Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Tutup Mata Buka Telinga

Tutup Mata Buka Telinga

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Taushiyah dari sang ustadz baru berjalan lima belas menit tapi Fulan sudah dua kali menyikut lengan Ahmad, berbisik pelan, mengajak pulang.

“Kenapa?” tanya Ahmad setengah terpaksa, mengira Fulan mendapat kabar penting karena sejak datang Fulan lebih sibuk dengan hape nya ketimbang menyimak serangkaian acara pembuka. Membuat status @pengajian di dua akun jejaring sosialnya. Badan Fulan memang ada di samping Ahmad, tapi hati dan pikirannya entah dimana, dengan siapa dan sedang melakukan apa.

“Kamu tidak bilang kalau pengisi taushiyahnya si ustadz itu!” Fulan berbisik pelan, kecewa.

“Memangnya kenapa?” tanya Ahmad, tak mengerti.

“Kamu nda tahu atau pura-pura tidak tahu?” Fulan mulai kesal dengan Ahmad yang menurutnya berpura-pura tidak paham dengan yang ia maksudkan. “Ustadz itu kan orangnya…” Fulan batal meneruskan kata-katanya, merasa tak enak untuk menyebutkan dengan blak-blakan.

“Kamu ngomong apa sih?” Ahmad kembali bertanya, benar-benar tak mengerti apa yang Fulan maksudkan.

“Udah deh, kita pulang aja yuk! Percuma, ndengerin orang yang nda melakukan apa yang diomongkan.” Kali ini Fulan benar-benar kesal. Tak ada lagi rasa tak enak seperti yang ia rasakan beberapa detik sebelumnya.

Kali ini Ahmad mulai paham mengapa si Fulan mengajaknya pulang. Bukan sekali ini ia mendengar Fulan bicara kabar miring tentang sang ustadz. Beginilah, begitulah. Tak sama apa yang dia omongkan dengan yang dia lakukan, itu intinya. Dan sejauh ini Ahmad belum pernah sekalipun mendapatkan bukti, melihat kebenaran tudingan orang dengan mata kepalanya sendiri.

Sekali lagi Fulan menyikut lengan Ahmad yang justru semakin khusyuk menyimak setiap kata yang disampaikan sang ustadz. Dan sikutan Fulan berikutnya terhenti ketika Ahmad dengan tegas mengatakan, “Tutup matamu, buka telingamu!”

Tutup mata, buka telinga? Ada-ada saja si Ahmad. Apa dia menyuruhku tidur saja agar tak mengganggunya? Ah, mungkin maksud Ahmad menyuruhku untuk tutup mulut, buka telinga. Fulan membatin. Meski kesal, Fulan memilih mengalah. Ia tahu Ahmad tak akan beranjak dari tempat duduknya sebelum acara selesai. Nanti, setelah acara selesai ia akan meminta penjelasan dari Ahmad perihal perintahnya untuk menutup mata, membuka telinga.

“Mad, tadi kamu nyuruh aku nutup mata buka telinga, maksudnya apa?” Fulan tak sabar bertanya saat mereka melangkah pulang.

Sebelum menjawab, Ahmad tersenyum pada sahabatnya. Ia sudah menduga bahwa Fulan akan menanyakan hal ini.

“Kalau kamu membaca koran, apa yang kamu pakai?” Ahmad balik bertanya.

“Mata!” jawab Fulan serta merta.

“Kalau mendengarkan radio?” Ahmad kembali bertanya.

“Telinga!” jawab Fulan seketika. Persis seperti anak kecil yang sedang dites oleh ibunya.

“Nah, kalau kamu nonton tivi?”

“Ya pakai kedua-duanya. Mata dan telinga.” jawab Fulan. “Sebenarnya kamu ini sedang ngomongin apa sih, Mad? Ditanya malah balik nanya?” Fulan mulai jengkel. Bukannya menjawab, Ahmad malah mempermainkannya.

Dengan tenang Ahmad menjawab. “Lan, menggunakan telinga, mata atau keduanya, itu ada waktunya. Seperti yang kamu jawab tadi. Saat mengikuti pengajian, semestinya kita menggunakan kedua indera itu. Mata dan telinga. Mata memperhatikan siapa yang mengisi pengajian, telinga menyimak apa yang disampaikan. Tapi mengikuti pengajian tidaklah sama dengan menikmati hiburan. Bagaimanapun syetan tidak rela dan tidak akan tinggal diam membiarkan manusia melakukan ini tanpa sedikit pun gangguan darinya. Syetan berusaha mengganggumu sehingga kamu cenderung melihat siapa orangnya daripada apa yang dibicarakannya. Kamu sibuk mempermasalahkan sang ustadz sampai tak sempat menyimak apa yang beliau sampaikan.”

“Tapi banyak yang mengatakan kalau ustadz itu begini begitu. Kamu sendiri tahu hal itu.”

“Banyak yang mengatakan, tapi belum tentu itu mutlak kebenaran. Layaknya kabar burung, semua berpindah dari mulut ke mulut, diterima telinga tanpa mata sempat mengklarifikasinya. Jarang atau bahkan tidak ada yang menyertakan bukti. Dalam hal ini kamu hanya menggunakan telinga, tapi tak menggunakan mata. Kamu meyakini apa yang kamu dengar meskipun matamu sama sekali belum pernah melihat buktinya.”

Fulan diam sesaat. Mencerna kata-kata Ahmad. “Tapi kalau seandainya kabar itu benar?”

“Baru seandainya, tapi kamu sudah meyakini seolah itu benar adanya. Kalaupun, kalaupun ternyata benar apa yang orang-orang katakan bahwa ustadz itu tidak menjalankan apa yang dia sampaikan, biarlah itu menjadi persoalannya dengan Allah. Idealnya memang seseorang bukan hanya pandai menyampaikan tapi juga benar dan istiqamah mempraktekkan. Tapi bukan berarti apapun yang ia sampaikan lantas kita acuhkan. Kita datang ke sini karena ingin mendapatkan ilmu. Kita tahu beliau memiliki itu. Aku pernah membaca satu nasihat bijak bahwa lebih baik ahli ilmu meskipun belum ahli ibadah, daripada ahli ibadah tapi tidak memiliki ilmu. Seorang ahli ilmu bisa menularkan ilmunya kepada orang lain, mengenai ia sendiri belum menjalankan, itu kaitannya dengan hidayah Allah. Seorang ahli ibadah yang tidak memiliki ilmu, justru berbahaya karena bisa jadi sesat dan menyesatkan. Kalau memang ustadz itu baru ahli ilmu, belum ahli ibadah, kita masih bisa mengambil ilmu darinya. Soal apakah dia menjalankan atau tidak, itu bukan tanggung jawab kita, tapi dia yang akan mempertanggungjawabkan sendiri di hadapan Allah kelak. Kita doakan semoga hidayah tercurah dan menetap kepada beliau, dan kita semua. Amin. “

Fulan lagi-lagi terdiam.

“Masih bingung?” Ahmad menangkap gelagat diamnya Fulan lebih karena belum paham. Dan dugaan Ahmad dibenarkan dengan anggukan Fulan.

“Begini, apakah kamu akan mengabaikan kewajiban shalat hanya karena yang mengingatkanmu adalah seorang penjahat yang sedang menunggu putusan pengadilan karena berbagai kasus kejahatan yang telah ia lakukan? Dan apakah kamu dengan senang hati akan melakukan maksiat hanya karena yang mengatakan seorang pejabat tinggi yang selama ini kau hormati, dengan title berjejer di depan dan belakang namanya. Tentu saja tidak, bukan? Jangan lihat siapa yang berbicara, tapi lihat apa yang dibicarakan. Jangan tutup telingamu hanya karena matamu tak setuju. Jika telinga dan atau matamu ragu, tanyakan pada hati kecilmu!”

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (12 votes, average: 9.58 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang pembaca yang sedang belajar menulis.

Lihat Juga

Wartawan Olahraga Sebut Dakwah Ustadz Abdul Somad Beringas, FORJIM: Jangan Melampaui Batas!

Figure
Organization