Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Keputusan

Keputusan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (qalamuslim.blogspot.com)

dakwatuna.com – Kutembus hujan di kegelapan sebagai protes atas keputusan Ummi yang berencana menikahkan Mbak Liza dengan Januar. Kupacu kencang sepeda motor peninggalan almarhum Abi menuju masjid terjauh.

Kalau saja Abi masih ada, beliau pun tidak akan mengizinkan Mbak Liza menikah dengan Januar. Secara fisik memang tidak ada yang salah dengan guru SD itu. Tapi Januar orang awam, dan ia mengajar di sekolah Nashara. Kedua, usianya sama denganku, jauh di bawah Mbak Liza. Kenapa Ummi dan Mbak Liza tidak konsekuen dengan ucapan mereka sendiri? Ummi pernah bilang bahwa beliau akan dengan sabar menanti kehadiran menantu pertama yang ikhwan, seperti aku. Kemudian Mbak Liza mengajukan syarat tambahan kepada Ummi dan Abi, ikhwan itu paling tidak harus lima tahun di atasnya. Begitulah, lalu Ummi dan Mbak Liza tak malu-malu menjilat ludah mereka kembali.

Aku tiba di masjid at-Taqwa setelah lima belas menit menempuh perjalanan dengan kecepatan tinggi. Jangankan membuka pintu, pagarnya saja digembok dua. Kembali sepeda motorku meraung lembut, suara mesinnya yang terawat tetap halus karena warisan Abi yang satu ini benar-benar sangat kujaga.

Kecepatan kutambah seiring dengan bertambahnya kekesalanku. Jalanan lengang karena kota ini sedang tertidur. Kutancap terus gas walau jarak pandang terbatas karena curahan hujan yang masih deras. Tiba-tiba saja sebuah bayangan melintasi jalan aspal yang sedang kulalui, dan… BRAK! Aku sempat menekan dua rem di tangan dan kaki, tapi jalanan yang licin membuat usahaku tak sepenuhnya berhasil. Bayangan itu terlempar bersamaan dengan jatuhnya aku ke aspal.

Kucoba berdiri walau ada rasa nyeri di sebagian tubuhku. Tidak ada penduduk sekitar yang muncul, suara hujan meredam bunyi benturan yang menurutku lumayan keras. Di pinggir jalan tergeletak sesosok perempuan yang sedang terluka, dalam keadaan sadar ia merintih. Aku mematung sejenak, bagaimana menolongnya? Untunglah dua orang penjaga malam kemudian datang menolong kami. Tadinya salah satu dari mereka hendak memukulku, lalu dicegah oleh temannya karena melihat aku pun terluka. Lagipula, aku tidak terlihat hendak melarikan diri.

Aku bersama perempuan yang belum kukenal itu dibawa ke rumah sakit. Sampai di sana, aku hanya mendapati tubuhku yang mengalami luka ringan diperban dan plester di sana sini, sedangkan korban entah bagaimana nasibnya. Yang jelas, handphone dan STNK-ku dijadikan jaminan.

Ruang Asoka 02, aku masuk setelah dokter mengizinkan. Seorang akhwat perawat menemaniku karena tidak ada orang di ruangan itu kecuali pasien sendiri.

Eva, nama korban kelalaianku itu. Perawat berhasil mengetahui identitasnya dari KTP yang ditemukan di dalam dompet. Mbak Eva berusia dua puluh delapan tahun, lima tahun di atasku. Aku dan perawat kembali ke luar ruangan karena Mbak Eva belum siuman.

“Dia parah, Ukh?” tanyaku pada perawat.

“Begitulah.”

“Apa harus dioperasi?”

“Kami sedang menunggu keluarganya untuk menandatangani persetujuan amputasi.”

“Amputasi?”

Perawat itu pasti menangkap getar kecemasan dari suaraku. Ia mengangguk perlahan, kemudian berlalu.

Ya Allah, apa Kau menegurku dengan ujian ini?

Pagi hari, petugas rumah sakit telah menemukan alamat Mbak Eva dan saat itu juga, ibu serta adiknya datang menjenguk. Begitu melihat keadaan putrinya, sang ibu langsung menangis. Aku tak berani mengaku bahwa aku yang menabrak anaknya. Aku tetap duduk di ruang tunggu dengan jantung berdetak kencang, berharap keajaiban terjadi. Andai aku bisa memutar waktu, atau menjadikan semua ini hanya mimpi.

Agak lama, perawat datang menemui ibu Mbak Eva, meminta perempuan seumuran Ummi itu untuk menemui dokter. Seperempat jam kemudian, ibu Mbak Eva keluar lagi dan dengan gontai berjalan ke arahku. Aku terus berdzikir meredam kegelisahan, ia duduk di sebelahku masih dengan sesegukan. Bersamaan dengan itu, adik Mbak Eva menyusul ibunya dari ruang rawat ke ruang tunggu.

“Sudahlah, Bu.” Usapan lembut anaknya tak membuat ibu Mbak Eva mengurangi isaknya barang sedikit.

“Ibu menyesal, Nak. Gara-gara Ibu, kakakmu kehilangan sebelah kakinya.”

Kubuang napas yang tadi seperti tertahan, tapi ini bukan sebuah kelegaan. Aku justru semakin merasa terbebani dengan nihilnya caci maki mereka padaku.

“Kalau saja Ibu tidak memaksakan kehendak Ibu padanya,”

“Ini sudah ketentuan Tuhan, Bu. Mas Yudi bukan jodoh Kak Eva,” adik Mbak Eva menanggapi. Ia berupaya bijak, padahal aku tahu ia pun merasa getir.

“Yudi berjanji akan menguliahkanmu dan membantu perekonomian kita sepeninggal Bapak, makanya Ibu ingin Eva menikah dengannya. Lagipula, usia kakakmu itu sudah lebih dari cukup untuk menikah.”

“Ya, Evi juga tidak mengerti kenapa Kak Eva harus kabur, seharusnya dia bicara baik-baik pada Ibu.”

Aku sedikit paham mengapa ibu Mbak Eva sangat menyesali kejadian ini, mungkin karena alasan tertentu pula kenapa Ummi menawarkan Januar pada Mbak Liza. Tentunya alasan itu sangat dapat diterima sehingga Mbak Liza bersedia memenuhinya. Aku dan Mbak Eva mungkin sama egoisnya.

Dua orang di sebelahku belum juga menyadari bahwa akulah orang yang paling bersalah di sini. Karena permasalahanku, orang lain menjadi korban.

“Bu, putrinya sudah sadar,” perawat tadi memanggil ibu Mbak Eva.

Yang dipanggil segera memasuki ruangan diikuti oleh Evi dan aku. Belum sampai di dalam, keduanya menolehku, aku hanya bisa tertunduk.

“Maafkan saya.”

Mereka tak menjawab.

Ibu Mbak Eva segera menggenggam tangan anaknya yang lemah.

“Kamu yang nabrak kakak saya?” Evi bertanya setelah sebelumnya membisu.

“Ya, saya tidak sengaja.”

“Kamu tahu kan bagaimana keadaannya sekarang?”

“Maaf.”

“Maaf itu gampang, tapi bagaimana nasibnya nanti?”

Wallahua’lam.

Evi diam.

Akh, ada yang mencari Antum,” perawat yang tadi datang lagi.

“Saya permisi sebentar, insya Allah kembali lagi,” aku pamit pada ibu dan adik Mbak Eva. Mereka tak menjawab lagi.

Di ruang informasi, Ummi dan Mbak Liza menungguku, mereka mendapat kabar dari petugas rumah sakit yang menelepon dengan handphone yang kujaminkan.

“Maafkan Izal, Mi, Mbak.”

Ummi menyambut pelukanku.

Ummi, seperti juga ibu Mbak Eva, menangis. Bisa kubayangkan, Ummi yang anaknya menjadi pelaku begini sedihnya, apalagi ibu Mbak Eva yang anaknya tergolek sebagai korban.

Mbak Liza mengusap rambutku, matanya berkaca-kaca, “Maafkan Mbak juga, yang tidak cerita pada Izal bahwa rencana pernikahan Mbak dengan Januar sudah disiapkan Abi sejak beliau masih hidup.”

Abi?” aku mengernyit.

“Ya, Abi kenal Januar sejak ia bergabung di majelis Abi. Januar itu hanif dan menurut Abi, ia sangat rentan dengan godaan luar, makanya Abi ingin Mbak mendampinginya. Ini dakwah, Zal.”

“Kenapa Mbak nggak cerita dari awal?”

“Mbak kira Abi sudah mengabari Izal, apalagi Izal langsung pergi tanpa konfirmasi terlebih dulu.”

Dalam kepanikan, ada sedikit kelegaan menyeruak di benakku. Jika Abi yang memutuskan, tentu aku akan percaya. Beliau orang bijak, dan sebelum memutuskan yang demikian, biasanya Abi beristikharah terlebih dulu.

“Di mana orang yang kamu tabrak?” Ummi memutus lamunanku.

Segera kuajak Ummi dan Mbak Liza menemui Mbak Eva dan keluarganya.

Dengan salam Ummi masuk ke ruangan tempat Mbak Liza dirawat. Aku berjalan paling belakang. Ummi langsung menyalami ibu dan adik Mbak Eva, beliau menyatakan turut berduka dan menyampaikan kalimat-kalimat lain yang kupercaya ketulusannya.

Dari belakang, kubayangkan jika yang di atas ranjang itu adalah anggota keluargaku, Mbak Liza misalnya. Na’udzubillah, mungkin akulah orang yang paling bersedih setelah ia sendiri. Tatapan mata Mbak Eva kosong, semoga Allah menguatkannya. Ummi membelai kepala Mbak Eva, mengajaknya tersenyum, tapi gadis itu diam saja.

Aku bangkit perlahan, lalu berjalan ke luar ruangan menuju mushalla rumah sakit. Mbak Liza mengikuti langkahku hingga ke pintu.

“Mau ke mana?” ia berbisik.

Pertanyaan itu hanya kujawab dengan tatapan.

Aku ingin mengadu pada Rabb, baikkah jika menjadikan Eva sebagai istriku? Ucapku tanpa suara, aku sendiri tak mendengarnya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (13 votes, average: 9.08 out of 5)
Loading...

Tentang

Penulis lepas.

Lihat Juga

Manisnya Ramadhan

Figure
Organization