dakwatuna.com – Liburan telah di depan mata. Saatnya saya merapikan kamar yang semrawut ini. Buku tertumpuk dimana-mana. Kertas print out berupa makalah dan power point juga berserakan. Beginilah suasana paska ujian akhir semester. Saya mencoba merapikan kertas dan buku dengan memisahkannya sesuai jenis mata kuliah. Kemudian saya urutkan dari bab yang paling awal hingga yang terakhir. Memisahkan mana buku yang besar dan mana yang kecil. Tak lupa memberikan tanda pada kertas-kertas presentasi yang didapat dari dosen agar disimpan ditempat khusus.
Saat semuanya sudah selesai dipisahkan, saya mulai meletakkannya satu per satu, membereskan meja, dan memberikan ruang terlebih dahulu pada buku-buku yang besar. Tiba-tiba saya menemukan buku catatan lusuh saya ketika masih di sekolah dasar. Yang membuat saya tertarik untuk membukanya adalah karena di covernya saya menggambar kedua orang tua saya dengan crayon hitam. Saya buka lembarannya, saya baca isinya perlahan. Saat itu saya baru teringat, kalau dulu saya suka menulis…
Tulisan-tulisan ini cukup membuat saya berhenti membereskan kamar. Saya buka lembar demi lembar. Semua kejadian ketika itu saya tuliskan dengan bahasa ‘anak kecil’. Banyak kalimat yang kata-katanya kurang tepat sehingga saya pun menerka-nerka apa yang hendak saya tulis dulu. Namun, justru bahasa seperti ini yang menggambarkan betapa dulu saya sangat berusaha menceritakan apa saja yang saya alami, betapa polos dan sederhananya saya menilai apa yang baru saja terjadi. Tidak peduli salah atau tidak tepat katanya. Tulisan miring sana sini dan beberapa menggunakan huruf sambung. Sekali lagi saya mengatakan dalam hati, kalau dulu saya suka menulis.
Sejenak tertegun, ke mana saya yang seperti dulu? Yang suka menulis? Hati saya tergerak untuk menulis lagi. Saya mencoba ikut dalam kompetisi menulis esai di bulan Ramadhan, dan hasilnya saya belum menang. Kemudian saya coba menulis lagi untuk bisa dipost di jejaring sosial. Setelah tulisannya selesai, saya merasa banyak kekurangan dan jauh dari tulisan yang menarik. Akhirnya saya memutuskan untuk membatalkan posting. Karena perasaan yang masih jauh dari tulisan yang menarik, saya memutuskan untuk membaca buku sebanyak mungkin, mempelajari bagaimana memunculkan ide dalam tulisan, dan membuat gaya bahasa sendiri. Saya juga membaca banyak tulisan lepas di situs internet, saya mendapatkan inspirasi. Saya juga membaca tulisan teman-teman di jejaring sosial maupun blog mereka, saya pun mendapat inspirasi. Saya semakin merasa bahwa saya harus belajar banyak dulu tentang menulis. Dan tanpa terasa, saat ini sudah masuk tahun ke dua setelah saya membaca buku catatan masa kecil saya.
Saya lupa apa saja yang telah saya baca. Terlalu banyak ide dan pelajaran yang saya dapat tanpa pernah dituliskan. Atau bahkan saya sampai kehilangan keberanian untuk menulis? Kenapa tidak satu pun bacaan bisa saya jadikan bahan untuk menulis? Bolehkah saya menyalahkan diri saya sendiri? Yang selalu merasa kurang dan ingin terus membaca untuk menemukan ide? Kenapa tidak satu pun tulisan saya buat, sudah dua tahun kan?
Saya membuka laptop, membuka Microsoft Word, terdiam atas semua penyesalan. Tapi tanpa sadar jari-jari ini berjalan di atas keyboard. Suatu memori mengalir deras. Setiap kejadiannya bisa saya visualisasikan. Control+S saya tekan, dan akhirnya saya tersadarkan bahwa saya telah menulis cerita ini…
Sahabat, sampai kapan kita merasa selalu kurang dan belum sempurna? Padahal dari potensi yang masih sedikit itu bisa menjadi besar seiring perjalanan kita berikhtiar. Terkadang pelajaran bukan didapat ketika kita ingin bersiap-siap melakukan suatu hal. Justru pelajaran yang paling berharga adalah ketika kita mencoba untuk melakukannya.
Bukankah kita bisa sambil membaca ketika menulis. Tak perlu menghabiskan 1000 buku baru kita punya keberanian untuk menulis. Ide-ide itu sebenarnya ada di sekitar kita. Itulah taufiq dari Allah. Al Quran pun telah lengkap memberikan petunjuknya yang akan mengantarkan kita pada hidayah. Lalu bagaimana kita sebagai manusia setelah mendapatkan taufiq juga bisa mengambil hidayahNya. Jadi, mengambil ide dari apa saja yang ada di sekitar kita kemudian kaitan bagaimana Allah melihat masalah itu. Yakinlah akan ada orang yang tergerak hatinya karena tulisan kita walaupun itu hanya 1 orang. 1 orang itu kemudian akan menulis dan yakinlah akan ada orang yang tergerak hatinya karena tulisan satu orang itu, walaupun itu hanya 1 orang, dan seterusnya.
Dalam sebuah buku tentang kisah orang-orang saleh terdahulu diceritakan salah seorang dari mereka berpesan: maa ahbabta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat if’alhul yaum. Wamaa karihta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat utrukul yaum (apa yang kau suka untuk dibawa ke akhirat kerjakan sekarang juga. Dan apa yang kau suka untuk kau tidak suka untuk di bawa ke akhirat tinggalkan sekarang juga).
Ayo menulis!
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: