Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Hidupmu Hidupku

Hidupmu Hidupku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (kawanimut)

dakwatuna.com – Pernikahan kami dibangun di atas jalan dakwah, kami bertemu di gerbong “kereta dakwah” yang sama, dipertemukan dengan sebuah komitmen dakwah “membangun keluarga Sakinah-Mawaddah-Warrohmah-Dakwah” sebuah pernikahan yang barokah insya Allah… Kami mulai mengayuh bahtera rumah tangga kami dengan sebuah rumah kontrakan, pekerjaan pas-pasan, dan jundi buah cinta yang tak berselang lama hadir melengkapi keluarga kecil kami. Alhamdulillah… Aktivitas dakwah kami-pun semakin produktif, berbagai amanah kami jalankan, hingga keberkahan terus mengalir ke dalam bahtera kami, dari pekerjaan tetap, kendaraan, dan berkumpul lagi bersama keluarga besarku, semuanya menjadi karunia yang senantiasa kami syukuri.

Sampai hari itu datang, hari yang menguji seluruh kekuatan iman yang kumiliki! Lelaki yang hampir lima tahun menjadi teman sejati bagiku, memohon ampun telah kuakan perih atas ketidakmampuannya tepiskan asa, dan ungkapkan sesalnya karena tak bisa tinggalkan dia. Robb! Dia yang setahun ini menjadi bagian dari kehidupan kami, karena dakwah! Dia yang juga kucintai karena ukhuwah! Dia yang juga saudaraku karena iman! Dia yang juga katanya mencintaiku karena Allah! Subhanallah…

Sesungguhnya telah lama kudengar, pengaduan sahabatku Rein tentang mereka yang begitu kompak, hangat, dan pendarkan nuansa pinki, suamiku San dan Nay saudaraku se-Iman. “Iren, apa kamu tidak melihat sikap Nay pada San?” tanya Rein, saat itu aku hanya senyum.

Aku, demi Allah tak ingin percaya! Bertahun sudah aku menyirami taman cinta kami, tak akan kubiarkan penglihatanku rusak karena dekat dan akrabnya kebersamaan mereka, dan kutepis jauh ketidakpercayaan atas nama cinta kami, hingga sms yang hadirkan binar-binar di mata dan senyum kecil di bibir suamiku malam itu…

“Dari siapa?” tak kuasa menahan, tanya itu terucap penuh getar curiga, San sempat terkejut, aku melihatnya, sekilas memang, karena kemudian cuek San menyebut nama itu “Nay!” lemas jantungku terkulai perih, kutatap jundi kami yang baru saja lelap tanpa dongeng dari Ayah yang katanya sedang sibuk mencari referensi dari internet, Rabbi kuatkan aku, bisik hatiku pelan, kulirik San yang masih sibuk dengan handphone-nya, senyumnya masih belum hilang dan rasanya aku telah lama tak melihat pendar bahagia begitu jelas di wajah-nya..

“Salam kangen buat Ahmad dan kamu dari Nay…” tanpa melihatku San sampaikan isi sms yang sedang dibacanya, bahkan dia tidak ngeh kalau aku tak menjawab apapun!

“Mi…” tiba-tiba San telah berdiri di samping ranjang tempat aku menidurkan Ahmad anak kami, gugup kucium kening anakku sambil menyeka air mata yang entah sejak kapan aliri pipiku. Kurapihkan selimut, ya Robb… bahkan tak sepatahpun kata keluar dari mulutku, San pasti curiga… benar saja! Tergesa dia matikan laptop di meja kerjanya, lalu menyusulku masuk kamar tidur kami.

“Ada apa Ren? Kamu nangis?” mata San lekat meneliti wajahku, kucoba tersenyum manis

“Apa ada yang ingin kamu akui? Sebuah kejujuran misalnya…” kuucap setegar yang kubisa, sejenak hening, San menatapku lekat dan dekat, ditariknya tanganku lembut…

“Ya, kamu cantik sekali… terimakasih telah temani aku selama ini…” bisiknya di telingaku, seharusnya kata-kata itu lambungkan hatiku, bahagiakan perasaanku, setidaknya tersanjung, apalagi kemudian dia memeluk dan menciumku. Panas dan perih! Itu yang kurasa hingga dia lelap di sampingku, aku tak sanggup pejamkan mataku yang akhirnya banjir airmata.

Kalau laki-laki selingkuh biasanya dia jadi lebih romantis, tiba-tiba ucapan Rein melintas di kepalaku, tidak! Tak mungkin suamiku selingkuh! Hatiku berteriak marah… San ikhwan yang lama ditempa tarbiyah, begitu pula Nay yang kutahu dia akhwat qowwy yang penuh dengan keikhlasan. Kadang banyak orang yang tak sadar kalau sesungguhnya yang mereka lakukan itu adalah bentuk lain dari selingkuh, mengatasnamakan ukhuwah, persaudaraan, persahabatan, yang pasti tidak nyunah apapun hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya itu Iren! Lagi-lagi ucapan Rein berdengung penuhi kepalaku, porak-porandakan kepercayaan yang dengan keras kubangun.

“Tidak!!” terkejut kututup mulutku yang tanpa sadar bergumam keras. Rein sampai lompat dari kursinya, dan menatapku aneh bin ajaib, keningnya berkerut tebal

“Ada apa sih Iren..?! Mbo klo mau teriak bilang-bilang dulu ke! Buku aku sampai jatuh…” Rein berjongkok mengambil buku yang masuk kolong meja kami, Astaghfirullah aku…

“Afwan ya…” kucoba hapus gugup dengan tersenyum kecil, kulihat Nay yang sepertinya ikut terkejut mendengar teriakanku tadi meninggalkan mejanya menuju kearahku.

“Ada apa Ummu? Rein?” Nay menatapku lalu Rein yang mengangkat bahu so bingung

“Nda apa-apa ko… intermezo ja…” jawabku sekenanya, tidak mungkin kan aku jujur tentang pikiranku tadi, kulirik Rein yang nyengir so ngerti, makhluk satu ni…

“Kayanya Teh Iren kelihatan lelah, istirahat ja dulu Teh… oya tadi aku beli juice, ambil ja…” Nay menggenggam tanganku, dan aku bisa rasakan ketulusan mengalir dalam ucapannya.

“Ya, biar aku ambilkan…” Rein segera menuju kulkas di kantor kami, aku jadi tersenyum geli

“Makasih ya Bu… istirahat di mushalla saja sekalian mau shalat Zhuhur” kujawab se-ringan mungkin karena tiba-tiba kebencian sesakkan dadaku, perhatian yang tak jujur! Nafsuku ikut berteriak memanasi hati. Ya Allah, Rabbku… Nay adalah saudara yang baik sungguh, pertama kali bertemu saja ia telah mampu membuatku betah berdiskusi dengannya, Nay adalah perempuan penuh kisah, usianya memang lebih tua dari aku, tapi dia menghormati statusku sebagai ibu, walaupun dia juga atasanku, tapi dia tak pernah menganggap kami sebagai bawahan, kita ini team! Begitu selalu dia sampaikan di setiap rapat rutin kami.

“Nah kan melamun lagi! Entar teriak lagi!” Tiba-tiba Rein membuyarkan lamunanku, segelas juice strawberry teracung tepat di depan mukaku.

“Rein!” segera kuambil gelas juice itu, dan hanya mampu menatap gemas Rein yang berlari menjauhiku, tawanya benar-benar membuat aku tambah BT, tapi juga sedikit terhibur…

“Zhuhur yu! Aku kasih tau sesuatu deh…” lagi-lagi Rein menggodaku, tapi kali ini aku manut saja, saat tangannya menggandengku menuju mushalla kantor.

“Sepertinya kalian harus bicara dari hati ke hati Iren” bisik Rein selepas berdoa

“Aku serius Iren! Kemaren tanpa sengaja San bercerita tentang kedekatannya dengan Nay…”

“Stop Rein! Ucapan kamu yang kemarin-kemarin saja masih terus berputar-putar di otakku, sekarang apalagi!?” ya Allah… tak tertahan aku membentak pelan Reinova kesal

“Maafkan aku Iren… aku hanya sayang sama kamu! Sungguh..” ah Rein memang orang yang paling mampu menganalisa, mengerti, dan memahami berbagai persoalan baik di personal maupun kami sebagai team, harus kuakui klo Rein bukan hanya so tahu tapi dia tahu benar!

“Maaf kalau aku terkesan ikut campur, tapi sikap kamu akhir-akhir ini mulai tak terkendali, San juga butuh pertolongan kamu, biar aku nanti yang menolong Nay… istirahat saja dulu” Rein menutup ceritanya tentang diskusi pendek bersama San kemarin, lalu bangkit dan kembali ke kantor. Sejenak aku terlolong, tapi Rein kembali benar tentang usulannya agar aku cuti, dan menyelesaikan segala ketidakpastian dalam rumah tanggaku dan San.

Rapat sore itu jadi terasa begitu memuakkan, Nay yang selalu penuh semangat itu terdengar ceria, sedikit manja malah, San terlihat antusias menimpali ungkapan Nay. Sesekali diskusi terdengar sayup karena Nay seringkali menutup wajahnya, matanya mengerjap bersama tawa tertahannya, setiap kali menerima argumen San yang memang aneh, dan setiap kali mereka beradu pandang muka Nay semburatkan rona malu. San juga terlihat menikmati diskusi juga candanya untuk Nay, Astaghfirullah… setan bersorak girang berhasil memanasiku.

“Aku pulang duluan ya… kepalaku terasa berat, aku terima hasilnya saja boleh?” kutatap satu persatu peserta diskusi terbatas, dan berhenti di Nay yang juga sedang menatapku…

“Iya boleh Teh… Kang San juga pulang saja, kasihan dari tadi sepertinya Teh Iren kurang enak badan…” Nay menatap San yang langsung mengiyakan, dan memapahku keluar.

*

“Nay memang mencintai Abi, tanpa sengaja Abi menemukan coretan kisah di buku kecilnya yang tertinggal di meja kerja Abi, tadinya Abi pikir itu buku ummi, tapi Abi memang menjadi penasaran dan akhirnya membaca semua catatan itu, sebelum mengembalikannya ke meja Nay. Dan catatan itu membuat Abi mengerti bahwa ternyata kita memiliki asa yang sama! Sampai hari ini Nay tidak tau, kalau Abi telah membaca catatan kecilnya itu. Nay juga tidak tau bahwa Abi memiliki asa yang sama untuk dia” San menutup pengakuannya pelan.

“Lalu Abi biarkan getar itu membesar… abi nikmati kebersamaan yang terasa indah itu… sampai kapan? Taukah Abi itu sama saja selingkuh! Dan akhirnya orang lain juga tahu, karena tidak ada keakraban tanpa asa, dan asa yang Abi miliki itu salah! Itu tidak boleh! Abi harus tinggalkan Nay!” aku pun terisak, suaraku tercekat luka, kucoba tersenyum.

“Maafkan Abi…  abi sudah mencobanya, tapi semuanya telah terlambat ummi, abi tak bisa… mungkin karena abi tau Nay punya asa yang sama untuk abi?” jawab San setengah berbisik.

“Ini salah Abi, coba Abi tidak membaca catatan itu, coba…” tiba-tiba San terlolong

“Tidak Abi… abi hanya harus mencoba untuk lebih ikhlas, ummi percaya tidak ada kata terlambat untuk berbuat baik, atau abi ingin menikahi Nay?” pasti ucapanku kali ini terdengar hopeless, San terlihat kaget.

“Itu tidak mungkin! Ummi tau itu… lagian kita juga tak pernah berbicara tentang perasaan! Semuanya mengalir begitu saja, Nay juga sepertinya berusaha untuk bersikap wajar…”

“Atau membuat semuanya terlihat wajar…! Astaghfirullah…” aku segera berdiri, ini mulai tidak benar, aku harus segera wudhu sebelum marahku dimanfaatkan setan. San menatapku perih, aku tau batinnya pun pasti luka, aku percaya San tidak pernah menginginkan semua ini terjadi, aku bersumpah untuk membuatnya kembali, di sini! Di hatiku…

*

Bening matamu, pancarkan kesedihan, tak pernah terlihat, selama ini
Senyum pedihmu, lukiskan air matamu, perihnya hatimu, menyentuh batinku
***
Sungguh mati aku tidak, bisa meninggalkan dia, walaupun kau dekap aku (walaupun kau peluk aku)
Ampun aku, bila kini, yang terkuak hanya perih, yang mungkin kan menghantui, hidupmu, hidupku
*
Detak jantungmu, tegaskan perih hatimu, dan perih hatiku, hidupmu, hidupmu-hidupku
(ZIGAZ)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (14 votes, average: 6.07 out of 5)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization