Topic
Home / Berita / Opini / Potensi Penyelewengan di Bank Syariah

Potensi Penyelewengan di Bank Syariah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (RoL)

dakwatuna.com – Di tengah pertumbuhan yang pesat dan tingginya animo masyarakat terhadap perbankan Syariah mengakibatkan terjadinya ketimpangan karena pemahaman masyarakat terhadap produk, istilah dari keuangan dan perbankan Syariah masih rendah ditambah lagi kualitas SDM Syariah juga masih kurang memadai baik dari kualitas dan kuantitas yang mumpuni dalam bidang perbankan Syariah sehingga kondisi ini berpotensi sebagai gap yang pada akhirnya bisa berpotensi terhadap penyimpangan.

Berdasarkan data perbankan Syariah Indonesia pertumbuhan perbankan konvensional jauh ketinggalan oleh bank Syariah dimana bank Syariah mengalami pertumbuhan sekitar 40 persen per tahun dalam sepuluh tahun terakhir sementara perbankan konvensional hanya 20 persen. Dari data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia bulan Oktober 2011, total asset perbankan Syariah mencapai Rp 125, 5 triliun, mengalami peningkatan sebesar Rp 97, 5 triliun dari tahun 2010 dan mencapai pasar sekitar 4 persen dari total kue industri perbankan nasional. Pertumbuhan perbankan Syariah tahun ini adalah yang tertinggi sejak tahun 2005.

Perkembangan yang pesat perbankan Syariah dengan jumlah asset pertumbuhan yang makin meningkat yang melebihi perkembangan perbankan konvensional menjadikan isu transparansi pada bank Islam menjadi hal yang sangat penting dan mendesak. Dengan banyaknya kasus penyelewengan dan skandal di bank konvensional sehingga publik mempunyai harapan yang tinggi terhadap performance bank Syariah sebagai alternatif dalam sistem ekonomi.

Potensi Penyimpangan

Apabila melihat geliat pertumbuhan asset perbankan Syariah, menurut pengamat ekonomi Syariah Agustianto bahwa potensi penyelewengan dan skandal pada bank Syariah memiliki kemungkinan yang sama dengan bank konvensional. Para bankir Syariah, jajaran eksekutif dan pejabat bank, termasuk komisaris juga manusia biasa yang memiliki nafsu yang tergoda akan materi yang bergelimangan, sehingga tidak mustahil kasus korupsi dan penyimpangan dapat terjadi sehingga transparasi pada bank Syariah menjadi sangat penting demi mencegah potensi skandal.

Sebagai contoh Departemen Agama pernah mendapat predikat instansi terkorup dalam pengelolaan jamaah haji yang tidak mampu menunjukkan transparansi dalam pengelolaan keuangan yang hingga kini masih dipertanyakan akan transparansinya oleh publik karena adanya dugaan korupsi karena simbol agama tidak menjamin lembaga dan orang yang berada dalam lembaga tersebut bersih dari penyimpangan.

Sementara itu, potensi penyimpangan pada bank Syariah yang sering menjadi pertanyaan dan menimbulkan kegelisahan publik/ummah adalah apakah sistem perbankan Syariah sudah sesuai dengan kaidah atau kepatuhan Syariah Islam (Shariah compliance) atau belum? Pada umumnya, publik masih mengalami kesulitan membedakan antara akad di bank Syariah dan transaksi pada bank konvensional, sehingga publik menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara bank Syariah dan bank konvensional.

Karena perbankan Syariah menggunakan akad sebagai dasar dari transaksinya sehingga terdapat potensi penyimpangan pada akad misalnya pada akad wadiah atau dalam istilah bank konvensional adalah deposito. Menurut Bank Indonesia dalam kamus keuangan dan perbankan Syariah wadiah secara umum adalah penempatan sesuatu di tempat yang bukan pemiliknya untuk dipelihara.

Sementara menurut pendapat ahli fiqih untuk Madzah Hanafi mendefinisikan wadiah adalah “mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat”. Sementara konsep wadiah yang digunakan pada bank Syariah adalah wadiah yad ad-dhamanah (titipan dengan resiko ganti rugi).

Apakah dana tabungan/wadiah tidak ditanam di capital market yang penuh dengan unsur spekulasi dan gharar (ketidakjelasan sumbernya dan penuh unsur manipulasi)? Apakah investasi bank Syariah halal atau tidak? apabila bank Syariah tersebut adalah unit usaha Syariah (cabang) dari bank konvensional apakah dana tabungan/wadiah tidak disimpan atau ditanam pada kantor pusat bank induk, apabila bank Syariah menanamkan dananya pada bank induknya yang konvensional maka hal ini jelas melanggar Shariah compliance karena bank konvensional sudah jelas menggunakan unsur riba dan mencampur-adukan produknya dengan transaksi yang halal dan haram yang dalam pandangan ekonomi Islam sudah nyata masuk dalam transaksi haram.

Transparansi Bank Syariah

Terkait dengan transparansi pelaporan keuangan pada bank Syariah sebagai lembaga standar dan pengawasan yang berkedudukan di Bahrain, terhadap performance bank Syariah menurut Accounting, Auditing, Governance Standards for Islamic Financial Institutions (AAOFI) bank Syariah harus mengungkap 19 item disclosure dalam laporan keuangannya di antaranya adalah yang paling penting untuk mengetahui shariah compliance dengan mengungkapkan dan menyajikan pendapatan atau pengeluaran yang baik yang sesuai dengan shariah maupun yang dilarang oleh shariah pada semua transaksi dan peristiwa bank Syariah dan memberikan penjelasan.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Noraini (peneliti IIUM), Simon Archer (Peneliti UK) dan Rifaat Ahmed Abdul Karem (mantan sekjen AAOIFI dan sekarang sekjen IFSB-Malaysia) yang melakukan riset terhadap transparansi pada bank Islam di 14 negara yang mempunyai bank Syariah termasuk Indonesia dengan jumlah bank 28 bank Syariah sebagai perwakilan dari setiap negara tersebut. Mereka menemukan bahwa transparansi pada bank Syariah masih kurang terkait dengan resiko pengungkapan/disclosure.

Penerapan Akuntansi Syariah

Salah satu syarat penting dari objektif bank Syariah pada prinsip penerapan akuntasi Syariah adalah melakukan pengungkapan dengan full disclosure tanpa ada yang ditutupi salah satunya adalah sumber pendapatan halal atau haram sebagai bentuk akuntabilitas Syariah yang tidak hanya melakukan pelaporan keuangan yang harus akuntabel kepada pemilik modal tapi lebih akuntabel kepada masyarakat di dunia dan Allah SWT di akhirat kelak, terhadap semua transaksi bisnis yang dilakukan pada bank Syariah sehingga bisa tercapai maslahah (social benefit) dan tidak membawa keburukan pada masyarakat.

Apabila kita melihat laporan keuangan dalam bank Syariah, secara umum kurang melakukan penerapan full disclosure (pengungkapan penuh) informasi tentang perputaran uang yang disimpan. Dalam laporan keuangan tidak dijelaskan secara sempurna apakah dana yang telah disimpan atau diinvestasikan sudah sesuai dengan kepatuhan Syariah (shariah compliance) yaitu dengan tidak melakukan investasi pada yang dilarang oleh Islam dan tidak mendatangkan keburukan bagi masyarakat dan lingkungan.

Menurut Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) 101 tentang penyajian laporan keuangan Syariah mensyaratkan adanya full disclosure, dimana masyarakat mendapatkan semua informasi dalam laporan keuangan sehingga membantu pengguna laporan keuangan untuk memahami bagaimana transaksi dan peristiwa tersebut sesuai dengan kepatuhan Syariah atau tidak. Pengguna laporan keuangan khususnya nasabah harus mendapatkan kepastian secara jelas dengan transparansi dana yang disimpan pada bank Syariah.

Sebagai contoh kasus penyimpangan pada bank Syariah, Penulis pernah mendalami sebuah studi kasus pada bank Syariah di Malaysia dimana secara asidental internal auditor bank Syariah menemukan bahwa bank Syariah yang merupakan cabang dari bank konvensional telah melakukan pembiayaan kepada sebuah rumah sakit namun ternyata terjadi transaksi non shariah compliance pada rumah sakit tersebut.

Sementara pembiayaan itu sudah berlangsung selama empat tahun dan selama empat tahun rumah sakit tersebut membayar margin tiap bulan kepada bank Syariah artinya karena pengelolaannya rumah sakit tersebut tidak shariah compliance maka secara tidak langsung bank mendapatkan margin dari penghasilan non halal dari rumah sakit tersebut sehingga penghasilan bank Syariah tersebut bercampur dengan pendapatan halal dan non halal.

Secara logika mungkin kita akan berpikir bagaimana mungkin Syariah komite yang pakar akan fiqih muamalah tentang transaksi halal atau tidak halal dalam bank Syariah tidak menyadari selama empat tahun padahal Syariah komite melakukan rapat dengan manajemen dan melakukan pengawasan kepada setiap transaksi bank Syariah agar tetap sesuai dengan Shariah compliance. Ditambah lagi manajemen yang duduk minimal memiliki pengetahuan yang mumpuni untuk menduduki manajemen pada bank Syariah seperti memiliki standar pemahaman produk, istilah, frase-frase dari keuangan dan perbankan Syariah.

Dari kasus tersebut berdasarkan pada prinsip akuntansi Syariah yang full disclosure dan transparasi terhadap akuntabilitas Syariah maka bank Syariah dalam laporan keuangannya harus mengungkapkan semua transaksi tersebut terkait dengan pendapatan non-halal selama empat tahun dengan membuat catatan tambahan atas laporan keuangan tersebut tentang dana penghasilan yang telah digunakan dan dibagikan kepada nasabah dalam bentuk non-halal sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan sesuai dengan standard AAOIFI dan PSAK di Indonesia dan untuk sisa margin non halal dari rumah sakit tersebut dikembalikan dalam bentuk sedekah dan memperbaiki akad rumah sakit menjadi shariah compliance.

Secara umum semua produk perbankan Syariah terkait dengan isu transparansi akan pendapatan non-halal baik itu akad murabahah sebagai produk yang paling banyak ditawarkan. Potensi penyimpangan di bank Syariah akan selalu terjadi. Oleh karena itu, komitmen dan kualitas sumber daya manusia yang memahami Syariah baik dari aspek shariah compliance dan best practice-Islamic bank harus ditingkatkan dan harus benar-benar merujuk kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekonomi dan bisnis Islam yang telah diterapkan oleh Rasulullah serta meningkatkan pengawasan internal bank Syariah serta Dewan Syariah Nasional (DSN) harus memperketat dalam mengeluarkan dan menyetujui fatwa terhadap produk perbankan Syariah sehingga terhindar dari dugaan mengakomodasi kepentingan tertentu. Wallahu’Alam.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 8.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Penulis saat ini menjadi asisten dosen dan peneliti di department accounting International Islamic University Malaysia (IIUM), di luar aktivitas akademik aktif sebagai pengurus Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Chapter Malaysia dan Islamic Economics Forum for Indonesia Development (ISEFID).

Lihat Juga

Fintech Bagi Muslim

Figure
Organization