Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Apakah Dia Bertasbih Seperti Aku Bertasbih?

Apakah Dia Bertasbih Seperti Aku Bertasbih?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ﴿١﴾

(Q.S. As-Shaf [61]: 1)

وَإِذَا رَأَوْكَ إِن يَتَّخِذُونَكَ إِلَّا هُزُوًا أَهَٰذَا الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ رَسُولًا﴿٤١﴾

(Q.S. An-Nur [25]: 41)

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا﴿٤٤﴾

(Q.S. Al-Isra'[17]: 44)

Ilustrasi (shintarizal.blog.com)

dakwatuna.com – Di penghujung musim dingin dedaunan pepohonan berguguran, batang, dan tangkai mereka kering seperti kulit manusia yang kekurangan vitamin. Di awal musim panas mereka memamerkan kuncup-kuncup bunga yang beraneka warna dan semerbak bau harum dari taman-taman alam. Kelopak-kelopak bunga yang terbuka memperlihatkan keindahan tata rias bunga seperti gaun kecantikan yang melukiskan keindahan kreasi Allah, penata alam semesta. Olehnya itu, setiap dari mereka melukiskan kosakata-kosakata keindahan dan kesempurnaan penciptaan yang luar biasa.

Di sini mereka seperti berkata: “Wahai manusia, dengan fitrah penciptaan, aku butuh kepada kuncup, bunga, dan daun itu. Di sini aku melukiskan kepapaan terhadap kekayaan khazanah rezeki Allah yang tidak terkira di penghujung musim dingin. Apakah engkau telah menampakkan kepapaan yang sama terhadap-Nya? Jika kebutuhan kelangsungan hidupku tidak sebanding dengan kebutuhanmu yang tidak terhitung, kenapa engkau masih congkak tidak ingin bertaubat dan bersujud memperlihatkan kehambaan dan kepapaanmu di hadapan keagungan dan kekuasaan-Nya?”

Tentunya, pepohonan –sebagai salah satu contoh- memperlihatkan diri mereka sebagai makhluk yang sangat butuh terhadap penyucian itu. Yang demikian itu karena setiap wujud dan kehidupan datang dari-Nya. Mereka punya kesiapan menerima kebutuhan-kebutuhan hidup sesuai dengan fitrah penciptaan mereka yang menginginkan kesempurnaan. Anugerah ini tidak henti-hentinya tercurahkan sesuai dengan kebutuhan hidup mereka. Dan jika keterikatan makhluk ini terputus dengan Allah, ia pun musnah seketika itu dari alam ini. Olehnya itu, untuk melanggengkan curahan nikmat ini mereka butuh doa dan penyucian Zat yang Maha Pemberi.

Rahasia ini dikoleksi oleh ketiga ayat di atas.

Lebih jelasnya, saya mengajak Anda sekalian mendengarkan paparan Syekhul Islam Abu Suud di saat menafsirkan salah satu jumlah yang ada di ayat kedua, yaitu firman-Nya: (كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلاَتَهُ وَتَسْبِيْحَهُ)

Di sini beliau berkata:

(كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلاَتَهُ وَتَسْبِيْحَهُ), artinya: setiap dari mereka tahu doa dan tasbih masing-masing sesuai dengan apa yang diilhamkan kepada mereka. Tentunya, ini menunjukkan bahwa doa dan tasbih itu tidak terucap, kecuali disertai dengan ilmu dan keyakinan yang sempurna, tanpa melanggar dan merusak satu pun dari pesan-pesan ilham itu. Sesungguhnya bentuk ilham seperti ini –ilham Allah terhadap seluruh makhluk hidup- yang sarat dengan ilmu pengetahuan yang sempurna tidak diketahui oleh semua orang, kecuali yang dirahmati oleh Allah untuk mendapatkan kesempatan mengetahui sebagian rahasianya. Bagaimana tidak, seekor landak, meskipun tingkat pengetahuannya sangat sederhana, mereka melaporkan: “Hewan ini mampu mendeteksi waktu angin timur dan barat sebelum keduanya bertiup, sehingga ia pun mulai merubah pintu kamarnya (tempat persembunyiannya yang membelakangi arah angin). Kejadian serupa sebelumnya ditemukan di Konstantinopel, di sana ada seorang lelaki yang menjadi kaya karena kemampuannya mendeteksi kapan terjadinya angin dahsyat, sehingga perahu-perahu mereka pun dapat diselamatkan. Dia punya kemampuan seperti ini karena ia memelihara landak dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan alam sesuai dengan cara landak beradaptasi dengan alam.” [[1]]

Sebelumnya, Hujjatul Islam Syekh al-Ghazali melihat bahwa yang terpenting dalam hal ini, bagaimana menangkap pesan-pesan tasbih mereka (لسان الحال) dari tasbih itu sendiri (لسان المقال). Artinya, mereka yang diberikan kesempatan dan taufik oleh Allah untuk mendengarkan dan mengetahui tasbih-tasbih mereka hendaknya tidak terpaku pada makna lahiriah tasbih itu sendiri, tetapi berupaya memahami sejauh mana mereka menyuguhkan tingkat kehambaan yang luar biasa terhadap Allah SWT. Yang patut diketahui, meskipun pengetahuan terhadap tata cara tasbih mereka di luar dari kemampuan manusia, tetapi setiap dari mereka telah disapa oleh (Q.S. Fusshilat [41]: 11) yang menegaskan bahwa langit dan bumi tunduk terhadap perintah Allah SWT dengan bahasa fitrah penciptaan mereka masing-masing.

Firman-Nya:

ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ﴿١١﴾

(Q.S. Fusshilat [41]: 11)

Untuk lebih jelasnya, simak dan telaah penjelasan beliau berikut ini:

“Di sana goresan-goresan makna (لسان الحال) yang lahir dari setiap perkataan (لسان المقال). Yang dangkal pemahamannya hanya terpaku pada makna lahiriah dan pengucapan itu sendiri, sementara itu, yang dalam pengetahuannya terhadap hakikat-hakikat penciptaan tahu makna dan rahasia setiap dari ucapan itu. Ini dapat dicontohkan dari perkataan seseorang dari mereka: “Dinding berkata kepada paku: “Kenapa engkau menyakitiku?” Jawab paku: “Jangan tanya aku, tetapi tanya orang yang mengetukkan palunya ke kepalaku.” Ini contoh makna (لسان الحال) yang diungkapkan dengan perkataan (لسان المقال). Yang seperti ini telah dijumpai di firman-Nya berikut ini: “Kemudian Dia bermaksud menciptakan langit dan langit itu sendiri masih merupakan asap, kemudian Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa!” Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. Yang terjebak oleh makna lahiriah saja memahami bahwa Allah memberikan mereka berdua kehidupan, akal, dan kemampuan memahami perintah yang terdiri dari suara dan huruf, sehingga mereka pun menjawab dengan huruf dan suara: “Kami berdua datang dengan penuh ketaatan”. Yang tidak terjebak oleh makna lahiriah, mereka yang mengetahui bahwa yang demikian itu adalah (لسان الحال) yang memberitahu bahwa mereka berdua wajib tunduk sesuai fitrah penciptaan mereka yang lahir untuk tunduk terhadap-Nya. Contoh lain firman-Nya: “Dan tidak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Q.S. Al-Isra'[17]: 44). Yang dangkal pemahamannya mengira bahwa benda-benda mati punya kehidupan, akal, dan kemampuan menyusun kata dan makna sehingga mereka pun bertasbih dengan mengatakan (سُبْحَانَ الله). Tetapi, yang mengetahui hakikat memahami bahwa maksud dari ayat ini bukanlah ucapan lidah, tetapi ia bertasbih dengan wujudnya, menyucikan dengan zatnya, menyaksikan keesaan Allah SWT, seperti perkataan seseorang:

Setiap sesuatu punya ayat        #       Yang menunjukkan bahwa Dia Esa

Dikatakan pula bahwa ciptaan-ciptaan yang sempurna ini menunjukkan keindahan kreasi dan kesempurnaan ilmu pengetahuan penciptanya. Artinya, mereka tidak menyatakan kesaksian ini dengan perkataan, tetapi dengan zat dan perihal mereka. Olehnya itu, tidak ada satu pun dari mereka, kecuali butuh kepada pencipta yang telah menampakkan zat mereka di alam wujud, memelihara, dan menjaga sifat-sifat penciptaan mereka di sepanjang fase-fase kehidupan yang wajib dilewati. Dengan kebutuhan seperti ini mereka memberikan kesaksian kepada penciptanya dengan pujian dan penyucian yang diketahui oleh mereka yang dirahmati Allah, bukan yang terjebak oleh makna lahiriah semata. Maka dari itu, firman-Nya: “Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka”. Tafsirannya, yang dangkal pengetahuannya tidak memahaminya sedikit pun, tetapi, yang dekat dengan Allah dan ulama punya pengetahuan tentang itu, namun, mereka tidak mengetahui hakikat dan kesempurnaan tasbih itu sendiri karena setiap makhluk punya kesaksian yang beraneka ragam terhadap kemuliaan dan kesucian Allah SWT. Setiap dari mereka punya pengetahuan terhadapnya sesuai tingkat akal dan kesucian hati mereka. Ilmu seperti ini memperlihatkan derajat manusia yang berbeda di sisi Allah SWT.”[[2]]

Jika Anda telah menyadari hal di atas, sekarang Anda diajak untuk mengais makna-makna salam (لسان الحال) yang diperlihatkan pohon dan batu terhadap Rasulullah Saw di saat menapaki lereng-lereng pegunungan kota Mekah untuk mencari tempat tahannust (mengasingkan diri untuk sementara waktu guna menyucikan diri, pengasingan diri ini terjadi pada bulan Ramadhan sebelum ia diangkat sebagai nabi), hingga akhirnya tiba di gua hira. [[3]]

Peristiwa ini diberitakan sendiri oleh Rasul Saw di hadits berikut:

           (إِنِّى لأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَىَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ، إِنِّى لأَعْرِفُهُ الآنَ).

“Sesungguhnya saya mengetahui batu di Mekah yang pernah menyalamiku sebelum aku diutus. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahuinya sekarang.”[[4]]

Tentunya, yang tidak terpaku pada bahasa lahiriah batu dan pohon di saat mereka menyalami Rasul Saw memahami bahwa salam tersebut menyiratkan beberapa keagungan makna, di antaranya:

  • Mereka ingin menjadi bukti nyata terhadap kemuliaan Nabi Saw.
  • Nabi Saw sebaik-baik hamba yang memaknai kehidupan dengan nilai-nilai kehambaan yang sarat dengan akhlaq Qur’ani.
  • Nabi Saw sebaik-baik hamba yang memahami arti dan tujuan penciptaan semua entitas kehidupan.
  • Nabi Saw sebaik-baik hamba dalam berinteraksi dengan alam dan isinya. Ia tidak pernah menzhalimi satu pun dari makhluk Allah SWT.

Jika Anda bertanya: “Kenapa saya wajib punya pemahaman seperti ini? Tanpa paham ini pun, saya masih dapat menjalankan ibadah dengan baik. Kenapa saya harus tahu semua ini? Faedah apa yang dapat saya petik di balik pengetahuan ini?”

Anda patut mengetahui ini. Karena dengan mengetahuinya, Anda melihat dunia flora, fauna, dan benda-benda mati sebagai makhluk yang tidak jauh beda dengan Anda, makhluk-makhluk yang senantiasa memberi pujian dan penyucian kepada Allah, seperti apa yang Anda lakukan setiap hari.

Dengan mengetahui ini, Anda sekalian takut mendatangi kemaksiatan. Karena jika azab turun karena kemaksiatan itu, maka yang ditimpa musibah bukan hanya Anda sekalian, tetapi semua makhluk. Olehnya itu, di Al-Qur’an orang-orang zhalim terlaknat dengan laknat yang menyedihkan. Mereka dilaknat karena mudarat kemaksiatan itu juga berimbas kepada makhluk lain yang senantiasa memanjatkan pujian dan penyucian terhadap Allah. Ibadah mereka yang berkesinambungan terputus hanya karena ulah tangan orang-orang jahil. Tentunya, wajar jika Allah melaknat orang-orang zhalim, Ia menyertakan laknat seluruh makhluk kepada mereka.

Makna dan hakikat di atas dapat dijumpai dengan jelasnya di pernyataan Ustadz Nursi berikut ini:

“Setan dan pengikutnya mampu melakukan penghancuran masal hanya dengan perilaku sederhana. Itu terjadi karena mereka mengikuti kesesatan, sehingga perilaku sederhana tersebut dapat mendatangkan kerugian besar terhadap hak-hak orang lain. Ini dapat dicontohkan seperti orang yang melubangi kapal dagang yang ditumpanginya, sehingga dengan kezhaliman itu, ia mencegah semua penumpang untuk menuai jerih payah halal mereka dengan tenggelamnya kapal. Olehnya itu, pemilik kapal berhak bahkan berkewajiban memberikan ancaman dan hukuman berat terhadapnya dengan mengatasnamakan semua penumpang yang dirugikan oleh ulah kezhaliman tersebut.

Jika perihal manusia seperti ini, maka perihal Allah SWT tidak jauh beda. Dia memberikan ancaman yang sangat menakutkan dan menyediakan siksaan yang sangat pedih terhadap orang-orang zhalim karena mereka telah melanggar hak-hak semua makhluk hidup.”[[5]]

Pernyataan tegas ini tafsiran maknawi terhadap ayat yang menafikan kecintaan Allah terhadap orang-orang zhalim.

وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

(Q.S. Ali-Imran [3]: 57, 140)

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

(Q.S. Al-Maidah [5]: 87)

Di samping itu, dengan mengetahui ini, Anda dapat memaknai firman-Nya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

(Q.S. Al-Fatihah [1]: 5)

Dengan pengetahuan tersebut Anda dapat menjawab pertanyaan yang mengatakan: “Kenapa kata (نَعْبُد) dan (نَسْتَعِيْن) datang dengan bentuk jamak (plural)? Bukankah yang shalat itu hanya diri kita sendiri? Yang membacanya adalah diri kita sendiri, baik dalam shalat berjamaah atau tidak.”

Yang demikian itu karena manusia adalah khalifah Allah, sehingga dalam shalat, indeks yang mencerminkan ibadah semua entitas kehidupan, mereka seperti mewakili makhluk-makhluk lain menyuguhkan ibadah dan pengabdian, sehingga di saat mereka mengucapkan (إِيّاكَ نَعْبُدُ وَإِيّاكَ نَسْتَعِيْن), mereka seperti mengucapkan: “Ya Allah, inilah shalatku, indeks ibadah-ibadah makhluk-Mu, yang mewakili ibadah mereka. Aku dan mereka senantiasa menyembah dan meminta pertolongan-Mu. Ya Allah, dengan penuh kekurangan dan kepapaan, terimalah ibadah kami ini.”

Jawaban ini pun dapat ditemukan di pernyataan Ustadz Nursi berikut ini:

“Dengan (إِيّاكَ نَعْبُدُ وَإِيّاكَ نَسْتَعِيْن) ia seperti mewakili ibadah dan kebutuhan jamaah besar dan masyarakat luas seluruh makhluk yang senantiasa meminta petunjuk-Nya ke jalan yang lurus, jalan memberi terang kepada kebahagiaan abadi dengan melewati titian masa akan datang yang gelap gulita dengan membaca: (إِهْدِنَا الصّرَاط المُسْتَقِيْمَ).” [[6]]

Di penghujung tulisan singkat ini, saya mengajak pemerhati hikmah-hikmah kehidupan untuk menyuarakan kesimpulan berikut ini:

“Pujian dan tasbih makhluk-makhluk Allah  (لسان المقال)yang disuarakan oleh ayat-ayat dan hadits di atas mengajak Anda menyelami goresan-goresan makna (لسان الحال) yang terkoleksi rapi di balik semua itu dan menyadarkan Anda untuk tidak terjebak oleh makna lahiriah semata. Hakikat di atas membuat Anda kritis terhadap fenomena-fenomena alam yang mengantarkan Anda tahu dan mampu menafsirkan mereka dengan penafsiran yang tidak menjauhi ruh syariat Islam. Di samping itu, dengan pengetahuan di atas Anda diajak untuk melihat seluruh entitas kehidupan sebagai kreasi Allah yang senantiasa menjalankan ibadah dengan penuh ketaatan seperti yang Anda lakukan tiap hari, sehingga dengan sendirinya Anda tidak menzhalimi mereka karena melihat diri Anda sebagai khalifah yang mewakili mereka menyuguhkan pelbagai ibadah kepada Allah, khususnya di shalat, indeks ibadah-ibadah makhluk. Jika Anda meyakini ini dan mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, tentunya, Anda telah menghidupkan Sunnah Nabi Saw, teladan umat yang paling sempurna memaknai kehidupan dengan akhlaq Qur’ani. Selamat menelaah dan mengikuti jejak beliau.”


Catatan Kaki:

[1] Lihat: Tafsir Syekh Abu Suud, vol. 4, hlm. 471

[2] Abu Hamid al-Gazali, Ihya Ulumuddin, Dar as-Sya’b, Kairo, vol. 1, hlm. 178

[3] Lihat: Abdul Malik bin Hisyam (w 213, atau 218 H), as-Sirah an-Nabawiyah, dikomentari dan ditakhrij haditsnya oleh Prof. Dr. Umar Abdus Salam Tadmuri, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, cet. 3, 1410 H/1990 M, vol. 1, hlm. 264-265

[4] Hadits ini riwayat Jabir bin Samurah RA di Shahîh Imam Muslim, kitab al-Fadhâil, bab Fadhl Nasab an-Nabi wa Taslimil Hajar Alaihi, hadits. no: 6078, hlm. 1202

[5] Al-Lamaât, vol. 3, hlm. 112

[6] al-Kalimât, hlm. 46

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Pensyarah antar-bangsa (Dosen) Fakulti Pengajian Alqur'an dan Sunnah, universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Degree, Master, Phd: Universiti Al-Azhar, Cairo. Egypt

Lihat Juga

Sucikan Hati dan Sebarkan Kebaikan

Figure
Organization