Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Adab Menasihati (Bagian ke-2)

Adab Menasihati (Bagian ke-2)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

Menasihati Secara Rahasia

dakwatuna.com – Untuk menjaga hati dan perasaan, banyak orang menyampaikan nasihat dengan cara langsung ke personal orangnya ataupun dengan cara sembunyi-sembunyi. Sejatinya, nasihat dan celaan itu bedanya sangat tipis. Nasihat diberikan secara rahasia, sedangkan celaan disampaikan secara terang-terangan. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahumullah berkata: “Seorang mukmin menjaga rahasia dan memberi nasihat. Seorang fajir membongkar rahasia dan mencela”.(Al Farqu Baynan Nashiah Wat Ta’yir)

Perkataan Fudhail bin Iyad dibenarkan dan diperkuat oleh perkataan Ibnu Rajab:

Apa yang diucapkan oleh Fudhail ini merupakan tanda-tanda nasihat. Sesungguhnya nasihat digandeng dengan rahasia. Sedangkan celaan digandeng dengan terang-terangan.” (Al Farqu Baynan Nashiah Wat Ta’yir)

Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah (wafat tahun 354 H) berkata: “Nasihat itu merupakan kewajiban manusia semuanya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelum ini, tetapi dalam teknik penyampaiannya haruslah dengan secara rahasia, tidak boleh tidak, karena barangsiapa yang menasihati saudaranya di hadapan orang lain, maka berarti dia telah mencelanya, dan barangsiapa yang menasihatinya secara rahasia, maka berarti dia telah memperbaikinya. Sesungguhnya penyampaian dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan penyampaian dengan maksud mencelanya.”

Dari pendapat di atas jelaslah hendaknya kritik atau nasihat disampaikan dengan cara yang baik dan tidak melukai perasaan dengan cara mengungkapkannya langsung secara personal tidak di hadapan forum atau untuk kehati-hatian hendaknya dilakukan dengan secara sembunyi-sembunyi.

Kemudian Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata: “Saya berkata kepada Mis’ar, “Apakah engkau suka apabila ada orang lain memberitahumu akan kekurangan-kekuranganmu?” Maka ia berkata, “Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku, maka saya tidak senang, tetapi apabila yang datang kepadaku adalah seorang pemberi nasihat, maka saya senang.”

Kemudian Imam Ibnu Hibban berkata bahwa Muhammad bin Said Al-Qazzaz telah memberitahukan kepada kami, Muhammad bin Manshur telah menceritakan kepada kami, Ali Ibnul Madini telah menceritakan kepadaku, dari Sufyan, ia berkata: Thalhah datang menemui Abdul Jabbar bin Wail, dan di situ banyak terdapat orang, maka ia berbicara dengan Abdul Jabbar menyampaikan sesuatu dengan rahasia, kemudian setelah itu beliau pergi. Maka Abdul Jabbar bin Wail berkata, “Apakah kalian tahu apa yang ia katakan tadi kepadaku? Ia berkata, ‘Saya melihatmu ketika engkau sedang shalat kemarin sempat melirik ke arah lain’.”

Abu Hatim (Imam Ibnu Hibban) rahimahullah berkata:”Nasihat apabila dilaksanakan seperti apa yang telah kami sebutkan, akan melanggengkan kasih sayang, dan menyebabkan terealisasinya hak ukhuwah.” (Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala, hal. 328-329)

Al Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said Ibnu Hazm rahimahullah (wafat tahun 456 H) berkata:”Maka wajib atas seseorang untuk selalu memberi nasihat, baik yang diberi nasihat itu suka ataupun benci, tersinggung atau tidak tersinggung. Apabila engkau memberi nasihat, maka nasihatilah secara rahasia, jangan di hadapan orang lain, dan cukup dengan memberi isyarat tanpa terus terang secara langsung, kecuali apabila orang yang dinasihati tidak memahami isyaratmu, maka harus secara terus terang. jika engkau melampaui adab-adab tadi, maka engkau orang yang zhalim, bukan pemberi nasihat, dan gila ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukhuwah. Ini bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan, melainkan hukum rimba, seperti  seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba sahayanya.” (Al Akhlak wa As Siyar fi Mudaawaati An Nufus, hal. 45)

Dan orang-orang salaf membenci amar ma’ruf nahi munkar secara terang-terangan, mereka suka kalau dilakukan secara rahasia antara yang menasihati dengan yang dinasihati, dan ini merupakan ciri nasihat yang murni dan ikhlas karena si penasehat tidak mempunyai tujuan untuk menyebarluaskan aib-aib orang yang dinasihatinya, ia hanya mempunyai tujuan menghilangkan kesalahan yang dilakukannya. Sedangkan menyebarluaskan dan menampakkan aib-aib orang lain, maka hal tersebut termasuk yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (Surat An-Nuur: 19)

Ada sebuah syair yang dinisbahkan kepada Imam Syafi’i rahimahullah (204 H), syair itu berbunyi:

“Hendaklah engkau sengaja mendatangiku untuk memberi nasihat ketika aku sendirian
Hindarilah memberikan nasihat kepadaku di tengah khalayak ramai
Karena sesungguhnya memberi nasihat di hadapan banyak orang
Sama saja dengan memburuk-burukkan, saya tidak suka mendengarnya
Jika engkau menyalahi saya dan tidak mengikuti ucapanku
Maka janganlah engkau kaget apabila nasihatmu tidak ditaati.” (Diwan Asy Syafi’i, hal. 56)

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafizhahullah berkata:

“Perlu diketahui bahwa nasihat itu adalah pembicaraan yang dilakukan secara rahasia antaramu dengannya, karena apabila engkau menasihatinya secara rahasia dengan empat mata, maka sangat membekas pada dirinya, dan dia tahu bahwa engkau pemberi nasihat, tetapi apabila engkau bicarakan dia di hadapan orang banyak, maka besar kemungkinan bangkit kesombongannya yang menyebabkan ia berbuat dosa dengan tidak menerima nasihat, dan mungkin pula ia menyangka bahwa engkau hanya ingin balas dendam dan mendiskreditkannya serta untuk menjatuhkan kedudukannya di mata manusia sehingga ia tidak menerima isi nasihat tersebut. Tetapi apabila dilakukan secara rahasia antara kamu dan dia berdua, maka nasihatmu itu amat berarti baginya, dan dia akan menerima darimu.” (Syarah Riyadhus Shalihin, juz 4 hal. 483)

Seorang pemberi nasihat wajib menunaikan hak saudaranya seiman yang memang wajib untuk ia tunaikan. Sehingga ia mendapatkan pahala dari nasihat yang ia berikan untuk saudaranya. Adapun celaan, mengoyak hak-hak hamba Allah, memecah belah persatuan serta merusak agama mereka. Lebih jauh lagi dia berdosa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai balasan atas perbuatannya yang menyakiti hamba-hamba Allah dengan cara menyebarkan gangguan dan kekejian di tengah mereka. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nuur: 19)

Allahu’alam bisshawab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (9 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...

Tentang

#Konsultan, #Alumni FSLDK, #Melingkar, Pencari Ridho Allah SWT

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization