Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Sang Presiden

Sang Presiden

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

Januari 2029

dakwatuna.com – Ahmad Jaelani, Presiden Indonesia, menatap satu persatu teman halaqahnya. Mereka ada 10 orang, sedang duduk melingkar di atas ambal lembut made in Iran di sebuah ruang keluarga di Istana Kepresidenan Cikeas Bogor.

Dalam halaqah ini, keterikatan antar personil sudah begitu dekat, layaknya bagaikan saudara sekandung. Sehingga tak ada lagi yang dirahasiakan serta dalam menghadapi persoalan saling memikul dan membahu. Halaqah adalah semacam bentuk pertemuan pengajian pekanan yang di dalamnya membahas masalah-masalah keagamaan, kemasyarakatan, pekerjaan masing-masing personil halaqah dan bagaimana mengimplementasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.

Ahmad Jaelani menarik nafas pelan dan berkata, “Sepuluh tahun saya telah menjadi Presiden RI. Saat ini adalah bulan-bulan terakhir saya memimpin bangsa ini. Periode kedua telah berakhir. Tidak ada periode yang ketiga. Inilah titik-titik kesempatan terakhir bagi saya dalam menyumbangkan seluruh potensi yang saya miliki guna kemaslahatan bagi bangsa ini. Saya mau bertanya kepada kalian sahabat-sahabatku seperjuangan dalam dakwah dan dalam membenahi bangsa ini. Apakah setelah sepuluh tahun kepemimpinanku, saat ini masih adakah rakyatku yang tidak makan? Masih adakah yang buta huruf atau tidak sekolah karena kemiskinan? Masih adakah anak-anak yang dipekerjakan di usia sekolah? Dieksploitasikan? Masih adakah yang tidur di bawah kolong jembatan? Di taman-taman kota? Di emperan-emperan toko? Masih adakah yang tergolek sakit tanpa sentuhan seorang dokter karena kemiskinan? Masih adakah yang menadahkan tangannya di tengah jalanan dan di keramaian kota? Masih adakah warga Negara kita yang bekerja sebagai TKW di Negara orang dan mengalami penyiksaan dan pelecehan? Kalaulah masih ada, maka sangat beratlah pertanggungjawabanku kepada Allah”. Mata sang Presiden mulai berkaca-kaca, membentuk genangan air bagai butiran mutiara yang menghiasi sepasang bola matanya yang teduh. Dia mencoba menahan sedunya. Namun tangisan hatinya lebih membuncah dalam isakan tertahan.

Berharap sebongkah jawaban pasti dan realistis dari para sahabatnya, dia pandangi mereka satu persatu, dengan pandangan kasih sayang dan cinta. Para sahabatnya menunduk, tak mampu menatap ke kedalaman mata yang beriak laksana lautan biru yang meluas dan tenang itu.

“Apakah kediaman kalian, sahabatku, menandakan keberatan hati kalian menyampaikan sesuatu yang buruk padaku? Janganlah kalian takut, aku tidak akan memarahi ataupun memecat kalian. Bahkan bagi siapa di antara kalian yang menyampaikan berita keburukan akibat kepemimpinanku yang menimpa masyarakat, aku akan memberikan hadiah kepadanya sebagai rasa terima kasihku atas kejujurannya. Sampaikanlah kepadaku, sepahit apa pun!” Salah seorang dari sahabatnya, “zero one, ZO” , menatap dalam dan penuh kasih kepada Sang Presiden, untuk kemudian dia berkata pelan dan hati-hati, “ Dalam pengamatan dan peninjauan yang saya lakukan ke beberapa daerah di Indonesia ini sebagai seorang Menteri Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat pada pemerintahan ini, hal-hal yang Saudara Presiden tanyakan tadi, beberapa di antaranya sudah terlaksana dengan baik dan ada yang masih belum tuntas benar penyelesaiannya dan diharapkan dapat dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru nantinya”. Sang Presiden menatap Menteri Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat itu dengan serius, “Apa-apa sajakah yang telah terlaksana dengan baik dan apakah yang belum tuntas itu Sahabatku?” “ZO” menarik nafas pelan kemudian berkata, “Saat ini rakyat Indonesia sudah tidak ada lagi yang tidak makan karena kemiskinan. Sudah tidak ada lagi yang buta huruf atau tidak sekolah karena kemiskinan. Sudah tidak ada lagi anak-anak yang dipekerjakan di usia sekolah maupun dieksploitasikan karena kemiskinan. Sudah tidak ada lagi yang tidur di bawah kolong jembatan, di taman-taman kota dan di emperan-emperan toko. Mereka telah dikumpulkan pada satu Yayasan Penampungan dan Pembinaan Rakyat – YPPR yang akan membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan agar mereka menjadi anak-anak yang mandiri, kreatif dan berdaya guna. Juga rakyat Indonesia sudah tidak ada lagi yang tergolek sakit tanpa sentuhan dan bantuan medis karena kemiskinan. Sudah tidak ada lagi yang menadahkan tangannya di tengah jalanan dan di keramaian kota, karena mereka telah diserahkan kepada yayasan penampungan dan pembinaan masyarakat Indonesia seperti anak-anak tadi. Hanya saja Saudaraku Presiden, hal yang belum tuntas itu adalah masih adanya warga negara kita yang bekerja di negara orang sebagai pembantu rumah tangga dan mengalami penyiksaan dan pelecehan. Hal ini karena Program dari Kementerian Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat tentang penarikan para TKI dari Negara lain belum memasuki tahap akhir. Saat ini kita masih memasuki tahap ketiga dari lima tahap yang diprogramkan agar semua TKI kita dapat ditarik dari Negara lain untuk kemudian ditampung dan dibina pada yayasan penampungan dan pembinaan rakyat. Dua tahap terakhir ini diperhitungkan akan mampu menarik seluruhnya TKI kita.” “Berapa tahunkah dua tahap itu?” Tanya Sang Presiden penuh perhatian. “ZO” berpikir sejenak, “Dalam satu tahap diprogram tiga tahun berarti dua tahap ada enam tahun”. Mendengar itu Sang Presiden menghela nafas panjang dan berpikir keras. Dimainkannya jari jemarinya saling bertemu dan bertaut, mencoba merilekskan pikirannya. Para sahabat lainnya, tekun menyimak pembicaraan itu dan belum hendak memberikan pendapat. “Kira-kira berapa dana yang dibutuhkan untuk dua tahap itu?” Gumam Sang Presiden. “ZO” mengambil HP-nya dari sakunya, kemudian membuka-buka catatan kerjanya yang sudah diprogramnya di HP tersebut. Dia menatap Sang Presiden dan berkata: “Saudaraku Presiden, kita membutuhkan dana sekitar dua belas trilyun untuk dua tahap itu”. Sang Presiden menoleh ke samping kanannya dan berucap: “Saudaraku “Zero Two, ZT”, berapakah utang kita kepada Negara lain?” “ZT”, Menteri Keuangan RI menatap Sang Presiden penuh arti seraya berkata dengan lembut, “Saudaraku Presiden, tahun 2028 lalu kita telah melunaskan seluruh utang-utang kita kepada Negara lain, dan saat ini ada beberapa Negara miskin yang berutang kepada Indonesia. Jumlahnya semua memang tidak banyak. Hanya 10 trilyun rupiah”. Wajah Sang Presiden kelihatan segar dan cerah mendengar laporan dari sahabatnya Menteri Keuangan RI. Dengan tersenyum Sang Presiden berkata, “Alhamdulillah, inilah yang aku cita-citakan sejak remaja dulu. Indonesia tanpa utang dan Indonesia yang memiliki piutang. Subhanallah, bersyukurnya hamba ya Allah, Engkau berikan kesempatan dan pertolongan mewujudkan impian hamba itu. Alhamdulillah ya Rabbul ‘alamin!” Mata Sang Presiden berkaca kembali, dia sangat bahagia dan merasakan kelapangan yang luar biasa dalam hidupnya. Dia berpaling ke sahabatnya di posisi kiri ujung dan berkata, “Saudaraku “Zero Three, ZT1”, engkau telah bekerja keras dalam menjalankan tugasmu sebagai Menteri Energi, Mineral dan Sumber Daya Negara. Aku berterimakasih padamu sekaligus memohon maaf karena selama pemerintahanku aku bertindak begitu keras dan disiplin kepada program kerjamu. Semoga engkau memaafkan aku, Saudaraku …!” ZT1, Menteri Energi, Mineral dan Sumber Daya Negara RI merasa sangat terharu sehingga tanpa disadarinya seguliran air putih bening menetes dari sudut kelopak matanya. Dengan penuh bahagia di tatapnya mata Sang Presiden dan berucap pelan, “Saudaraku Presiden, tak ada yang perlu dimaafkan. Keras dan disiplinnya Saudara Presiden kepadaku memberikan hasil yang luar biasa bagi rakyat dan bangsa ini. Aku bersyukur kepada Allah Yang Maha Esa yang telah menciptakanmu dan memberikan seorang presiden sepertimu kepada bangsa ini. Aku berterimakasih kepadamu, Saudara Presiden”. Dia menyeka air mata ketulusan dan kebahagiaannya. Para sahabat yang lain dalam halaqah itu terharu dan masing-masing menyeka air mata yang tak terasa mengalir dengan sendirinya membasahi pipi. Ucapan kesyukuran mendesah dari celah-celah bibir mereka. Sang Presiden menangis bahagia dan tak putus-putusnya bibirnya mengucapkan puji-pujian dan kesyukuran kepada Allah Yang Maha Esa. Situasi yang mengharukan dan membahagiakan itu berlangsung beberapa menit, tapi kemudian Sang Presiden mencoba menguasai dirinya agar tidak larut terlalu lama karena mengingat harus ada hal-hal terbaik yang dikerjakannya di bulan-bulan terakhir dirinya sebagai Presiden.

Diambilnya selembar tissue dari sebuah kotak tissue di depannya. Disekanya air matanya. Di pandanginya bergilir sahabat-sahabatnya satu per satu. Dengan nada perlahan dia menyampaikan apa yang terpikir olehnya beberapa hari ini. “Sahabatku seperjuangan dalam dakwah dan kenegaraan, ada satu hal yang ingin kusampaikan kepada kalian yang hal ini telah aku pikirkan beberapa hari ini. Untuk itulah aku menggunakan kesempatan pertemuan ini untuk menyampaikannya kepada kalian, dengan harapan kalian memberikan pertimbangan dan tata cara yang berarti dalam mewujudkannya”. Para sahabatnya, memandang Sang Presiden dengan penuh tanya dan serius. “Apakah itu Saudaraku Presiden?” Pertanyaan itu tercetus bersamaan di antara mereka secara spontan dan tidak janjian. Tersadar kompak, mereka saling menatap dengan bola mata yang sedikit membesar dan akhirnya menurunkan nafas pelan seraya tersenyum malu. Sang Presiden pun ikut tersenyum melihat antusiasme spontan yang direfleksikan oleh para sahabatnya itu. Dia menatap lembut dan dalam kepada para sahabatnya. Kemudian Sang Presiden berucap, “Saya ingin melelang secara patungan kebutuhan 12 trilyun untuk penarikan TKI kita dari Negara lain itu kepada seluruh menteri dan pejabat Negara yang ada di Republik Indonesia ini. Juga kepada para pengusaha dan masyarakat Indonesia yang ingin turut ambil bagian dalam pelelangan ini. Dan “pelelangan patungan” kebutuhan 12 trilyun ini adalah dengan cara mengumpulkan tawaran-tawaran sumbangan yang mereka ajukan”. Sang Presiden diam sejenak dan melanjutkan kembali, “Tawaran pertama dari saya, sumbangan sebesar 1 trilyun ru….pi ….ah …” Kalimat Sang Presiden terbata-bata pada kata terakhir “rupiah” karena terganggu oleh bunyi alarm darurat dari HP Sang Presiden. Alarm darurat itu adalah atas perintah Sang Presiden kepada Ajudannya bila ada kejadian-kejadian penting dan darurat yang terjadi pada saat Sang Presiden lagi mengadakan pertemuan namun harus segera diambil tindakan penting. Sang Presiden meraih HP-nya yang terletak di depannya. “Assalamu’alaikum, ada apa “Zero Eleven, ZE?” Tanya Sang Presiden kepada Ajudannya melalui HPnya. Para sahabat yang hadir, saling bertanya dalam pandangan. “Apa tuntutan mereka?” Tanya Sang Presiden lagi kepada Ajudannya. Para sahabat makin gelisah mendengar kata “tuntutan” dalam pembicaraan itu. Dalam hati mereka bertanya-tanya, siapakah yang menuntut dan apa yang dituntut? Terlihat Sang Presiden menyimak tekun suara Ajudannya dari HP-nya. Kemudian Sang Presiden berkata, “Tolong dijaga keamanan mereka, sebentar lagi saya akan keluar menghadapi mereka. Terima kasih, assalamu’alaikum ….” Sang Presiden menutup HP-nya, seraya menatap ke arah sahabat-sahabatnya, “Ada demonstrasi di luar. Keluarlah kalian lebih dulu, nanti saya menyusul. Kita tutup pertemuan kita ini dengan membaca doa Penutup Majelis dan Doa Rabithah!” Dengan khusyu’ Sang Presiden dan par a sahabat membaca do’a penutup majelis dan do’a rabithah. Kemudian para sahabat ke luar menuju ke tempat para demonstran, dengan pertanyaan yang berkecamuk di hati, apakah gerangan tuntutan para demonstran itu? Dan kenapa Sang Presiden tidak memberitahukan kepada mereka?

Sementara para sahabat yang juga menjabat sebagai menteri di kabinet pemerintahan menuju ke tempat di mana para demonstran, Sang Presiden memasuki sebuah ruangan khusus yang terletak di balik toilet ruangan itu. Ruangan Rahasia. Agak tersembunyi memang dan ukurannya juga tidak begitu besar. Hanya ada sebuah meja kerja dan kursinya serta sebuah lemari buku berwarna merah marun kecoklatan berdiri eksklusif di belakang meja kerja itu. Sang Presiden menarik 1 buah buku teks book dari lemari tersebut. Tanpa diduga secara otomatis lemari itu bergerak memutar ke kiri seratus delapan puluh derajat. Terlihat sebuah ruangan rahasia di belakangnya. Sang presiden memasukinya dan berjalan berbelok ke kanan. Mengangkat sebuah lukisan gurun pasir yang indah pada dinding ruangan itu. Ternyata ada sebuah kunci putar rahasia di situ. Sang Presiden memutar kode rahasia. Terbukalah secara otomatis pintu lemari penyimpanan rahasia itu. Ukurannya sebesar 30 cm x 30 cm. Di dalamnya terdapat sebuah kaca mata hitam yang mengambang di tengahnya. Mengapung di atas “sesuatu yang tak kelihatan” pada apa dia berjejak. Sang Presiden mengeluarkan kaca mata hitam itu. Kemudian mengangkat “sesuatu yang tak kelihatan” yang berada di bawah kaca mata tadi. Kemudian dengan bergegas Sang Presiden menggerak-gerakkan kedua tangannya, layaknya gerakan seseorang yang memakai pakaian. Dimasukkannya kembali kaca mata ke dalam lemari penyimpanan tadi. Ditutup dan dikunci. Meletakkan lukisan kembali pada tempatnya. Bergegas menuju balik lemari buku. Memasukkan buku teks book kembali ke tempatnya. Seperti tadi, secara otomatis pula lemari buku memutar ke kanan seratus delapan puluh derajat. Menutup, kembali ke posisi semula. Dan seperti tak ada apa-apa di balik sana selain sekumpulan buku-buku tebal eksklusif. Sang Presiden bergegas menuju ke tempat para demonstran di luar gedung.

***

Sementara itu, di tempat para demonstran menunjukkan aksi. Para sahabat Sang Presiden yang telah lebih dulu ke luar, melihat poster-poster dan spanduk yang dibawa oleh para demonstran. Di sana tertuliskan kata – kata: “Jangan Ganti Presiden!” “Tolak Presiden Baru!” “Kami Cinta Presiden Penolong Rakyat!” “Pertahankan Presiden Pemihak Rakyat!” “Tak perlu ada pilpres lagi, pertahankan!”. Para sahabat Sang Presiden terharu dan memahami mengapa Sang Presiden tidak memberitahukan kepada mereka tadi tentang tuntutan apa yang diminta oleh para demonstran. Ternyata kerendahan hati beliau dan kesantunannya, menyebabkan beliau tak sanggup mengutarakan hal sebenarnya. Kristal-kristal mutiara mengambang jernih dan indah di pelupuk mata para sahabat. Begitulah Sang Presiden. Tak mengherankan, bila semua rakyat mencintainya.

***

Sorak sorai para demonstran gegap gempita penuh riuh menyambut lambaian tangan Sang Presiden yang menuju arena demonstran didampingi oleh ajudan dan para pengawal kepresidenan. Sang Presiden langsung menuju podium. Menatap para demonstran dengan pandangan penuh kasih dan berwibawa, kemudian mengucapkan kata: “Assalamu’alaikum Saudara-saudaraku, Rakyat Indonesia yang saya cintai. Langsung saja. Saya sangat terharu atas permintaan dan keinginan Saudara-saudara sekalian. Namun, hukum dan peraturan yang berlaku di Negara kita adalah bahwa masa jabatan seorang Presiden paling lama adalah dua periode. Dan itu berarti dalam kurun waktu 10 tahun. Dan tahun ini, secara hukum masa jabatan saya akan berakhir.” Gemuruh suara para demonstran menanggapi pidato Sang Presiden, di susul teriakan-teriakan lantang mereka yang susul menyusul memenuhi arena: “Teruskan!” “Jangan Ganti, kami tidak mau!” “Kami cinta Presiden!”

Sang Presiden menghela nafas panjang. Mencoba menentramkan para demonstran, dengan mengangkat kedua tangannya ke atas dan ke bawah. “Saudara-saudara rakyat Indonesia yang saya cintai. Saya dan Saudara harus bersikap kesatria. Seorang kesatria itu, memiliki jiwa pemberani. Gagah berani. Artinya dalam posisi saya, berani maju berani mundur. Dalam posisi Saudara-saudara rakyat Indonesia yang saya cintai, berani menerima berani melepas. Itulah sifat kesatria yang dimiliki oleh seorang prajurit dan perwira. Dan kita ini semua adalah prajurit-prajurit dan perwira-perwira bangsa ini. Prajurit-prajurit dan perwira-perwira bangsa ini, haruslah kesatria! Oleh karena itu, Saudara-saudaraku rakyat Indonesia yang saya cintai, berani menerima saya, maka beranilah melepas saya! Inilah sikap kesatria-kesatria Indonesia!” Sang Presiden berkata penuh wibawa dan kharisma. Begitulah Sang Presiden di mata para sahabatnya. Halus dan lembut, tapi tegas dan berwibawa. Tak tergoda dengan tawaran menggiurkan keduniaan. Hidupnya dan gelombang pemikirannya dia persembahkan dan pertanggungjawabkan kepada Sang Pencipta Yang Maha Agung. Betapa para sahabat sangat memahami watak Sang Presiden dan itulah yang menyebabkan mereka sangat mencintai beliau. Sang Presiden selalu bisa memegang kendali situasi dengan untaian pita kata sutra keemasan. Membuat semua orang yang mendengar merasakan kemilau kekaguman, patuh dan tunduk. Contohnya saja, para demonstran yang tadinya begitu gegap gempita, kini terdiam dan terpana. Seolah tersadar mendengar untaian kata-kata didikan yang disampaikan Sang Presiden. Tak seuntai katapun terucap dari celah bibir mereka. Seolah mereka tersadar dan merasa tersalah dengan tuntutan yang mereka gaungkan.

Sang Presiden menatap mereka dengan tatapan luas dan melebar. Matanya memancarkan bias-bias cahaya pemahaman dan memaklumi watak dan jiwa manusia. Gelombang kasih dan cinta menyelip indah dalam pancaran matanya. Berbinar dan menari bahagia, menyadari rakyatnya masih bisa disentuh dengan kata-kata bijak. Inilah yang membahagiakannya. Tak percuma dia membuat sebuah program “Sentuhan Mingguan Sang Presiden” di seluruh siaran televisi menjelang waktu shalat Maghrib pada setiap hari Minggu. Acara tersebut dapat diliput di seluruh wilayah tanah air. Pada kesempatan itulah beliau selalu menyampaikan kata-kata didikan yang penuh bijak kepada seluruh rakyat Indonesia. Sang Presiden yang sempurna! Selalu memikirkan apa yang terbaik bagi bangsa ini. Berbahagianya rakyat ini, memiliki seorang Presiden yang seperti beliau.

Sang Presiden ingin mengucapkan kata-kata lagi. Bibirnya mulai bergerak, “Sauda…” Tapi tiba-tiba sebuah benda kecil hitam melesat cepat kearah Sang Presiden dan terpental keras dari pijakan pipi kiri Sang Presiden. Membalik ke arah para demonstran. Di susul dengan sebuah teriakan histeris dari seorang demonstran putri disusul histeris-histeris yang lain dari putri-putri yang berdiri barisan terdepan demonstrasi tersebut. Begitu cepatnya kejadian itu. Sang Presiden, ajudan dan para pengawal kepresidenan serta para sahabat terkejut dan tak sempat berpikir. Dari kejauhan Sang Presiden melihat seorang demonstran putri berjilbab putih telah bermandikan darah yang mengucur dari pelipis kanannya. Sejenak dia berpikir keras dan serta merta beliau berbisik kepada ajudannya. Kemudian sang ajudan berbisik kepada Kepala Pengawal Kepresidenan. Secepat kilat Kepala Pengawal berbisik kepada bawahannya. Estafet. Kelihatan mereka bergerak cepat. Selanjutnya, Sang Presiden, Ajudan dan Kepala Pengawal meninggalkan podium, bergegas menuju gedung Istana Kepresidenan. Mereka memasuki ruang rapat mini. Sang Presiden duduk di ujung kursi utama dari sebuah meja ellips, yang biasa dipakai untuk pertemuan. Disusul ajudan di sebelah kanannya dan Kepala Pengawal Kepresidenan di sebelah kiri. “Dari pengamatan kalian tadi, apa yang telah terjadi ketika saya memberikan pidato yang hanya beberapa menit dan terputus tadi?” Sang Presiden langsung membuka pertemuan darurat itu dengan pertanyaan. “Bapak Presiden yang kami hormati, ada sebuah benda kecil hitam melesat cepat ke arah pipi kiri Bapak Presiden –dan diduga itu adalah sebuah peluru- kemudian memantul kembali dan nyasar menuju sasaran tak terduga. Kesimpulannya, ada yang ingin membunuh Bapak Presiden!” Jawab Kepala Pengawal Kepresidenan singkat dan padat. Sang presiden mengangguk-angguk karena memang itulah yang diduganya sedari awal saat kejadian itu terjadi. Kemudian beliau menatap ke arah ajudannya, me nanti jawaban. “Bapak Presiden yang kami hormati, pengamatan saya sama dengan yang disampaikan oleh Saudara Kepala Pengawal Kepresidenan!” Jawab sang ajudan. Sang Presiden mengangguk-angguk lagi. Terlihat dia berpikir keras. Lalu menatap serius ke arah Kepala Pengawal Kepresidenan. “Saya ingin, pelakunya dapat segera ditangkap dan diselidiki apa motif dia melakukan semua ini? Apakah strategi gerak cepat yang saya perintahkan tadi sudah dilaksanakan dengan baik?” Tanya Sang Presiden. “Seperti yang Bapak Presiden perintahkan sudah kami laksanakan, seluruh Pasukan Keamanan telah saya perintahkan untuk menutup seluruh lokasi dengan pagar betis, jangan ada yang boleh keluar dari lokasi sebelum ada pemeriksaan dan kemudian menangkap siapa pun orang yang menimbulkan gerak-gerik yang mencurigakan. Dan secepatnya melapor. Demikian Bapak Presiden.” Jawab Kepala Pengawal Kepresidenan. “Baiklah kalau begitu, saya tunggu kabar dalam tempo 2 jam terhitung dari sekarang. Lebih cepat lebih baik. Pertemuan ini kita tutup. Laksanakan tugas kalian masing-masing!” Perintah Sang Presiden seraya berdiri dan mempersilakan mereka meninggalkan tempat. Sang Ajudan dan Kepala Pengawal Kepresidenan membungkuk sedikit ke arah Sang Presiden untuk meninggalkan ruangan pertemuan. Dalam hati mereka berkecamuk tanya dan jawab. Siapakah yang ingin membunuh Sang Presiden yang mulia ini? Dari pihak manakah? Kenapa peluru itu terpental kembali? Apakah karena hakikat kemuliaan akhlaq dan ibadahnya yang melindungi dirinya? Seperti cerita-cerita para sufi yang menyimpan karomah? Sejuta tanya dan jawab bermain-main petak umpet di pikiran kedua staff Sang Presiden. Mereka bergegas menuju ke arena tugas masing-masing. Sang ajudan menunggu di ruang tamu istana. Dan Kepala Pengawal menuju arena dimana para demonstran sedang histeris ketakutan penuh hirup pikuk dan berantakan. Angin sore yang biasanya lembut dan bersahabat di halaman Istana Kepresidenan di Cikeas Bogor ini, kini tak nyaman lagi. Tugas berat sedang diembannya. Di sinilah diuji ketangkasan dan kecerdikannya dalam menangani masalah darurat dan tak terduga. Dia harus bergerak cepat dan berpikir cemerlang. Dan harus berhasil memecahkan persoalan ini. Harus!

***

Sementara itu, di kelompok para demonstran terjadi kegaduhan disertai jeritan histeris karena melihat temannya bersimbah darah dan digotong oleh beberapa orang menuju ke arah mobil Ambulance yang terletak di ujung kanan arena untuk mendapatkan pertolongan pertama demi keselamatan jiwanya. Selain itu, hal yang lebih mencekam dan memporak porandakan barisan adalah ratusan satuan pengamanan khusus memblokade di sekeliling barisan dengan membentuk pagar betis yang tak tertembuskan. Juga Tim Pengamanan Terbuka dan Tertutup, menyisir barisan para demonstran dan menangkapi personil-personil yang mencurigakan. Tahulah mereka bahwa telah ada penyusup.

Mengantisipasi hal tersebut, Korlap Demonstran memberikan aba-aba kepada massanya untuk saling bergandengan tangan dengan teman di sebelahnya dan menanyakan siapa nama dan dari kelompok mana. Bila ada identitas yang tak dikenal dan tak terdaftar, harus segera dilaporkan kepada petugas. Itulah yang diingat oleh Sang Korlap. Strategi pengamanan kelompok dari penyusup dari pihak musuh. Strategi ini pernah dilaksanakan oleh pihak musuh pada peperangan di zaman Rasulullah SAW, ketika Yang Mulia Rasulullah mengutus seorang Sahabat di malam gelap gulita yang dinginnya sampai menusuk ke tulang sum-sum, namun Sahabat tersebut berhasil mengelabui pihak musuh dan dia tidak tertangkap. Langkah strategi inilah yang ditiru oleh Sang Korlap. Menggunakan strategi musuh Rasulullah SAW. Hal ini berhasil membantu aparat keamanan dalam penyisiran karena para demonstran cepat tanggap membaca situasi dan mengambil tindakan sesuai komando dan aba-aba dari Sang Korlap.

***

Di ruang pertemuan Istana Kepresidenan, setelah Ajudan dan Kepala Pengawal Kepresidenan berangkat melaksanakan tugas yang diperintahkan, Sang Presiden bergegas cepat menuju ke Ruangan Rahasia. Mengambil sebuah teks book dari lemari buku. Mengangkat lukisan. Memutar kunci rahasia. Terbukalah lemari penyimpanan. Sang Presiden mengambil kaca mata hitam yang terletak di dalamnya. Dan sejenak dia menggerak-gerakkan kedua tangannya, seolah-olah sedang melepaskan pakaiannya. Diletakkannya “sesuatu yang tak kelihatan” di atas lantai yang dilapisi ambal indah buatan Iran. Digantungkannya tangkai kaca mata hitam tadi di atas kedua daun telinganya dan bertengger indah di atas hidungnya. Diamatinya “sesuatu yang tak kelihatan” yang diletakkannya di atas lantai berlapis ambal tadi. Terlihatlah sebuah baju mantel silver yang seolah terbuat dari bahan halus dan mahal. Sang Presiden tahu bahwa bahan halus dan mahal itu terdiri dari campuran baja dan pelindung anti peluru sekaliber apa pun. Ini adalah sebuah hadiah yang diberikan seorang sahabat seperguruan spiritualnya di Timur Tengah, “Akh X”. Persahabatan mereka sangat dekat. Dialah orang yang pertama sekali diberitahukannya ketika dia berniat memimpin negeri ini. Dan “Akh X” inilah yang terus menyemangatinya agar berani maju dan bersaing dengan rival-rival yang berkompeten. Keinginannya semata-mata adalah demi perbaikan negeri ini dan tegaknya kalimah Sang Pencipta di muka bumi ini. Yang rahmatnya akan menjamah seluruh dimensi suku, ras dan agama. Yang akan memberikan pencerahan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Itulah cita-citanya sebagai seorang Presiden. Tidak muluk-muluk, namun dia telah mempersiapkan program kerjanya jauh-jauh hari sebelum dia menjadi Sang Presiden.

Enam bulan setelah pelantikannya -pertama kali sepuluh tahun yang lalu- “Akh X” mengirimkan sebuah hadiah kepadanya. Dikirim jauh dari Timur Tengah. Beberapa hari sebelum dikirimkannya hadiah itu, dia telah menerima sms dari sahabat lintas negaranya itu yang berisi pesan: “Jangan dibuka, kecuali sendiri”. Dia mengerti isi pesan sahabatnya itu. Makanya dia membuka sendiri bingkisan itu di ruang kerjanya. Ketika membuka bungkusan itu, dia hanya melihat sebuah kaca mata hitam yang mengambang di atas “sesuatu yang tak kelihatan”. Dalam hatinya, mengapa hanya karena sebuah kaca mata hitam ini dia harus membukanya sendirian. Apa rahasianya? Dia tak mengerti. Tapi di atas selembar kertas yang terlampir di situ tertulis dalam sebuah tulisan bahasa Arab yang artinya: ”Pakailah kaca mata hitam itu, Saudaraku”. Dengan patuh dia memakainya. Tahulah dia akhirnya bahwa “sesuatu yang tak kelihatan” itu adalah sebuah baju mantel hujan bertopi, berwarna silver, halus dan mahal. Lembut sekali bahannya. Dia kembangkan dengan kedua tangannya. Diperiksanya kedua saku baju mantel itu satu persatu. Pada saku sebelah kanan dia mendapati sepucuk surat dari bahan yang sama. Yang kalau dilihat dengan mata telanjang, tidak akan kelihatan. Dibacanya. “Saudaraku yang kucintai karena Allah. Selamat atas dilantiknya engkau menjadi Presiden. Aku tahu tugasmu berat dan mulia karena cita-citamu sangat agung. Dalam dunia ini, dimana ada Muhammad, di situ akan ada Abu Jahal. Artinya, ada yang baik, yang akan mendukungmu. Ada yang jahat, yang tidak mendukungmu. Yang akan membencimu sampai ke sum-sum tulangnya. Oleh karena itu, sejak kau bercita-cita menjadi seorang Presiden, aku telah merancang baju mantel ini untuk perlindunganmu. Ini terbuat dari bahan baja dan anti peluru. Baik peluru tercanggih sekalipun, tak akan mampu menembusnya. Dan takkan terdeteksi oleh alat apa pun di dunia ini. Karena aku telah melindunginya dengan bahan umum biasa dan tak mencurigakan. Alhamdulillah, Allah memberiku ilmu tentang hal ini dan harta yang banyak kepadaku, Saudaraku. Simpanlah baju mantel ini di sebuah tempat yang tersembunyi. Dan jangan beritahu siapa pun. Sekalipun orang kepercayaanmu. Pakailah setiap kali kau mengadakan acara-acara di muka umum, yang di situ segala macam watak dan karakter manusia hadir di sana. Itulah untuk pengamananmu. Selamat berjuang, Saudaraku. Ttd. Akh X”.

Itulah surat rahasia dari “Akh X”, yang akhirnya dirancanglah Ruangan Rahasia ini untuk tempat penyimpanannya. Yang tak seorang pun mengetahuinya karena seluruh rancangan dan pekerjanya didatangkan oleh “Akh X” dari Timur Tengah. Dari seorang sahabat, untuk Sang Presiden. Karena dia punya cita-cita mulia dan rahmatan lil’alamin. Sehingga tak seorang pun mengetahui hal ini, kecuali Sang Presiden sendiri. Betapa matangnya perencanaan sahabatnya itu. Dan hari ini, apa yang dikhawatirkan sahabatnya itu telah terjadi. Dipandangnya tajam bagian atas baju mantel silver itu. Bentuk topi ninja yang menyatu dengan baju mantelnya. Pada bagian pipi sebelah kiri topi itu ada sedikit goresan tipis retak-retak. Hantaman keras sebuah peluru, tapi tak sampai menembus topi.

Dia harus segera memberitahukan kejadian ini kepada “Akh X”. Hal yang dikhawatirkan sahabatnya itu telah menimpa dirinya. Namun, saat ini juga dia sedang menunggu berita dari Kepala Pengawalnya yang telah menggerakkan seluruh komponen Pengamanan Terbuka dan Tertutup yang terdiri dari pihak Polri, TNI AD, TNI AL, TNI AU dan BIN untuk bergerak cepat menangkap siapa pelaku dan otak dari “penembakan gagal” dirinya.

***

Di ruang keluarga Istana Kepresidenan, tujuh hari kemudian setelah insiden “penembakan gagal” Sang Presiden tersebut. Sang Presiden dan keluarga sedang berkumpul menyaksikan berita televisi. Semua stasiun siaran televisi Indonesia, meliput berita tentang pelaku “penembakan gagal” Sang Presiden dan latar belakang terjadinya penembakan tersebut. Laporan seorang penyiar televisi “Zero-zero Seven” yang saat itu sedang ditonton keluarga Sang Presiden, menyampaikan: ”Saudara-saudara pemirsa televisi “Zero-zero Seven” yang setia, berikut kami sampaikan secara singkat hasil inti dari penelusuran dan penyidikan kru televisi kami dalam kasus “penembakan gagal” Sang Presiden. Antara lain, dua jam setelah terjadinya insiden “penembakan gagal” Sang Presiden, telah ditangkap pelaku-pelaku yang mencurigakan. Para pelaku ini berhasil ditangkap setelah dilakukan penyisiran pada barisan para demonstran. Juga adanya kerjasama yang baik antara Aparat Keamanan Terbuka dan Tertutup dengan Korlap demonstran. Selanjutnya, dalam tempo tujuh kali dua puluh empat jam, hasil kerja keras seluruh aparat keamanan yang terdiri dari Satuan Pengawal Presiden, Polri, TNI AD, TNI AL, TNI AU dan BIN berhasil mengungkapkan siapa otak dari “penembakan gagal” ini. Ada dua orang sebagai otak dari penembakan ini, yaitu : Satu, Mantan Menteri Pengurusan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja dengan motif sakit hati telah dipecat pada tahun ketiga pertama pemerintahan Sang Presiden karena tidak menjalankan tugas dengan baik dan menimbulkan korban nyawa pada TKI. Saudara pasti ingat pada kasus tujuh tahun yang lalu. Menteri ini dipecat karena lalai dan tidak menolong puluhan TKI yang berada di Negara “Eksis” yang terkena wabah penyakit menular. Padahal, program Jamsostek untuk TKI kita waktu itu telah disyahkan untuk dijalankan pada tahun kedua pemerintahan Sang Presiden. Jadi Menteri yang bersangkutan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga memakan korban jiwa puluhan TKI. Padahal, para TKI telah melapor dan memohon bantuan kepadanya, namun tak segera diambil tindakan. Kedua, Menteri Kekayaan Bumi yang dipecat pada tahun keempat pertama dari pemerintahan Sang Presiden. Menteri ini dipecat karena terkait kasus penjualan Kekayaan material Bumi Indonesia secara illegal untuk memperkaya diri sendiri kepada Negara lain. Sehingga rakyat Indonesia sendiri yang memerlukan material tersebut mengalami kekurangan pasokan yang besar sehingga hampir menimbulkan revolusi rakyat. Hal ini menyebabkan kerugian yang besar bagi Negara. Demikianlah kami sampaikan otak pelaku “penembakan gagal” Sang Presiden. Saya, Aisyah Quthb serta kru teknisi lainnya undur diri dari hadapan Saudara. Terima kasih!”

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (11 votes, average: 9.09 out of 5)
Loading...
I'm a worker, painter, writer. Like reading, listening n memorizing al-Qur'an, books, etc.

Lihat Juga

Pilpres Rusia, Putin Jabat Presiden untuk Keempat Kalinya

Figure
Organization