Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Di Bawah Payung Kesabaran

Di Bawah Payung Kesabaran

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Entah seberapa luaskah kesabaran yang dimiliki Ibu. Di balik dukanya selalu tersimpul seulas senyuman yang mengagumkan. Tak pernah sekalipun kudengar ungkapan keluh kesah dalam setiap ujian hidup yang menderanya. Ibu bagiku adalah seorang perempuan perkasa melebihi siapa pun.

Masih terekam jelas dalam memoriku, saat Bapak dengan terang-terangan mengatakan memiliki perempuan lain di luar sana. Waktu itu aku masih terlalu dini untuk bisa memahami semuanya. Tapi usiaku yang baru menginjak 7 tahun dapat merasakan bahwa itu adalah sesuatu yang menyakitkan bagi Ibu. Apakah Ibu menangis? Tidak, yang kulihat justru seulas senyum yang begitu tulus. Indahnya senyum Ibu tidak akan pernah terlupakan sampai kapanpun. Aku semakin kagum melihat kebesaran jiwa Ibu yang dengan ikhlas melepaskan Bapak untuk perempuan lain. Tak ada sepatah kata pun, suara makian atau pun celaan untuk Bapak dan perempuan simpanannya itu,  yang keluar dari lisan Ibu. Padahal saat itu aku merasa sangat benci sekali pada Bapak dan ingin sekali menghardiknya.

Setelah ditinggalkan Bapak, Ibu lah satu-satunya orang yang menjadi tumpuan hidupku. Ibu rela bekerja apa saja untuk menghidupiku, agar sesuap nasi tetap bisa masuk dalam perut kami dan agar aku tetap bisa bersekolah. Suatu waktu Ibu bekerja sebagai buruh tani, di waktu yang lain Ibu bekerja sebagai buruh cuci atau pedagang asongan.

Saat aku lulus SMA kusampaikan hasratku untuk melanjutkan kuliah ke luar kota. Lagi-lagi dengan anggukan yang begitu mantap dan seulas senyuman yang lebar, Ibu merestui keinginanku dengan sepenuh hati. Padahal aku tahu untuk makan sehari-hari, Ibu harus bekerja keras, banting tulang siang dan malam. Tega kah aku menambah beban Ibu dengan biaya kuliah yang tak sedikit, dan tega pula kah aku meninggalkan Ibu seorang diri di rumah ini? Tapi ketika Ibu melihat guratan keraguan di wajahku, Ibu justru menguatkanku dengan nasihatnya yang menyejukkan qolbu.

“Pergilah Nak! Tak usah kau risaukan soal rezeki, Allah itu ada. Dia tak akan mungkin membiarkan hamba-Nya berjuang sendirian, tanpa mengulurkan tangan-Nya untuk membantu kita. Bila tekadmu telah kuat percaya lah, bahwa pertolongan Allah itu teramat dekat. Hanya satu pesan Ibu, belajarlah dengan sungguh-sungguh, kuliah bukan hanya untuk mencari gelar atau kebutuhan mental. Tetapi yang jauh lebih penting dari itu, kuliah adalah tempat untuk meningkatkan amal, untuk bisa mengajarkan, untuk bisa berbagi dan memenuhi kebutuhan spiritual. Jangan sampai kita meninggal tanpa nama dan ilmumu sia-sia lantaran hanya karena tujuan dunia. Kejernihan hati dan budi pekerti yang luhur menjadi benteng dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Perintah Allah dan teladan dari Rasul-Nya menjadi pelita dan pedoman dalam setiap langkah kita. Jika engkau bersabar dengan dirimu sendiri itu adalah sebuah keanggunan, jika engkau bersabar terhadap orang lain itu adalah sebuah kebesaran dan jika engkau bersabar terhadap kehidupan itu adalah kekuatan iman. Kesabaran adalah kesetiaan untuk tetap berprasangka baik kepada Allah, walaupun itu terasa berat. Jangan pernah gentar Nak dalam menghadapi kehidupan ini, karena di balik setiap kesulitan yang menimpa, selalu ada Allah yang maha penolong.”

Dengan berbekal nasihat dari Ibu, dengan langkah mantab aku pun pergi meninggalkan kampung halaman ke negeri rantau. Ya, memang tak sepatutnya aku takut dalam menghadapi hidup ini. Suka dan duka dalam kehidupan adalah sebuah keniscayaan dan itulah fitrah dari sebuah perjuangan.

Ibu adalah sosok wanita yang selalu menginspirasiku. Setiap kali kujumpai kesulitan di tanah rantau, selalu saja kuingat wajah Ibu, ketegarannya, kesabarannya dalam menjalani hidup, dan seuntai nasihatnya yang diberikan ketika aku hendak pergi. Itulah yang selalu menguatkanku setiap kali ada badai yang menyapa.

Alhamdulillah, sambil kuliah aku pun bekerja sebagai karyawan sebuah toko. Walaupun dengan gaji yang tak seberapa, namun bagiku cukuplah untuk meringankan sedikit dari beban Ibu. Paling tidak untuk biaya kebutuhan sehari-hari aku tidak terlalu bergantung lagi pada Ibu, dan mencari pinjaman ke sana – ke mari saat kiriman Ibu belum datang. Tapi jadwal kunjunganku untuk pulang semakin berkurang. Ya, karena tuntutan kerja, mau tak mau aku harus mematuhi peraturan yang ada. Jadwal pulang yang setahun hanya dua kali cukup membuncahkan rasa kangen yang luar biasa pada Ibu.

Ketika jadwal pulang tiba, dengan bergegas dan penuh suka cita aku menyambutnya. 3 hari sebelum pulang, telah kupersiapkan barang-barang yang hendak kubawa pulang. Tak lupa pula kubawakan oleh-oleh untuk Ibu. Ya walaupun sederhana, tetapi aku bahagia bisa memberi sesuatu untuk Ibu.

Begitu sampai di rumah, aku segera menghambur dalam pelukan Ibu, tersungkur bersujud di bawah telapak kakinya. Kulihat guratan di wajah Ibu yang semakin menua, tangannya yang semakin kasar serta kakinya yang bengkak dan pecah-pecah. Itu menandakan betapa kerasnya Ibu bekerja untuk menghidupiku selama ini. Aku ingin menangis ketika melihat itu, tapi lagi-lagi Ibu selalu tersenyum dan berkata.

“Keluh kesah adalah pantangan terbesar dalam menjalani kehidupan ini. Jadikan selalu kesabaran sebagai senjata utama, karena Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar.”

Waktu tiga hari kepulanganku, terasa begitu singkat. Rasanya belum puas kutumpahkan rasa rinduku pada Ibu. Tapi aku harus kembali ke negri rantau, melanjutkan perjuangan, belajar dan bekerja guna menggapai masa depan yang gemilang. Agar aku dapat membahagiakan Ibu selalu.

Sebelum berangkat kuserahkan sebuah baju sederhana itu pada Ibu, juga sebuah amplop berisi uang gajiku bulan ini. Rasa iba melihat keadaan Ibu yang semakin lemah mendorongku untuk menyerahkan semua uang gajiku yang tak seberapa itu. Agar Ibu dapat beristirahat lebih banyak, dan membeli vitamin untuk kesehatan tubuhnya. Mengenai bagaimana biaya hidupku untuk bulan ini, tak terlalu kurisaukan. Bagiku Ibu adalah segalanya, Ibu yang telah mengajari arti sebuah kesabaran dalam menjalani kehidupan. Toh ada Allah yang menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. Semut yang sekecil itu saja selalu Allah jamin rezekinya, apalagi seorang manusia yang sedang belajar arti sebuah kesabaran.

“Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya ia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

Bukankah janji Allah itu benar???

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (16 votes, average: 9.75 out of 5)
Loading...

Tentang

Safira Rahima adalah nama pena dari Santy Nur Fajarviana. Ingin selalu menjadi manusia pembelajar di universitas kehidupan yang tak ada batas usianya ini. Pernah mendapat juara harapan 2 lomba menulis novel tingkat nasional juga juara 3 lomba menulis artikel tingkat provinsi. Saat ini ia sedang berjuang menggapai mimpinya untuk menjadi penulis best seller dan bercita-cita mendirikan sekolah menulis di kota kelahirannya, Madiun.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization