Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Idolaku

Idolaku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – “Idola saya Jenderal Soedirman, Pak,” jawabku mantap.

Sontak seisi kelas tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perut masing-masing. Pasalnya, hanya Justin Bieber, Shakira, Brad Pitt, Keanu Reeves dan artis luar negeri lain yang sejak tadi disebutkan teman-temanku.

Pak guru tersipu sambil berkata, “Sudah…sudah…! Kalian ini ada teman yang mengidolakan seorang pahlawan malah ditertawai. Gimana, tho? Ahmad, coba jelaskan kepada teman-temanmu mengapa kamu mengidolakan Jenderal Soedirman!”

Dengan mental diberani-beranikan kujelaskan mengapa aku mengidolakan beliau. Sejak kapan aku mulai mengidolakannya. Dan apapun yang kuketahui tentang Jenderal Soedirman.

Tiba-tiba Toni sang preman kelas, berujar, “Teman-teman. Menurut kalian pantas tidak seorang Ahmad yang kecil, pendek, dan sakit-sakitan mengidolakan seorang Jenderal Soedirman? Kayak pungguk merindukan rembulan, ya? Mana mungkin dia bisa mengikuti jejak seorang jenderal besar. Paling banter jadi petugas security kampung yang tiap malam begadang keliling kampung. Betul, tidak?”

“Betuuul…!” seisi kelas mendadak mengeluarkan satu suara yang sama seperti paduan suara.

Kriiing…!

Bel sekolah menyelamatkan aku dari situasi tak menyenangkan ini.

***

Apa yang baru saja aku alami masih terus mengganggu pikiranku. Aku tak habis pikir kenapa teman-teman memandang idola hanya sebatas apa yang terkait dengan ketenaran, kekayaan, rupa fisik, dan sebagainya. Hal itu sungguh kurang tepat menurutku.

Sesampai di rumah, kurebahkan badan sejenak. Aku kemudian makan siang bersama ibu dan adikku satu-satunya, Zahra. Ketika suapan terakhir sempurna kutelan, kulempar pertanyaan pada adikku.

“Zahra, idolamu siapa?”

Adikku yang baru beranjak ingin merapikan piring-piring pun keheranan.

“Emm… Idola Zahra itu cowok ganteng yang nyanyi lagu Baby” itu, lho. Yang kemarin konser di Jakarta. Tapi, Zahra lupa namanya. Mas tau namanya, nggak?”

Masya Allah. Adikku sendiri ternyata punya konsep yang sama dengan teman-temanku tentang idola. Ada apa ini sebenarnya. Ini tidak bisa didiamkan.

“Kenapa, Mas? Ditanya kok malah diam?”

“Mas lagi capek, Dik. Mas istirahat dulu, ya?”

“Oh iya, Mas. Monggo istirahat, Mas, biar capeknya cepet ilang.”

Tubuh ini pun kurebahkan lagi di atas tikar pandan di kamarku. Lelah yang kualami sekarang sebenarnya lebih disebabkan karena pikiran, bukan lelah fisik. Aku masih belum bisa menerima persepsi yang keliru tentang idola itu.

***

Keesokan harinya di kantin sekolah.

“Ehemm… minggir-minggir ada jenderal lewat!” Toni mulai berulah lagi hari ini.

“Apa? Jenderal? Mana ada jenderal kecil, kerempeng, hidup lagi. Iya, nggak?” Bondan, si ‘asisten’ Toni ikut-ikutan menyulut emosiku.

Tawa membahana para siswa pun memadati udara kantin. Tak ada yang peduli denganku. Kucoba menguasai diri. Berurusan dengan mereka bagiku hanyalah membuang energi.

***

Jam 18.45 Pak Rasyid selesai mengajar ngaji anak-anak. Aku pun menghampiri imam mushalla sekaligus ketua RT itu.

Tanpa bertele-tele aku tumpahkan segala perasaan yang terus membayangiku dua hari terakhir ini. Pak Rasyid memang seorang pendengar yang baik. Beliau tidak banyak berkomentar ketika aku bercerita. Lima menit kuhabiskan untuk menceritakan semuanya.

“Bagaimana menurut, Bapak?” tanyaku dengan nada mengharap ada masukan jalan keluar.

Pak Rasyid menghela nafas sejenak.

“Memang itulah fakta yang remaja saat ini, Nak Ahmad. Banyak di antara remaja yang salah mengambil idola. Padahal yang patut dijadikan idola adalah Rasulullah SAW. Beliaulah sosok manusia yang memang dijadikan role model oleh Allah SWT untuk kita. Namun demikian, kita juga boleh mengambil contoh atau teladan dari manusia biasa asalkan memang orang tersebut adalah orang yang baik dalam tinjauan agama kita. Sejauh yang saya ketahui, Jend. Soedirman ialah seorang yang shalih dan selalu mendirikan shalat dalam kondisi apapun, termasuk saat perang. Beliau pun rajin sekali shalat Tahajud. Jadi, sah-sah saja kalau kamu menjadikan beliau sebagai salah satu panutan.”

Kemudian, beliau menjelaskan panjang lebar tentang beberapa kisah tentang Jenderal Soedirman. Ternyata Pak Rasyid tahu banyak tentang Jenderal Soedirman. Aku mendapat banyak tambahan informasi yang belum kudapatkan dari Bapakku tentang gambaran watak Jenderal Soedirman.

Lega benar rasanya diriku seusai mendengar pemaparan beliau.

Adzan Isya menggema. Kami beserta jamaah lain pun tenggelam dalam nuansa khusyu’ menghamba pada Ilahi.

***

 17 Agustus 2008 tinggal 2 hari lagi. Hari ini sengaja ditiadakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Dari dalam sebuah gedung bagian belakang sekolahku yang bertuliskan “Aula SMA Negeri 1 Comal” ini teriakan demi teriakan terdengar bersahut-sahutan. Rasanya aula ini akan roboh lantaran kerasnya suara teriakan dukungan dari para pendukung yang menyemangati jagoan masing-masing.

Ya, inilah saat yang aku tunggu. Aku telah menyiapkan segalanya untuk tampil maksimal di lomba pidato ini. Agenda tahunan ini memang selalu dinanti seluruh anggota keluarga besar SMA Negeri 1 Comal. Semua penasaran, ingin mengetahui siapa gerangan yang akan menjadi “singa podium” tahun ini.

Hal yang mendorong aku memutuskan ikut dalam lomba ini tak lain adalah persepsi tentang idola yang masih kurang tepat. Kebetulan sekali panitia Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI tahun ini mengambil topik yang bisa aku jadikan senjata untuk berperang melawan persepsi itu. Tak apalah aku mendapat giliran tampil terakhir. Hal terpenting adalah aku mendapatkan kesempatan tampil untuk menyampaikan persepsiku.

Satu demi satu peserta maju. Kini giliran namaku dipanggil pemandu acara. Sambil kuucapkan Basmalah di dalam hati berkali-kali, kulangkahkan kaki menuju podium di tengah sorakan dan teriakan yang semakin nyaring terdengar. Kelompok Toni cs. nampak menyorakiku. Bahkan anggota mereka ada pula yang membentangkan poster dari kertas karton bertuliskan “JENDERAL PECUNDANG”. Entah apa tujuan mereka. Tapi, aku tidak mau terbakar emosi.

Kutatap sejenak banner bertuliskan tema pidato tahun ini. Tampak jelas tulisan “Peran Siswa dalam Mengisi Kemerdekaan RI” di sana. Kemudian, kubalikkan wajah dengan mantap pada semua yang hadir di aula ini.

Salam pembuka pun dengan sukses kuluncurkan. Kalimat demi kalimat pembuka aku sampaikan dengan nada bersemangat. Mudah-mudahan hadirin yang tadi mulai bosan kembali bersemangat sekarang.

“Hadirin yang saya hormati. Ada sebuah kalimat hikmah dari seorang bijak berbunyi: Bangsa yang kalah cenderung mengekor yang menang. Adakah hadirin yang tahu siapa yang pertama mengucapkan kalimat itu?”

Tak ada satu telunjuk pun terangkat. Hampir semua hadirin hanya menggelengkan kepala. Sisanya tampak berbisik-bisik dengan orang di sebelahnya.

“Itu adalah ucapan seorang bijak bernama Ibnu Khaldun. Kutipan itu saya rasa itu sangat relevan dengan keadaan remaja saat ini, khususnya remaja Indonesia yang berpendidikan. Kita yang diharapkan bisa mengisi kemerdekaan RI banyak terjebak pada perkara mengekor kebudayaan asing yang sama sekali tak menguntungkan bagi bangsa. Contoh paling nyata ialah kurang tepatnya kita mengambil sosok yang bisa kita jadikan teladan. Idola kita sekarang ialah mereka yang bergelimangan harta, kekayaan, ketenaran, dan segala pertimbangan fisik lain. Kita tidak peduli pada nilai negatif apa yang dibawa oleh mereka.”

Nampak sebagian hadirin menganggukkan kepalanya. Toni cs masih belum bisa menerima argumen pembukaku. Mereka malah semakin menjadi-jadi dengan membentangkan satu poster baru bertuliskan “JENDERAL PEMBUAL”. Apa yang mereka lakukan justru seakan menjadi penyemangat bagiku.

Satu persatu poin dan penjabaran yang singkat dan padat kusampaikan dengan berapi-api. Kujelaskan korelasi idola sebagai tokoh yang kita jadikan model dalam tingkah laku dengan upaya mengisi kemerdekaan Indonesia. Kupaparkan pula betapa pentingnya peran remaja yang terdidik dalam usaha memajukan bangsa. Fakta pendidikan saat ini yang lebih mementingkan aspek intelektualnya saja juga kusampaikan. Akibatnya penyelewengan terjadi di mana-mana. Rusaknya moral inilah yang menurutku jadi sumber belum majunya bangsa ini.

Seketika tepuk tangan membahana dalam aula ini. Bahkan kepala sekolah yang ikut menyaksikan lomba ini dari awal berdiri sambil bertepuk tangan. Satu perbuatan yang tidak aku lihat sejak peserta pidato pertama tadi pagi tampil. Toni cs tampak tertunduk lesu sambil menyembunyikan poster-poster tadi.

“Demikian yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf apabila ada kekurangan dan kesalahan. Di akhir pidato ini saya ingin menyampaikan pepatah Arab yang artinya: Pemuda sejati bukanlah orang yang mengatakan, “Inilah Bapakku!” Tetapi pemuda sejati ialah mereka yang mengatakan, “Inilah aku!” Jadi, tunjukkan bahwa kita bisa menjadi generasi yang membangun bangsa. Jangan menjadi generasi yang hanya bisa membanggakan pencapaian pendahulunya, namun tidak berbuat apa-apa saat ini.”

Tepuk tangan kembali mengisi udara dalam aula ini. Salam penutupku pun dijawab dengan nada penuh semangat semua yang hadir. Aku tak berharap ini menjadi tanda aku akan menjadi juara tahun ini. Aku hanya berharap apa yang aku sampaikan akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (56 votes, average: 9.38 out of 5)
Loading...

Tentang

Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Lihat Juga

Din Syamsuddin Bertemu Aung San Su Ki Di Myanmar

Figure
Organization