Topic
Home / Berita / Opini / Menanti Pahlawan untuk Indonesia

Menanti Pahlawan untuk Indonesia

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Langkah kaki Al-Farouk terus berjalan menyusuri jalan-jalan kota Madinah ketika itu, sesekali berhenti hanya untuk melepaskan rasa lelah dan merenggangkan otot yang telah bekerja keras sepanjang hari, demi menenangkan jiwa dengan kesejahteraan rakyatnya. Jika hal itu tidak ia lakukan, maka hatinya akan galau karena kekhawatiran akan rakyatnya yang masih belum bisa tidur karena kelaparan. Dia tak memerlukan ketatnya penjagaan para pengawal berbadan tegap, karena sudah cukup merasa aman dengan iman di jiwanya, memang tidak ada alasan untuk takut baginya selain pada Allah SWT, hingga jika ia melewati suatu jalan yang di sana dipenuhi dengan jin atau syaithan, maka bukannya Umar yang lari ketakutan, justru karena pesona keimanannya membuat para jin dan syaithan yang lari terbirit-birit. Bagaimana jika Allah menghadirkannya dalam sosok para pemimpin bangsa ini, mungkin saat kita sedang berkendaraan di jalan raya tidak ada lagi suara sirene polisi yang mencoba meminggirkan semua pengguna jalan, untuk sekedar memberikan tempat yang ‘istimewa’ bagi pejabat negeri ini yang lewat dengan penjagaan yang sangat ketat. Karena itu memang tidak berlaku bagi Umar.

Kilauan aura ruhiyah yang menyinari sampai ke pelosok jazirah Arab pada masa itu, bahkan cahayanya mampu memukau kita sampai detik ini. Terkadang hal itu seakan dongeng sebelum tidur jika kita melihat kondisi Indonesia saat ini. Indonesia tercinta merupakan Negara kaya akan hasil bumi yang berlimpah tidak terkecuali dengan aspal, batu bara, minyak bumi dll. Selain itu begitu besarnya rahmat Allah pada negeri ini dengan menjadikannya negara muslim terbesar di dunia. Namun alih-alih ingin membangun optimisme dan kebanggaan terhadap bangsa sendiri, justru satu demi satu aib-aib negeri ini terus menumpuk di pelupuk mata seakan tak rela untuk para generasinya sekedar mengatakan ‘aku bangga menjadi pemuda Indonesia.’ Namun dengan sangat terpaksa suara itu tertahan lantangnya oleh rasa malu, seperti puisi Taufik Ismail,

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia [1]

Rasa malu yang bukan tanpa sebab, semua bermula dari banyaknya pekerjaan rumah pemerintah yang tak kunjung selesai, sebagai contoh kasus tenaga kerja Indonesia yang masih belum jelas nasibnya. Seperti yang banyak diberitakan media, bahwa masih ada 320 kasus TKI kita di luar negeri yang terancam hukuman mati dan tak jelas nasibnya saat ini. Memang kita boleh berbangga pada usaha pemerintahan dengan terbebaskan Darsem dari hukuman matinya di Saudi Arabia, namun hal ini pun pemerintah terkesan lamban karena responnya baru terlihat setelah kasus ini ramai di media. Disusul dengan para pejabat yang tertangkap telah melakukan tindak pidana korupsi dengan berbagai macam modus dan motivasi, dari alasan balik modal saat kampanye hingga hanya untuk memperkaya diri, dan seakan-akan hal ini sudah bukan barang langka lagi banyak ditemukan di kalangan pejabat eksekutif, yudikatif dan legislatif  negeri kita.

Rasulullah saw bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari, muslim dan abu Daud dari Aisyah RA: “sesungguhnya yang mencelakakan orang-orang sebelum kalian disebabkan karena keadaan mereka yang apabila yang mencuri itu dari kalangan mulia (berkedudukan) mereka membiarkannya, dan apabila yang mencuri itu dari kalangan lemah maka mereka menerapkan had atasnya, demi Allah kalau saja Fatimah binti Muhammad mencuri maka pastilah saya yang akan memotong tangannya.”[2]

Taujih rasul sebagai pemimpin Negara ini pada masa keemasan itu mengandung aspek sosial dan hukum serta sarat akan nilai-nilai kepemimpinan yang tegas, berwibawa dan berani. Nampaknya hadits ini cukup cocok dengan keadaan hiruk pikuk masalah bangsa yang sedang kita hadapi. Sudah barang tentu bukan hal yang aneh jika hari ini kita menemukan kasus seorang nenek yang telah tua renta yang terpaksa mencuri beberapa buah cocoa  dikarenakan lilitan ekonomi yang dia alami sehingga harus rela di penjara beberapa tahun, namun di sisi lain kita juga menemukan kasus Artalyta sebagai tersangka korupsi yang mendapatkan fasilitas hotel berbintang di dalam penjaranya, atau kasus korupsi pegawai pajak  yaitu Gayus yang melancong ke Singapura dan Nazarudin yang harus ‘bernyanyi’ dahulu membeberkan kasus-kasus besar yang menyeret nama-nama petinggi partai Demokrat baru bisa tertangkap. Sudah jelas mereka bukan dari kalangan fakir miskin atau rakyat yang lemah yang harus terpaksa mencuri karena rasa lapar yang diderita, mereka adalah kalangan elit politik yang jelas memiliki banyak asset dan uang yang mungkin dompet mereka pun masih tak mampu menyimpan banyaknya uang mereka. Tapi mengapa mereka masih saja merasa kurang dengan mencuri uang jutaan rakyat miskin???

Di sebabkan kebiasaan ini seakan sudah menjadi hal yang wajar, maka kaidah hukum yang berlaku saat ini adalah hukum hanya berlaku bagi rakyat dan tidak bagi pejabat. Sangat ironis memang, kita mendengar tentang inspeksi president SBY ke Tanjung Priok beberapa waktu yang lalu yang dikabarkan bahwa president kita itu kaget dengan upah buruh di sana yang di bawah UMR, tapi sayangnya kekagetan orang No.1 di negeri ini pun tak membuatnya berani berkata dan bertindak untuk menaikkan upah mereka. Ini lah sekelumit bola kusut bangsa kita. Mungkin terlalu banyak pemimpin bangsa kita yang belum mengetahui peringatan Rasulullah itu, yang intinya jika tak ingin celaka maka tegakkan hukum dengan seadil-adilnya.

Umar bin Khathab RA pernah berkata:

“لا يبع في سوقنا إلا من تفقه في الدين”

“Tidak boleh berjualan seseorang yang berjualan di pasar kami kecuali orang yang faqih pada urusan agama [3]

Jika mengambil hikmah dari ucapan ini, hal ini tidak hanya berlaku di pasar-pasar yang sarat akan nilai keduniaan yang menggoda hingga diperlukannya orang-orang yang faqih dan takut pada Allah SWT, tapi harus diterapkan dalam dunia politik bangsa kita. Dengan lantang kita ucapkan’ siapapun dilarang menjadi pemimpin bangsa Indonesia kecuali orang yang faqih pada urusan agama’. Amin Semoga, karena kami rindukan sosok Umar untuk memimpin negeri ini.

Allahu’alam bi showab…


Catatan Kaki:

[1] Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, Solo: PT.Era Adicitra Intermedia, 2011. hlm.4.

[2] Shohih Bukhori, Kitab Al-Anbiya, Bab “ am hasibta ana ashabal kahfi wa roqiimi” Hadits ke-3288.

[3] Jami’ Tirmidzi, dalam kitab Syarah Tahqiqul Ahwadzi, Juz ke-2, hlm. 23.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (5 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswi S2, Pasca Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Aktif sebagai ketua bidang kemuslimahan KAMMI Daerah Bandung.

Lihat Juga

Tegas! Di Hadapan Anggota DK PBB, Menlu RI Desak Blokade Gaza Segera Dihentikan

Figure
Organization