Kalender Hijriah dan Khalifah Umar yang Bersedih Hati

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Disadari atau tidak, kita umat Islam, mungkin sudah terkena virus sekularisasi. Salah satu contoh yang menggambarkan hal tersebut adalah, manakala kita memasuki masa-masa menjelang Ramadhan, sudah pasti akan ada banyak pertentangan-pertentangan mengenai penentuan tanggal yang terjadi di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Pertentangan seperti ini, tentu saja merupakan satu hal yang wajar, terutama sekali karena setiap tahunnya memang sudah seperti itu.

Masalahnya, kenapa pertentangan tersebut hanya muncul saat menjelang Ramadhan, saat menjelang Syawal, atau saat menjelang Iedul Adha saja? Kenapa umat Islam sibuk meributkan tanggal-tanggal Hijriyah, hanya pada saat menjelang puasa, menjelang lebaran Iedul fitri atau menjelang lebaran Iedul Adha saja? Dan kenapa umat Islam tidak meributkan kapan tanggal 1 Rajab, tanggal 1 Jumadil Awal, atau tanggal 1 Safar?

Jawabannya adalah, karena umat Islam saat ini, termasuk kita di dalamnya, sudah tidak peduli lagi kepada kalendar Hijriah, manakala hal itu tidak menyangkut masalah ibadah. Atau dengan kata lain, kita hanya berpikir mengenai kalendar Hijriah kalau sudah dekat-dekat dengan ibadah ritual saja. Inilah satu bentuk sekulerisme yang ada pada diri kita, meskipun kita mungkin tidak menyadarinya.

Di saat dunia sudah makin modern, di saat di setiap sudut rumah kita sudah ada banyak komputer-komputer, dan di saat semua anak-anak muda kita sudah banyak menggenggam Smartphone Android atau lainnya, ternyata banyak di antara kita yang masih belum sadar bahwa dunia digital tersebut dibangun di atas sistem kalendar Masehi yang dipelopori oleh non-muslim.

Untuk kita sebagai orang Islam, tentu saja tidak haram bagi kita untuk mengambil dan menggunakan apa-apa yang ada di sekeliling kita. Tapi masalahnya, mari kita kembalikan sudut pandang kalendar Hijriah ini pada pola pikir Khalifah Umar dahulu, ketika beliau berinisiatif untuk membuat kalendar Hijriah ini.

Apa landasan pemikiran beliau?

Tentu saja, karena beliau ingin agar umat Islam punya identitas sendiri, tanpa harus menggunakan sistem-sistem yang dibuat oleh non-muslim, apalagi kalau sistem itu dibangun di atas dasar keyakinan yang sebenarnya bertentangan dengan keyakinan Islam sendiri. Lagipula, Al-Qur’an sendiri menyuruh kita untuk menggunakan kalendar Hijriah.

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah: 36)

Sekarang masalahnya, bagaimana dengan kondisi kehidupan kita saat ini? Apakah kita sudah bisa menggunakan kalendar Hijriyah ini? Ataukah kita sudah merasa cukup dengan menggunakan kalendar Masehi, dan cukup menggunakan kalendar Hijriyah saat menjelang ramadhan saja?

Mari kita renungkan sama-sama, bahwa sebenarnya kita punya identitas yang diperintahkan oleh Al-Qur’an, dan harus kita jaga. Mari kita pikirkan pula kalendar kita ini, setiap bulannya, bukan hanya saat menjelang Ramadhan saja. Semoga dengan cara ini, khalifah Umar tidak perlu bersedih hati lagi bila melihat kondisi kita saat ini.

Jadi, tolong sampaikan dua pertanyaan berikut kepada semua ormas-ormas Islam, baik yang menggunakan metode Rukyat maupun Hisab:

  1. Apakah kita umat Islam cukup menggunakan kalendar Hijriyah saat menjelang ibadah ritual saja?
  2. Kalau tidak, bagaimana caranya agar kita umat Islam bisa lebih mudah menggunakan kalendar hijriah ini dalam kehidupan sehari-hari kita?

Konten ini telah dimodifikasi pada 19/06/12 | 00:34 00:34

Born in Cirebon, moved to Bandung, Tokyo, Kawasaki, Hitachinaka then Matsumoto, now live in Cikarang-Bekasi. Understand Javanese, Sundanese and Arabic Qur'an, speak in Indonesian, English and Japanese. Learn Islam from beloved parents in NU family, join kajian salafy for few years, learn many things from Egyptian Ikhwanul Muslimin ustadz, do many things with Tarbiyah friends, and enjoying friendship with many people from Jamaah Tabligh and others. Graduated from Institut Teknologi Bandung and Tokyo Institute of Technology, join short research program at Matsushita Research Institute Tokyo, work at Hitachi Automotive System Japan as Embedded Software Engineer for automotive radar cruise control system, moved to Seiko Epson Corporation Japan as Senior Embedded Software Engineer for epson printer, now working as Manager at PT Indonesia Epson Industry, Cikarang.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...