Topic
Home / Narasi Islam / Resensi Buku / Islam Liberal 101

Islam Liberal 101

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Judul Buku: Islam Liberal 101
Penulis: Akmal Sjafril
Tebal: xxii + 226 halaman
ISBN: 978-602-98259-0-9 
Penerbit: Indie Publishing
Cetakan: Pertama, Desember 2010 

Cover Buku "Islam Liberal 101". (ist)

dakwatuna.com – Di tengah-tengah kekhawatiran akan ancaman liberalisasi Islam, buku “Islam Liberal 101” hadir ke tengah-tengah kita. Akmal Sjafril, penulis buku ini, tampak merasakan betul ancaman hebat ini. Karena memang ia terlibat aktif dalam peperangan pemikiran yang terjadi saban hari. Itulah sebabnya mengapa sejak halaman-halaman awal buku ini, kita tampak sedang menonton pertarungan yang luar biasa dahsyat.

Sejak bab awal dari buku ini, penulis langsung memasuki ‘medan peperangan’. Akmal mengkritik habis kesombongan orang-orang yang menolak kebenaran bukan karena tidak tahu kalau itu kebenaran, tapi dengan bermacam-macam alasan yang sejatinya hanya sebagai pelarian. Sikap lebih percaya terhadap penuturan orang-orang kafir (orientalis) mengenai Islam daripada penuturan alim-ulama Islam sendiri juga tak luput dari kritikan pedas penulis. Untuk apa umat Islam belajar Islam kepada orang kafir, padahal orang-orang kafir pasti menganggap Nabi Muhammad saw sebagai pendusta, sehingga semua kata-katanya tidak terjamin kebenarannya (hlm. 20).

Di sini, sikap acuh orang-orang liberal terhadap kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw diserupakan dengan kesombongan iblis yang terang-terangan menolak perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Nabi Adam as, dan merasa Allah telah keliru mengambil keputusan. Karena sikap sombong telah menyatu dengan jiwa iblis, maka melakukan kekafiran seperti itu iblis bukannya minta maaf, namun ia malah menantang Allah SWT agar dipanjangkan umurnya untuk mencari pengikut. Jadi kesombongan iblis bukan hanya menunjukkan kebejatannya sendiri, melainkan juga menunjukkan kepada kita bahwa sombong itu tak ada batasnya. Iblis bukan hanya merasa lebih hebat daripada Nabi Adam as, akan tetapi juga merasa lebih tahu daripada Allah (hlm. 14).

Bagaimanapun, memperbincangkan liberalisasi Islam di Indonesia tidak mungkin dipaksakan untuk tidak juga memperbincangkan Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok inilah sebetulnya yang bertanggung jawab sejak awal akan kerancuan pemahaman tentang Islam di Indonesia. Bayangkan, nama “Islam Liberal” saja sudah rancu dan mengandung kesalahan-kesalahan yang tidak mungkin dikompromikan. Lebih-lebih lagi ide-ide pokok yang mereka usung, tentu amat jauh dengan prinsip-prinsip yang dibangun Islam. Karena itu, mengetengahkan topik “Islam Liberal atau Agama Liberal” dalam salah satu bagian dari buku ini, tampak menemukan relevansinya yang pas dengan JIL, sebagai representasi dari Islam liberal di Indonesia.

Dalam hal ini, Akmal mencatat setidaknya enam poin landasan agama baru yang bernama JIL ini, yang tertera di situs resmi mereka, yaitu; (1) membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, (2) mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literalis teks, (3) memercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, (4) memihak pada yang minoritas dan tertindas, (5) meyakini kebebasan beragama, (6) memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Lebih lanjut, Akmal menganalisis satu-persatu dari poin tersebut untuk kemudian dapat ditarik benang merah bahwa sekularisme merupakan kredo utama dari agama liberal ini (hlm. 94-100).

Pada tataran selanjutnya, penulis menganalisis secara cermat akan modus operandi yang biasa digunakan oleh para punggawa liberal dalam memasarkan pemikiran-pemikiran mereka. Di sini, penulis menemukan sejumlah trik yang biasa digunakan oleh orang liberalis, seperti permainan istilah, tuduhan palsu, pembelokan masalah, pemotongan ayat, dan lempar batu sembunyi tangan. Ulasan yang blak-blakan di bagian ini tampak memaklumkan kepada para pembaca akan siapa sebenarnya orang-orang liberal itu dan bagaimana taktik berperangnya sekaligus cara penanganannya. Dengan memahami modus operandi mereka dengan baik, kita berpeluang besar untuk mengunci mati titik-titik kelemahan mereka bahkan sebelum peperangan dimulai. Ini merupakan bekal penting untuk meladeni bualan sekte-sekte liberal.

Namun kendati kita telah memahami kunci-kuncinya, bagaimanapun berperang dengan kelompok liberal bukanlah perkara mudah. Sebab dapat dipastikan ketika liberalis kalah, mereka malah melontarkan ungkapan-ungkapan cemooh sebagai ‘pintu keluar’ ketika posisi mereka tersudut. Dalam hal ini, penulis tidak ketinggalan menelanjangi aib kaum liberalis, bahwa sebenarnya mereka yang mengaku-ngaku sebagai gerakan progresif dan modern sebenarnya tak lebih dari orang-orang yang tidak memiliki kualitas ilmiah dalam berdiskusi. Mereka adalah penganut paham relativisme sejati yang menolak absolutisme, di mana antara diskusi dan relativisme terdapat jurang pemisah yang sangat dalam. Dengan paham relativisme, nilai penting sebuah diskusi benar-benar hilang, karena menurut mereka semua pendapat itu benar. Namun demikian, sebenarnya dalam waktu bersamaan mereka telah meruntuhkan paham relativisme itu sendiri. Kaum liberal menggunakan alasan relativisme untuk menyebarkan propagandanya tanpa diskusi terlebih dahulu, namun kemudian menggunakan alasan relativisme yang sama untuk menolak kebenaran absolut yang diajukan oleh pihak lain. Dengan sendirinya, para penganut relativisme secara tidak langsung telah menolak relativisme itu sendiri, sebab relativisme itu sendiri adalah suatu pendapat yang dianggap sebagai kebenaran absolut (hlm. 152).

Paparan terakhir ini memberi kesan yang teramat kuat kepada kita, bahwa sebetulnya orang-orang liberal itu tak lebih dari orang-orang munafik. Jika dipikir-pikir, label ini memang tidak keliru. Sifat-sifat orang-orang munafik yang dicatat al-Qur’an yang dijelaskan dalam buku ini, yang kemudian dikaitkan dengan bentuk-bentuk kemunafikan di zaman modern ini, tampak sangat klop dan serasi. Bahaya orang-orang munafik sebagai musuh dalam selimut lebih besar daripada musuh di depan mata. Tikaman dari belakang jauh lebih sulit dihindari daripada serangan frontal. Dan hal ini telah diperingatkan oleh al-Qur’an jauh-jauh hari (hlm 202). Maka dari itu, waspadai dan terus perangi orang-orang liberal munafik yang kadang berlagak simpatik itu.

(Buletin Sidogiri)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (21 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...
Santri Sidogiri asal Depok, Researcher pada Lembaga Penelitian dan Studi Islam (LPSI) bidang Kajian Sejarah Islam, Pondok Pesantren Sidogiri.

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization