Topic
Home / Berita / Nasional / MUI Minta MK Hati-Hati Putuskan Hukum Perkawinan

MUI Minta MK Hati-Hati Putuskan Hukum Perkawinan

Logo MUI

dakwatuna.com – Jakarta. Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Mahkamah Konsitusi (MK) berhati-hati dalam memutuskan masalah hukum perkawinan. Ke depannya, majelis kumpulan ulama se-Indonesia itu mendesak agar dilibatkan dalam setiap pembahasan kasus hukum terutama yang berkaitan dengan syariat agama Islam.

“Apabila terdapat permohonan pengujian undang undang yang berkaitan dengan ajaran Islam pada masa mendatang,hendaknya MUI diberi tahu dan diundang untuk hadir guna menyampaikan sikap dan pendapatnya,” kata Ketua MUI Pusat KH Makruf Amin di kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa (13/3).

MUI menyikapi Keputusan MK No 46/PUU-VIII/2010 (berdasarkan nomor register), yang diumumkan pada 17 Februari 2012 lalu tentang perkawinan terkait dikabulkannya gugatan Machica Mochtar. Turut mendampingi dalam konferensi pers itu, Sekjen MUI Pusat, Ichwan Syam, Wakil Sekjen MUI Pusat Asrorun Niam Shaleh, dan Hasanudin

Menurut Makruf Amin, terhadap pengabulan gugatan Machica Mochtar yang dikabulkan MK guna melindungi anak hasil perkawinan itu tidak masalah namun ada dampak lain yang dapat merusak tatanan syariat Islam, yang sudah lama berlaku di masyarakat. Sebab itu,untuk melindungi umat Islam, dari kesimpangsiuran informasi yang berkembang, MUI memandang perlu untuk memberikan tanggapan atas putusan tersebut.

Ia menegaskan putusan MK tersebut sudah melampaui wewenang, sangat berlebihan atau overdosis. Awalnya putusan itu memberi pengakuan keperdataan anak dengan bapak yang menikah dengan ibu anak yang tidak dicatatkan di KUA. Namun akhirnya meluas, menyentuh hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya,” ungkap Makruf yang juga anggota Wantimpres bidang agama itu.

Menurut dia, putuskan MK itu memiliki konsekuensi yang sangat luas, yaitu mengesahkan hubungan nasab, waris, wali dan nafkah antara anak hasil zina dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.

Ia menjelaskan,, Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 menyatakan, Pasal 43 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga lengkapnya berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya,”

Menurut Makruf Amin, bunyi putusan tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Islam. “Karena terkait dengan Fatwa MUI yang menyatakan “Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang kenyebabkan Kelahirannya,” tegas Makruf.

Sekjen MUI Ichwan Syam menambahkan putusan MK itu, sepanjang memaknai pengertian ‘hubungan perdata’ antara anak hasil zina dengan laki laki yang mengakibatkan kelahirannya dan keluarganya adalah juga hubungan nasab, waris, wali, dan nafaqoh, maka putusan MK tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.

Menurut dia, MUI berpendapat untuk melindungi hak hak anak hasil zina tidak dilakukan dengan memberikan hubungan perdata kepada laki laki yang mengakibatkan kelahirannya, melainkan dengan menjatuhkan ta’zir kepada laki laki tersebut berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut atau memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

“Untuk menghilangkan diskriminasi terhadap anak hasil zina adalah tidak dengan mengaitkannya dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya melainkan dengan melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh yang mengakibatkan kelahirannya,” papar Ichwan.

Asrorun Niam Sholeh menegaskan secara logika hukum, adalah tidak logis bila anak hasil zina jadi sama derajatnya dengan anak hasil perkawinan yang sah. Menurut dia bila anak hasil zina sederajat dengan anak hasil perkawinan yang sah secara agama, fungsi lembaga perkawinan jadi tidak berwibawa, dan ini merupakan pintu untuk membuka perzinahan.

Menyadari sistem hukum nasional tidak lagi mengenal upaya hukum lagi terhadap putusan MK, MUI tetap meminta MK melakukan peninjauan kembali terhadap putusannya demi kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara. “Kami juga akan berkonsultasi dengan DPR guna membatasi wewenang MK agar tidak melampaui batas dalam kaitan putusan khususnya dalam ajaran ajaran agama yang hidup dan berkembang di Tanah Air,” pungkas Asrorun. (Bay/OL-2/MICOM)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 9.25 out of 5)
Loading...

Tentang

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com

Lihat Juga

MK, Sosial Media dan Etalase Demokrasi

Figure
Organization