Topic
Home / Berita / Opini / Gugatan untuk Harkitnas 20 Mei

Gugatan untuk Harkitnas 20 Mei

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Dalam kurun waktu sekitar tiga tahun terakhir (terhitung sejak 2008), penulis melihat cukup marak wacana yang membahas mengenai peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Harkitnas yang diperingati tanggal 20 Mei setiap tahunnya, mengambil momen diresmikannya Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908 sebagai organisasi dengan “inovasi perlawanan”  (dengan meminta kesempatan mendapat pendidikan) yang pertama kalinya muncul di Indonesia. Namun pada saat Harkitnas versi tanggal 20 Mei itu memasuki usianya yang ke 100 tahun (20 Mei 2008), dimana pemerintah Indonesia melakukan selebrasi besar-besaran untuk memperingatinya, muncul berbagai “gugatan” dari masyarakat mengenai pengambilan tanggal 20 Mei yang merupakan tanggal berdirinya BO sebagai titik tolak Harkitnas, sudah tepat atau belum?

Kajian-kajian kritis mengenai Harkitnas ini muncul berlandaskan argumen bahwa telah muncul organisasi dengan “inovasi perlawanan” lainnya, yakni Sarekat Dagang Islam (SDI) yang telah lebih dulu berdiri sebelum kemunculan BO. Salah satu pembahasan kebangkitan nasional ini misalnya diangkat oleh Tabloid Suara Islam edisi 45, 6-10 Juni 2008 halaman 17. Pada artikel itu disebutkan bahwa BO tampak kebelanda-belandaan. Ini misalnya terlihat dari penulisan anggaran dasarnya yang dituliskan dengan bahasa Belanda. Maka tidak adil jika kemudian BO dianggap sebagai teladan gerakan nasional.

Mengutip pernyataan KH. Firdaus AN (1999) tabloid itu juga menuliskan, “BO itu tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekaan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang jawa dan Madura elit yang menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya”.

Hal lain misalnya bisa di lihat pada asal 2 anggaran dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis” inilah tujuan Boedi Oetomo, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan (Rizki Ridyasmara dalam Ari Sentani, “Sarekat Islam Yang Terlupakan Dari Sejarah Kebangkitan Bangsa”, 2011). Dari pemaparan itu jelas sebenarnya BO hanya fokus pada nasib rakyat dan Madura saja.

BO versus SI

Sebagian kalangan yang menganggap BO tidak memenuhi kualifikasi sebagai pelopor gerakan kebangkitan nasional kemudian mengangkat Sarekat Islam (SI) sebagai pelopor kebangkitan nasional yang sesungguhnya.  Argumentasi di dasarkan pada tanggal berdirinya SDI, yang merupakan cikal bakal SI, telah berdiri di Surakarta pada 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi. SDI kemudian berubah nama menjadi SI pada tahun 1912 ketika di bawah pimpinan H.O.S Tjokroaminoto.

Pada awal berdirinya, SDI memang hanya terfokus pada aspek perdagangan semata. Namun pada masa keemasannya di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, SI tak lagi berkutat pada perdagangan, namun pergerakannya juga telah mencakup pendidikan dan politik. Hal ini misalnya bisa terlihat dari catatan sejarah yang membahas mengenai kelas-kelas dan orasi-orasi yang dibuat oleh Tjokroaminoto. Sehingga dalam hal pergerakan, SI mencakup lebih banyak aspek dibandingkan pergerakan BO.

SI juga terasa lebih menasional dapat dilihat misalnya dari formatur pemimpinnya yang memiliki latar belakang berbeda. Haji Samanhudi dan Tjokroaminoto berasal dari Jawa, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Pada tahun 1916 SI telah memiliki tujuh ratus ribu anggota. Jumlahnya melonjak hampir tiga ratus persen pada tiga tahun setelahnya (1919) dimana anggotanya mencapai dua juta orang. Angka yang sangat fantastis pada saat itu, mengingat populasi Indonesia yang belum seberapa banyak. Jika dibandingkan, anggota BO pada masa keemasan pun tak pernah lebih dari seratus ribu (Suara Islam edisi 45, 6-19 Juni 2008).

BO makin terasa tidak memiliki rasa nasional misalnya dari sikap pemimpinnya (Dr. Soetomo) yang dianggap tidak toleran pada Islam, agama mayoritas bangsa Indonesia. “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO pernah mengutip komentar Dr. Soetomo yang merendahkan Islam misalnya, “Digul lebih utama daripada Mekah” dan “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu kamu punya kiblat!”.

Mengapa Menggugat?

Kenyataan bahwa kini peringatan Harkitnas yang telah menjadi tradisi selalu menyertakan BO sebagai protagonis memang sulit untuk dirubah. Namun meskipun sulit, itu tak bisa dihindari. Terutama kepada para intelektual muslim yang harusnya terus menyokong perjuangan izzah al Islam.

Meramaikan wacana mengenai Harkitnas ini sebenarnya merupakan hal yang harusnya tak dihindari oleh segenap anak bangsa, terutama umat Islam. Mengapa demikian? Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang bisa dijabarkan mengapa kita perlu concern pada pembahasan ini. Pertama, pelurusan sejarah. Adalah sebuah kewajiban bagi umat Islam untuk menyampaikan kebenaran, sesuai yang tertuang dalam QS al Asr ayat 3, “…orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”. Maka wajib bagi umat Islam untuk menguak fakta yang sesungguhnya guna meluruskan kebenaran.

Kedua, adalah untuk menyadarkan umat Muslim Indonesia, bahwa sesungguhnya peran pendahulu mereka dalam perjuangan kemerdekaan bangsa tidaklah kecil, bahkan gerakannya sudah menasional, serta menjadikan Islam sebagai landasan dalam bergerak. Sedangkan yang ketiga adalah sebagai bagian dari “proyek besar” mengembalikan Islam sebagai fundamen kehidupan umat Islam Indonesia. Krisis percaya diri yang selama ini menyelimuti umat Islam, bahwa seakan-akan Islam sebagai suatu manhaj (pandangan hidup) tak banyak ditemukan dalam sejarah perjalanan bangsa bisa “terobati” dengan terpaparnya fakta sumbangsih Islam (sebagai manhaj) sesungguhnya eksis di tengah-tengah masyarakat, bahkan membuat sebuah terobosan besar dalam metode perjuangan bangsa di kala itu.

Langkah-langkah kecil seperti pelurusan sejarah ini mudah-mudahan bisa mengembalikan kepercayaan umat Islam di negeri ini bahwa sesungguhnya Islam itu tinggi, dan tak ada yang bisa menandinginya. Wallahu’alam.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Univ. Indonesia angkatan 2010; anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI 2011; staf ahli stratedi Departeman Kajian Strategi (Kastrat) Nuansa Islam Mahasiswa (Salam) UI.

Lihat Juga

Salimah Siap Gelar Silaturahim Koperasi dan UKM Nasional

Figure
Organization