kita yang ke 1001,” begitulah yang pernah disampaikan salah seorang dai.

Konsistensi seorang dai adalah harga mati. Ia menjelma sebagai perwujudan dari integritas juga kemandirian seorang kader dalam menjaga komitmennya dalam berdakwah. Konsistensi inilah yang melahirkan keselarasan-keselarasan dalam perbuatan, perkataan, pemikiran, hingga keimanan. Dengan begitu, jika setiap dari kader dakwah bersungguh-sungguh untuk berproses menjadi kader dakwah yang baik, serta memiliki konsistensi yang baik, niscaya tidak akan ada lagi kasus-kasus ketidakdisiplinan, ketidaktahuan, ketidakbergerakan, ketidaksemangatan, dan segala hal ketidakbaikan dalam dakwah mereka. Semua menjadi baik, karena konsistensi terpancar pada ibadah mereka, pada tarbiyah mereka, pada dakwah mereka, pada amal mereka, dan pada setiap aspek kehidupan mereka. Insya Allah.

Allahu a’lam…

Konten ini telah dimodifikasi pada 12/07/12 | 23:48 23:48

Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Staf Ahli Kaderisasi Lembaga Dakwah Kampus Syahid UIN.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...