Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Sebuah Refleksi “Merindu Syahid”

Sebuah Refleksi “Merindu Syahid”

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Sebuah kompilasi rasa antara Indonesia dan Palestina, Sejarah Peradaban dan arah masa depan, Jerih payah dan retorika rukhsah, kematangan ilmu dan kekeringan rindu. Dahulu, sebuah tempoe yang sangat doeloe seorang anak muda berebut jatah perang dengan orang tuanya dan mereka beradu “retorika” di hadapan sang Manusia Mulia (Nabi Allah Muhammad SAW). Kemarin dan sekarang para anak-anak muda dan kecil mungil menolak di ungsikan demi keselamatan mereka dari kejamnya medan tempur tanah yang dirampas, mereka hanya berkata “aku ingin seperti Abi”. Saat ini, di alam reformasi sebuah negara yang sedang menikmati demokrasi, pernah ada pemuda-pemuda yang berkesempatan belajar di timur tengah dan mengisi liburan semester mereka dengan bergegas ke medan perang yang nyata secara fisik setiap benturannya.

Meresapi kembali bagaimana nuansa pemuda tempoe sangat doeloe menjemput syahid, ada sahabat Ja’far yang kedua lengannya terpotong dan raganya terbelah dua atau pemuda-pemuda kemarin yang berkata “bila saja boleh memilih, aku ingin wafat dengan rudal apache” tentunya dengan varian rekayasa persembahan yang mereka kehendaki. Ada pula pemuda kemarin yang membakar rakyatnya dengan kalimat “ALLAHU AKBAR” dengan sebuah penjelasan bahwa Ia tak temukan lagi kalimat yang dapat mempersatukan rakyat memperjuangkan kemerdekaan selain itu. Bahkan Ia pun menunjukkan kemuliaan pilihannya dengan menjadikan Bandung Lautan Api. Ruh dan kekuatannya serta kedalaman pemaknaan sangat terasa kala teringat bagaimana seorang Handzalah (dari tempoe doeloe) dan Fathi Farhat (dari tempoe kemarin) yang kerinduannya atas rasa syahid melebihi kerinduan yang menggebu menjadi seorang pengantin. Cita rasa itu pula yang mungkin terasuk dalam jiwa saat mendengar seorang Abu Dujanah yang syahid dengan 70 luka pedang, sebuah kerinduan akan rasa syahid yang melebihi rasa rindu atas makanan ‘kurma’ yang siap dimakan (dengan perut lapar) dan dicampakkannya, lalu Ia berkata,” Telah kucium bau surga dari kaki bukit Uhud”.

Ada pemuda-pemuda yang penuh karya dan keahlian disertai rukhsah, tetapi tetap saja tidak menjauhi perjuangan fisik. Katakanlah Jenderal Soedirman atau syeikh Ahmad Yasin yang lumpuh sejak muda. Kita bisa saja mengatakan tuntutan dan zamannya berbeda, tetapi substansi dari sebuah kerinduan adalah sebuah gerakan aktif menyambut dengan segala kemampuan tanpa keterpaksaan dan nuansa menegasikan. Hal ini pula yang menjadikan para oelama terdahulu tetap mengambil peran di garda terdepan ketika ada panggilan juang bersifat fisik. Tuanku Imam Bonjol, pangeran Diponegoro atau Untung Suropati, begitu pun sebagian para dosen muda masa kini yang merasa tak nyaman bila hanya berbincang di ruang media atau berkata di ruang keilmuan yang sudah sepantasnya menyampaikan ilmu padahal kondisi bangsanya dalam krisis. Turun ke Jalanan baginya bukan hal pilihan yang menjadi debat kusir membenarkan keangkuhan, Ia merupakan paket perjuangan disela-sela karya intelektualitasnya, karena baik tanah dan bebatuan maupun aspal jalan hasil Cor-an masih layak di gerilya kan selama ada umat yang tertindas. Mereka ingin seperti orang terdahulu yang mengambil peran sebesar-besarnya baik harta dan jiwa (raga) nya. Karena salah satu yang jelas pasti di tanya adalah, “masa muda mu di gunakan untuk apa?”

Perkembangan zaman dan aktivitas kebangsaan kini tentu dan jelas bisa dipahami butuh pembagian peran. Maka jangan salahkan orang dan generasi yang sudah tua jika tak lagi turun ke jalan, karena banyak sisi kehidupan dan tanggungjawab keluarga dan warga negara yang wajib ditunaikan, walaupun tak salah pula bila sebagian generasi yang telah menua masih mengambil peran jalanan yang mempermalukan mentalitas pemuda. Oleh karena itu garis besar kerinduan syahid (bergerak secara fisik) dialamatkan pada mereka yang merasa kaum muda. Terlepas dari sebuah kajian mengenai relevansi gerakan jalanan sebagai jalan juang, fakta kultural saat ini menunjukkan bahwa masyarakat bawah semakin apatis dalam bingkai pasrah atau nerimo karena faktor ketidakberdayaannya menolak apalagi merubah kebijakan penguasa yang menzhalimi mereka. Di saat yang sama pemuda-pemuda produk reformasi di kursi wakil rakyat tak kuat iman atau minimal tak cukup suara menolak kekuatan sistem suara cucu tahta orde baru. Lalu haruskah para pemuda bersikukuh hanya duduk belajar dan inovasi yang karyanya Insya Allah bermanfaat bagi bangsa namun beberapa puluh tahun kemudian. Sedangkan saat ini, masih ada umat yang tidak terpaksa harus shaum Daud dengan sesekali sahur nasi aking atau terkadang basi. Masih ada bapak yang harus menggendong jenazah anaknya dari Jakarta ke sebuah pemakaman di Bogor. Masih ada nenek yang tidak kuat hati menafkahkan diri dan keluarganya dengan beberapa buah petikan di lahan orang. Aina anta? dimana pelajar-pelajar yang bergelar Maha dengan tridarma nya, dimana pejuang muda Indonesia yang Tugu rakyat nya mulai berkarat. Masihkah relevan aksi jalanan bila audiensi seorang mahasiswa dan pemuda hanya disikapi dengan elegansi diplomasi “kami memahami, silakan menyampaikan aspirasi tetapi aturan tetap harus ditaati”.

Kalau saja untuk Palestina, suriah, Libya, Thailand dan berbagai negara muslim di dunia banyak dari kita yang membela, longmarch dan dukungan aksi solidaritas. Mengapa untuk bangsa sendiri, Indonesia yang mayoritas ISLAM dan negara dengan penduduk salah satu terbanyak di dunia tidak bisa. Salah satu impian membebaskan negara-negara muslim terjajah di dunia adalah dengan kebangkitan Indonesia. Dan Indonesia saat ini masih terjajah (2012), mungkin tidak secara fisik tetapi kebijakan-kebijakan yang tercipta masih banyak yang menzhalimi umat Islam, mayoritas rakyat Indonesia. Dan hebatnya Indonesia punya banyak pemuda, yang para pendahulunya dengan karya reformasi 98 menginspirasi jutaan pemuda Islam saat ini di belahan timur Dunia. Katakanlah memperjuangkan Indonesia (hak rakyat Indonesia) sama dengan memperjuangkan Islam, karena begitulah adanya, maka kenapa kita tak mampu menghadirkan ruh-ruh kesungguhan (jihad) dalam berjuang, para pendahulu kita telah memberikan banyak contoh yang terlalu cukup, maka mari berjuang sebagai kaum muda karena setiap zaman ada masalahnya dan setiap zaman ada rijalnya.

Di Zaman saat ini, benar pula bila aksi jalanan adalah bentuk aksi yang menjadi alternatif terakhir. Tetapi itu bukan pilihan, melainkan sebuah paket konsekuensi atas pilihan menjadi pejuang muda, yang mewujudkan sebuah definisi Totalitas dan loyalitas. Tentang keuntungan aksi kita di dompleng pihak atau gerakan politik tertentu, itu masalah kecerdasan pemuda dan tidak mengurangi semangat turun aksi karena kita berjuang mengharap Ridha Ilahi. Karena itulah tetap ada yang merindu syahid, yang tidak adanya kesempatan berjuang jihad fisik ke wilayah-wilayah dihalalkan, menjadikan baginya setiap ada panggilan aksi maka di setiap itu pula relung jiwanya terbayang sosok Abu Dujana (sahabat Nabi SAW, red.) yang berikat tali merah di kepalanya. Setiap ada kesempatan aksi untuk memperjuangkan umat yang tertindas, di saat itu juga ia bayangkan kerinduan syahidnya. Dalam aksi yang cenderung di design kondusif dan beretika, setiap bendera yang ia kepal, itulah panji perjuangannya. Setiap kesempatan berorasi ia gunakan layaknya Moh Toha yang bergelegar membakar semangat umat. Walaupun ia tak temui tank dan rudal-rudal jenis apache, tapi ia senang saat menjumpai water canon dan kehampaan para pasukan pengayom rakyat. Mungkin Ia tak temui syahidnya atau pun kalau sudah saatnya harus wafat mungkin sebagian kalangan kan menilai kesyahidannya tak sebanding dengan medan perang melawan kaum kafir. Tetapi ia BAHAGIA, karena bisa melepas rindunya setiap kali ia turun aksi.

Dalam Dejavu Kenaikan BBM. Salam Juang.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (13 votes, average: 9.46 out of 5)
Loading...

Tentang

Pembina Relawan Kaum Tani (REKAT). Pengurus Koperasi Tani Sejahtera Indonesia.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization