Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Adab Menasihati (Bagian ke-3, Selesai)

Adab Menasihati (Bagian ke-3, Selesai)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (wordpress.com/bud1prasety0)

Menasihati di depan Forum (Terang-terangan)

dakwatuna.com – Untuk menjaga perasaan hendaklah menasihati dengan cara rahasia, tapi adakalanya juga menasihati orang lain bisa dilakukan di hadapan orang banyak. Salah seorang khatib dan imam masjid di kota Al-Khubar, Saudi Arabia dalam salah satu khutbah Jum’atnya mengatakan:

“Umat Islam, mereka itu memiliki kehormatan dan harga diri, oleh karena itu haruslah kita menjaga hak-hak dan kehormatan mereka, haruslah kita memelihara perasaan mereka, tetapi kadang-kadang sesuatu nasihat yang akan engkau sampaikan kepada orang lain apabila engkau tunda, maka akan terlambat, maka harus sekarang juga engkau menasihatinya sebelum terlambat. Contohnya, sebagaimana terdapat dalam Shahih Muslim (Juz 6 hal. 142-143 no. 58 (875), dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata: Sulaik Al Ghathafani datang (ke masjid) hari Jum’at dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar maka Sulaik langsung duduk tanpa shalat terlebih dahulu, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya. “Apakah engkau telah melaksanakan shalat dua rakaat?” Ia berkata, “Belum,” maka beliau memerintahkan kepadanya, “Bangunlah dan shalatlah dua rakaat!”

Ini bukanlah sedang memburuk-burukkan atau menyiarkan kesalahan orang tersebut, karena saat itu adalah waktu yang tepat untuk menasihatinya, apabila dibiarkan, maka akan terlewatkan, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan setiap muslim yang masuk ke dalam masjid agar shalat dua rakaat terlebih dahulu sebelum ia duduk.

Perintah tersebut mengharuskan untuk dilaksanakan pada saat itu juga tidak bisa ditunda sampai selesai shalat Jum’at. Akan tetapi apabila memungkinkan bagimu untuk menunda nasihat sampai selesainya majelis, lalu engkau menasihati seseorang di hadapan orang lain di majelis tersebut, maka hal itu tidak benar.”

Pernah terjadi di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seorang yang makan menggunakan tangan kirinya, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegurnya, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang tersebut menjawab, “Saya tidak dapat,” maka beliau mendoakan keburukan untuknya dengan mengatakan, “Semoga engkau tidak dapat,”

maka langsung saja tangan orang tersebut lumpuh sehingga tidak dapat memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Orang tersebut tidak mau mentaati perintah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam karena sombong. (Lihat kisah ini dalam Shahih Muslim no. 2021)

Syeikh Salim Al-Hilali mengatakan tentang fiqih hadits di atas, di antaranya: “Boleh menasihati seseorang di hadapan orang banyak apabila di dalamnya terdapat kebaikan bagi semuanya.” (Bahjatun Naadzirin, juz I hal. 240)

Apabila terhadap teman, kita harus memiliki adab yang baik dalam menegur kesalahannya, maka lebih-lebih lagi apabila kita hendak menegur kesalahan seorang guru. Syeikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata : “Apabila seorang penuntut ilmu mendapatkan gurunya berbuat kesalahan maka janganlah menyebutkan kesalahan tersebut dengan terus terang, tetapi betulkanlah kesalahan dia dengan cara bertanya dan bersikap sebagai seorang siswa terhadap gurunya, dan berbuat demikianlah dengan cara berulang-ulang sampai terang bagi sang guru mana yang benar, karena kebanyakan manusia apabila engkau tegur secara langsung kesalahannya, kecil sekali kemungkinannya untuk rujuk, berat bagi dia untuk mengakui kesalahannya, kecuali orang yang dapat menguasai dirinya dan menghiasinya dengan akhlak yang terpuji, maka dia tidak tersinggung apabila pendapat dia dikritik, dan kesalahannya ditegur secara langsung, dan tipe orang seperti ini jarang sekali, hanya dengan taufiq Allah-lah kemudian dengan melatih jiwa untuk menekan gengsi, barulah orang tersebut akan mempunyai jiwa besar dengan mengakui kesalahannya dan rujuk kepada kebenaran.” (Al Mu’in ‘ala Tahshili Aadaabil ‘Ilmi wa Akhlaakil Muta’allimiin, hal. 33-34)

Dalam halaman lain, beliau berkata: Apabila sang guru berbuat kesalahan dalam suatu hal, maka hendaklah seorang penuntut ilmu menegurnya dengan penuh lemah lembut sambil memperhatikan situasi dan kondisi, janganlah mengatakan kepadanya, “Engkau telah berbuat salah!” atau “Sesungguhnya yang benar bukan seperti yang engkau katakan!”, tetapi hendaklah menegurnya dengan kata-kata yang sopan, menjadikan seorang guru sadar akan kesalahannya tanpa ada rasa gusar di hatinya, karena cara seperti ini merupakan keharusan dalam bersikap terhadap seorang guru, juga cara seperti ini lebih mengena untuk sampai kepada kebenaran, karena sesungguhnya kritikan yang disertai dengan adab yang buruk membuat hati orang yang dikritik menjadi gusar sehingga akan menghalanginya untuk dapat menangkap pemahaman yang benar dan menghalanginya untuk mengetahui maksud baik orang yang menegurnya.”

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya oleh seseorang: “Apakah yang harus saya lakukan terhadap salah seorang guru ketika ia salah dalam pendapatnya, khususnya dalam mata pelajaran dien Al Islam dan saya tahu dengan pasti jawaban yang benar?” Maka Syeikh menjawab: “Ini pertanyaan yang penting di mana kita dapatkan bahwa sebagian dari para guru tidak mau dikoreksi oleh siapa pun, meskipun ia berbuat kesalahan yang banyak. Sikap yang demikian tidaklah benar, karena setiap manusia tidak lepas dari kesalahan, dan manusia apabila berbuat kesalahan lalu ditegur, maka itu merupakan nikmat Allah yang Ia berikan kepadanya, supaya manusia tidak tertipu disebabkan kesalahannya. Akan tetapi bagi siswa haruslah mempunyai kecerdikan, janganlah menegurnya di hadapan siswa-siswa yang lain, karena hal ini menyalahi adab, tetapi tundalah sampai selesai pelajaran (secara empat mata), apabila sang guru tadi menerimanya, maka ia harus menyampaikan ralatnya di hadapan para siswa pada pelajaran berikutnya, dan apabila tidak menerimanya, maka si siswa harus menyampaikan koreksiannya di hadapan siswa-siswa yang lain pada pelajaran berikutnya, sambil mengatakan misalnya bahwa ustadz pernah menyampaikan begini dan begitu, dan ini adalah tidak benar.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 160-161)

Sebagian orang –semoga Allah memberi mereka petunjuk- mengira bahwa nasihat yang disampaikan kepada mereka adalah bentuk kelancangan dan kekurangajaran. Terlepas dari keras atau lembut cara menasihatinya, maka tidak selayaknya seorang yang munshif (bersikap adil dan objektif) mencampakkan kebenaran gara-gara kebenaran tersebut datang dengan cara yang tidak berkenan atau kurang pas dalam pandangannya. Ya, itu sah-sah saja seorang menilai bahwa cara orang lain dalam menasihatinya tidak pas atau tidak beradab. Namun, bukan itu yang kita bicarakan! Yang kita maksud adalah kesadaran hati pada diri orang yang mendapatkan teguran agar kembali kepada Allah, dan menyadari kekeliruannya –jika itu sebuah kekeliruan- tanpa menyimpan dendam. Bukankah Allah memerintahkan kita untuk memberikan maaf dan berlapang dada dalam menyikapi kekurangan saudara kita? Bukankah kita pun senang jika kita diperlakukan demikian? Maka alangkah tidak bijaknya kita ketika kita menyadari bahwa hujjah-hujjah yang kita miliki ternyata tidak cukup kuat untuk mempertahankan sikap kita yang keliru atau kurang bijak, kemudian dalam kondisi seperti itu pun kita masih menuntut orang lain secara berlebihan untuk bersikap bijak dan sopan dalam menegur kita. Sementara kita dengan begitu leluasa memuntahkan sejuta alasan untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan kita. Di sisi lain kita tidak memberikan kesempatan baginya untuk melontarkan kritik kepada kita.

Allahu ‘alam bisshawab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (8 votes, average: 8.38 out of 5)
Loading...

Tentang

#Konsultan, #Alumni FSLDK, #Melingkar, Pencari Ridho Allah SWT

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization