Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Hipotesis Pencitraan Diri dan Hasrat Kehakiman

Hipotesis Pencitraan Diri dan Hasrat Kehakiman

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Saat seseorang bercerita tentang dirinya sendiri, baik itu secara lisan ataupun melalui tulisan, maka kecenderungan informasi yang ia sampaikan adalah informasi yang dapat menjadikan lawan komunikasinya menaruh simpati terhadapnya. Retorikanya dibikin berpola, gaya tulisannya dibikin berliku-liku. Wow keren.

Jika ia berbuat sebuah kesalahan, maka upaya yang ia lakukan adalah bagaimana caranya agar kesalahannya itu bisa ia sulap menjadi ‘seolah-olah’ benar. Dengan berbagai hujah yang dibuat sedemikian meyakinkan, ia berupaya melangitkan kekerdilan sifat kemanusiaannya. Sifat kemanusiaan yang saya maksud di sini adalah; bahwa manusia itu adalah gudangnya khilaf dan juga alfa. Segala rupa kesalahan, dari mulai yang remeh sampai yang demikian besar, sangat mungkin diperbuat oleh seorang manusia. Kesalahan-kesalahan inilah yang kerap kali diupayakan agar ianya tak nampak sebagai sebuah kesalahan.

Inilah yang saya maksudkan dengan hipotesis pencitraan diri; simpati orang dapat diperoleh melalui ucapan dan juga tulisan yang membuai. Meskipun, terkadang ucapan dan juga tulisan itu amatlah jauh dari nilai kebenaran. Isinya sangat tidak sesuai dengan yang sebagaimana mestinya. Bahkan bertolak belakang dengan yang sebenarnya terjadi.

Perhatian! Hipotesis ini tidaklah didasarkan sama sekali pada data kuantitatif yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Maka, sangat mungkin apa yang saya nyatakan di sini juga masih banyak kelirunya. Tapi gak nutup kemungkinan juga padanya ada sebuah kebenaran. Lha iya lah, namanya juga hipotesis.

Di lain kesempatan; pada saat ia mengakses sebuah informasi yang berisi peringatan, maka ia akan langsung membayangkan orang lain yang dalam pandangannya sangat pantas untuk mendapatkan peringatan tersebut. Tidak berpikir sama sekali bahwa sesungguhnya peringatan itu tertuju untuknya. Contoh rillnya seperti ini; suatu saat ia membaca sebuah ayat di dalam Al-Qur’an yang berisi tentang ciri-ciri orang munafik. Maka, yang langsung terbayang di dalam pikirannya adalah orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang di dalam pandangannya sangat sesuai dengan kriteria sebagaimana disebutkan dalam ayat yang dibacanya itu. Ujungnya, ia berperilaku layaknya seorang hakim. Memvonis mereka yang dianggapnya salah, tanpa mau sama sekali meninjau dirinya sendiri.

Atau suatu saat lagi ia membaca sebuah buku yang isinya berkaitan dengan nasihat hati (taujih ruhiyah). Isinya menjelaskan tentang berbagai macam penyakit yang ada pada hati. Saat membaca tentang iri, pikirannya langsung teringat si X. Saat membaca tentang ujub, pikirannya langsung teringat si Y. Saat membaca tentang sombong, pikirannya langsung teringat si Z. Sementara dirinya sendiri tidaklah diingat sama sekali. Tidak kepikiran, bahwa sesungguhnya dirinya juga telah terjangkiti oleh rupa-rupa penyakit hati itu.

Secara tidak langsung, sebetulnya ia ingin mengatakan, seluruh yang aku tempuh di dalam langkah hidupku adalah kebenaran. Sementara kamu, banyak salahnya!

Inilah saya maksud dengan hasrat kehakiman yang ada pada seorang manusia: seluruh peringatan adalah untuk orang lain, dirinya tidak termasuk ke dalam kelompok yang mendapatkan peringatan itu.

Dirinya dicitrakan, orang lain dijatuhkan. Dirinya benar, orang lain salah.

#CerminDiri

Konklusi

Ada sebuah nasihat tulus yang sangat bagus; kita adalah da’i, bukannya hakim. Tugas da’i bukanlah menghakimi dan memvonis kesalahan orang lain. Melainkan untuk mengajak mereka kepada kebenaran. Dengan hikmah dan juga pelajaran yang baik. Dengan ucapannya santun dan juga raut wajah yang menyejukkan pandangan.

Tidak usah sibuk mencitrakan diri, tapi sibuklah memperbaiki diri. Tidak usah pusing dengan pandangan manusia, tetapi risaulah dengan penilaian Allah.  Allahu Ta’ala a’lam.

#NasihatDiri

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 9.67 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa.

Lihat Juga

Karena Dirimu Begitu Berharga

Figure
Organization