Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Dia Telah Berubah

Dia Telah Berubah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Dia telah berubah. Telah banyak berubah. Lebih berwarna, lebih cerah, lebih hidup. Siapa pun di kampung ini bisa merasakannya. Keperempuanannya yang memekar, keberpikirannya yang telah melangkah meski pelan, kekodratannya yang beringsut memaknai, keeksistensiannya yang perlahan tampak. Dia telah berubah.

Sekarang pertanyaannya, jika memang perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki dan jika satu bagian dari tubuh manusia didera sakit maka seluruh bagian tubuh itu akan ikut merasakan sakit, apakah itu artinya jika si tulang rusuk sakit maka sang lelakinya juga ikut sakit? Dan sebaliknya, jika si lelaki sakit maka tulang rusuk secara otomatis juga sakit?

Itulah yang dialami oleh seseorang yang saya kenal. Seperti apa lelakinya, sedikit banyak seperti itu pula-lah dirinya. Dahulu, di saat lelakinya sibuk mengumpulkan uang untuk dihabiskan di meja judi. Ia pun sibuk merutuk di dalam hati. Terkadang dan bahkan terlalu sering hatinya yang kecil itu tak mampu menampung kesalnya, marahnya, sakit hatinya. Sehingga meledaklah daging yang sebongkah itu terburai-burai dengan cacian-cacian kasar yang menganak sungai (wehehe lebay), dan bahkan tak jarang pula barang-barang di rumahnya menjadi pelampiasan, dilempar, dibanting, hancur, habis, semakin tak ada yang tersisa. Setetes air mata pun tak bersisa. Ia menjadi begitu sibuk, sibuk dengan rasa jengkelnya, marahnya, sakit hatinya dan rasa kecewa yang semakin membengkak dan seringkali meletus seperti gunung Merapi yang memuntahkan larva. Dampaknya sangat besar dan lama, berjam-jam bahkan berhari-hari. Anak-anaknya yang tiga orang berderet-deret seperti tangga menjadi korban, ikut meraung menyaksikan ibu dan ayahnya saling maki-memaki, saling meneriakkan sumpah serapah yang paling kasar dan saling melempar yang kalau perlu saling melukai. Tetangga sebelah sampai mengkhawatirkan perseteruan suami istri itu akan berdampak buruk bagi kejiwaan anak-anak mereka yang malang. Sang ibu pun hanya bisa mengurut dada melihat anak dan menantu hampir setiap hari seperti dua ekor kucing yang sedang berkelahi di tengah malam. Saling mengeong sekeras mungkin, suara gaduh yang membangunkan siapa saja. Bulu-bulu yang tercerabut berserakan, kotoran dan air seni yang berceceran…Sisa-sisa perkelahian yang sangat mengganggu.

Dahulu, ia sangat sibuk sehingga anak-anaknya terlantar. Ditelantarkan perut dan jiwanya. Perut yang mesti diisi dengan makanan dan jiwa yang mesti diisi dengan kasih sayang bukan hanya perseteruan demi perseteruan. Bagaimana ia akan memikirkan semua itu sementara ia harus membersihkan remah-remah nasi yang berserakan di lantai (?). Lelakinya berutang demi judi dari ujung kampung ke ujung kampung sampai melilit pinggang. Lelakinya menipu dari seorang ke seorang yang lain. Dan ketika lelakinya telah menjadi buah bibir siapa saja, ia pun sibuk meneriaki para penggunjing yang telah menjelek-jelekkan lelakinya. Ia tidak terima lelakinya dijelek-jelekkan siapa pun. Menjelekkan lelakinya berarti menertawai dirinya yang bernasib buruk.

Sekarang, ia telah berubah. Dan memang ia tercipta dari tulang rusuk lelakinya. Seperti apa lelakinya sedikit banyak seperti itu pulalah dirinya.

Sekarang, ada kacang tanah dan cabe di ladang kecil mereka. Ladang kecil di samping rumah yang dahulu hanya dipenuhi oleh rumput-rumput liar. Ketika lelakinya pergi bekerja menjahit pakaian, ia pun pergi ke sawah-sawah orang menyiangi benih padi. Ia juga mencoba berjualan lontong di pagi hari, lelakinya membantu menyiapkan. Ia memelihara ayam yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya. Telah ada yang mengetuk dan membuka pintu hati dan pikirannya untuk menempatkan hidupnya, hari esoknya, anak-anaknya dan orang-orang terdekatnya di ranah yang harus dipikirkan dan dijalankan.

Sekarang, tidak ada lagi yang terserak yang mesti ia kemasi. Ia tidak pernah lagi memaki tetangganya, karena ia tidak pernah lagi mendengar nama lelakinya disebut orang dengan nada yang mengejek dan penuh kebencian. Setiap orang yang melewati rumahnya tidak lagi mendengar perseteruan antar suami-istri di rumah itu dan tidak ada lagi raungan anak-anak yang bingung dengan tingkah orang tuanya. Orang-orang akan mendengar mesin jahit yang sesekali menderu dari rumah mereka, dan orang-orang akan melihat suami istri itu menanam kacang dan cabe di ladang kecil mereka. Ada senyum yang terkadang terlintas seolah-olah mengatakan sesulit apa pun hidup, mereka akan terus berjuang.

Begitulah, lelakinya hidup dengan baik, maka ia pun hidup dengan baik. Tidak ada alasan baginya untuk hidup dengan buruk. Dan tidak ada yang membuatnya menjadi buruk.

Dahulu dan sekarang. Lelakinya yang dahulu bukan lelakinya yang sekarang. Lelakinya yang dahulu telah menceraikannya dan pergi dengan segala keburukannya, digantikan dengan lelakinya yang sekarang yang datang dengan segala kesederhanaannya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (8 votes, average: 9.25 out of 5)
Loading...

Tentang

Lulusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang, angkatan 2005. Diwisuda pada bulan September 2011. Pada tahun ajaran baru ini insyaallah akan berkegiatan mengajar di sebuah TKIT di kota Pariaman.

Lihat Juga

Hijrah, Dari Gelap Menuju Cahaya

Figure
Organization