Topic
Home / Berita / Opini / Mahasiswa Dalam Putaran Globalisasi

Mahasiswa Dalam Putaran Globalisasi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Dalam setiap agenda perubahan sebuah bangsa, selalu terselip peran pemuda di baliknya. Tidak bisa dipungkiri, dari sebagian pemuda penggiat perubahan itu, juga dapat dipastikan mereka kalangan terdidik (mahasiswa).

Dari masa ke masa di dalam setiap lembaran sejarah, mahasiswa sebagai sosok pemuda selalu menjadi pemeran utama dalam setiap perubahan dan pembangunan sebuah peradaban manusia. Mari sejenak kita buka kembali lembaran sejarah kemerdekaan bangsa kita. Bacalah jalan hidup Soekarno, Bung Hatta, Sjahrir, hingga Tan Malaka. Mereka semua rata-rata pada saat berusia dua puluhan tahun sudah aktif dalam dunia pergerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kenyamanan dan ketenangan hidup mereka singkirkan. Alih-alih kooperatif terhadap pemerintah kolonial dan mungkin saja mereka akan mendapatkan pekerjaan dan jabatan nyaman dari Belanda. Namun mereka justru lebih memilih untuk keluar masuk penjara dan diasingkan.

Sejatinya, mahasiswa sebagai pemuda generasi penerus bangsa memiliki tiga amanah penting yang tak tergantikan hingga saat ini. Yaitu sebagai iron stock, social control, serta sebagai agent of change. Sebagai iron stock, mahasiswa inilah yang memiliki peran sebagai generasi penerus utama dari para pemimpin yang telah ada saat ini. Mereka harus siap kapan saja untuk segera menggantikan pemimpin-pemimpin tua yang sudah lama berperan.

Dua tugas suci mahasiswa berikutnya yang sangat penting bagi eksistensi sebuah bangsa, yakni sebagai pengontrol sosial, sekaligus sebagai agen perubahan di dalam tatanan masyarakat. Sebagai social control, mahasiswa berkewajiban sebagai pengontrol kondisi sosial di dalam masyarakat, baik di sekitar mereka tinggal, maupun secara luas yakni Indonesia secara keseluruhan. Segala fenomena dan gejala sosial yang terjadi, sudah seharusnya menjadi perhatian para mahasiswa. Kemiskinan, kasus asusila, tawuran, hingga kerusakan lingkungan merupakan sebuah tugas besar yang menjadi PR para pemuda bangsa.

Atas dasar sebagai pengontrol sosial tersebutlah, maka mahasiswa otomatis bertugas sebagai agen perubahan. Setiap keadaan sosial dan kebangsaan yang tidak beres pada hari ini, harus segera diselesaikan oleh para mahasiswa sebagai elemen pemuda intelektual.

Berangkat pada tugas utama nan suci mahasiswa tersebut, maka yang patut kita pertanyakan saat ini adalah bagaimana peran mahasiswa saat ini dalam mengemban tugas amanah besar tersebut. Bangsa ini tentunya sangat berharap kepada mahasiswa yang merupakan elemen pemuda dalam masyarakat sekaligus kaum intelektual sebuah bangsa. Harapan besar terhadap mahasiswa sebagai pemuda ini merupakan hal yang wajar. Karena, kecil kemungkinan bangsa ini berharap kepada kaum tua, yang mana mereka bahkan sudah tidak berani banyak lagi untuk mengambil tindakan-tindakan dan manuver ekstrim. Selain itu kemampuan berpikirnya pun sudah buntu karena faktor usia.

Namun harapan ini sepertinya kini semakin sulit kita temukan realisasinya. Melihat kondisi saat ini, mahasiswa semakin jauh dari harapan bangsa. Semakin banyak penyakit-penyakit kronis yang menjangkiti mahasiswa mulai dari tawuran hingga asusila. Bagaimana mahasiswa akan melakukan perubahan, jika mereka yang bertindak sebagai agen perubahan justru rusak.

Selain itu, permasalahan besarnya adalah kian tumbuh suburnya sikap apatisme di dalam jiwa mahasiswa. Sepertinya mahasiswa saat ini kian galau dan menjadi semakin gamang dalam menghadapi arus globalisasi dunia yang merambah masuk ke Indonesia. Bagaimana tidak, selain sudah sibuk dalam jadwal perkuliahannya yang sangat padat dan dituntut untuk segera lulus, mereka pun dipusingkan dengan tuntutan zaman agar bagaimana setelah wisuda segera mendapatkan kerja. Keadaan zaman saat ini seakan-akan menjebak dan memerangkap mahasiswa ke dalam kondisi yang membuat mereka tak sempat lagi memperhatikan gejala sosial di sekitar mereka. Mereka terkungkung dalam kesibukan dan dunia mereka sendiri.

Mahasiswa kian tergencet oleh kewajiban-kewajiban kuliah mereka. Absen kuliah maksimal tiga kali, lebih dari itu terancam mendapatkan nilai buruk. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) pun kini standarnya semakin tinggi. Jika tidak mencapai tiga, maka stigma di mahasiswa adalah bakal susah mendapatkan kerja. Lulus kuliah pun, kian berubah orientasinya. Dari yang dahulu untuk menuntut ilmu secara luas, kini berkutat pada orientasi selembar ijazah bertuliskan gelar sarjana. Sehingga, jika masa studi lebih dari tiga tahun setengah akan mendapatkan cap sebagai mahasiswa yang malas.

Kalau sudah dikejar tuntutan zaman globalisasi seperti ini, maka bagaimana lagi mahasiswa bisa memikirkan untuk sekadar aktif berorganisasi dan belajar memikirkan bangsa?

Hal ini yang sangat berbahaya bagi kelangsungan bangsa kita. Kesibukan yang menyita pikiran sehingga timbul sikap acuh tak acuh terhadap permasalahan sosial bangsa. Melihat realita seperti ini, maka orientasi pendidikan kita harus segera diperbaiki. Selama ini mungkin pendidikan kita masih saja hanya sebatas orientasi prestasi akademik dan nilai hasil ujian semata.

Pendidikan kita seharusnya lebih berorientasi kepada nilai, dan penanaman budaya semangat untuk terus menuntut ilmu. Sehingga, jika kita menengok kembali sejarah kejayaan ilmu pengetahuan di masa lalu, kita dapat menemukan di mana banyak tumbuh tokoh ilmu pengetahuan dunia, seperti salah satunya Ibnu Sina. Beliau merupakan seorang dokter, namun ia tidak egois atas kesibukan pribadinya sebagai professional. Ia juga masih sempat untuk membahas dan membangun peradaban melalui ilmu-ilmu lain yang dimilikinya seperti fisika, filsafat, sastra hingga politik.

Semestinya kita semua menyadarinya. Jangan sampai penerus bangsa ini terjebak dalam kerasnya globalisasi. Sehingga kita terlena atas dunia kita sendiri dan melupakan masa depan bangsa. Karena peradaban manusia bukan hanya dibangun oleh ilmu pengetahuan semata, tetapi juga membutuhkan sentuhan nilai-nilai dan norma.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Aktivis KAMMI Daerah Lampung, Mahasiswa Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Lampung.

Lihat Juga

Cegah Sekulerisme, KAMMI Pangkalan Bun Adakan Training Kepemimpinan

Figure
Organization