Menyembelih Hawa Nafsu

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Suara takbir dan tahmid kini telah terdengar merdu dan indah dari berbagai pelosok nusantara sampai belahan dunia sebagai pernyataan dan pengakuan terhadap keagungan Allah SWT khususnya di Maroko negeri terbenamnya matahari. Takbir yang diucapkan bukanlah sekedar gerak bibir tanpa arti, tetapi merupakan pengakuan dari dalam hati, menyentuh dan menggetarkan relung-relung jiwa manusia yang beriman. Paginya seluruh Umat Islam di penjuru dunia berbondong-bondong untuk melaksanakan dua rakaat shalat sunah, yaitu shalat Id.

Perbedaan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha

Suasana yang dirasakan pada hari raya Idul Adha tentunya berbeda dengan perayaan hari raya Idul Fitri yang kita rayakan sebelumnya. Perbedaannya itu adalah karena Idul Adha memiliki nilai historis yang begitu mendalam. Idul Adha atau yang sering kita kenal dengan Idul Kurban, mengingatkan kepada kita bagaimana proses perjuangan yang dilakukan oleh NabiyAllah Ibrahim as. Dimana nabi Ibrahim mendapatkan wahyu untuk menyembelih putranya sendiri, yang bernama Ismail as, putra yang ditunggu-tunggu selama bertahun-tahun. Di sinilah nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati yang dicintainya, sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena ketakwaan dan kecintaan nya kepada sang Khaliq melebihi segalanya, maka perintah tersebut beliau laksanakan juga, walau pada akhirnya nabi Ismail as digantikan dengan seekor hewan kurban.

Hikmah disyariatkannya qurban

Dari sini kita mendapatkan pelajaran yang sangat bermakna bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan dan keberhasilan di dalam kehidupan dunia dan di akhirat nanti kita harus rela berkorban. Makna berkorban adalah memberikan sesuatu untuk menunjukkan kecintaan kepada orang lain, meskipun harus menderita. Orang lain itu bisa anak, orang tua, keluarga, saudara sebangsa dan setanah air. Ada pula pengorbanan yang ditunjukkan kepada agama yang berarti untuk Allah SWT dan inilah pengorbanan yang tinggi nilainya sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabiyulloh Ibrahim as sehingga beliau mendapatkan predikat Kholilulloh (kekasih Allah SWT), karena telah mampu mengorbankan sesuatu yang dicintainya yang berupa anak , demi mencapai kecintaan kepada Allah SWT. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahui.(QS. Ali Imron: 92).

Peristiwa di atas adalah menjadi titik awal dianjurkannya perintah untuk berkurban bagi umat Islam, terutama bagi orang yang mampu. Maka dengan adanya perintah berkurban tersebut, kita sebagai umat Muslim dituntut untuk tidak hanya melaksanakan ritual keagamaan semata, atau tidak hanya sekedar melaksanakan perintah Tuhan, akan tetapi kita juga diberi kesempatan untuk memanifestasikan rasa solidaritas kita kepada sesama. Dengan cara membagi-bagikan daging kurban kepada fakir miskin dan kaum dhuafa di sekitar tempat tinggal kita. Artinya daging kurban tersebut tidak hanya dinikmati oleh saudara atau orang terdekatnya saja. tetapi benar-benar dinikmati oleh orang-orang yang membutuhkan. Orang yang sehari-harinya makan daging adalah makanan yang langka bagi mereka.

Idul Adha yang menjadi momentum sejarah telah mengajak umat Islam kepada pola kehidupan sosial yang agamis dengan membangun kekuatan spiritualitas diri yang tinggi yang terbentuk dalam bentuk pengabdian yang tulus akan perintah-perintah Allah swt, demi kemaslahatan dan kebersamaan di antara umat Islam.

Di sisi lain sejarah Hari Raya Kurban juga mengingatkan kepada kita Bahwa kehidupan ini tidak kekal, dan banyak hal yang terjadi secara tiba-tiba di luar perkiraan kita. Kadang, kita dapatkan dalam kehidupan dunia ini hal-hal yang kita cintai justru malah cepat pergi dari kita, sebaliknya hal-hal yang kita benci malah datang terus kepada kita. Maka Allah menyebut kesenangan dunia ini dengan kesenangan yang menipu (mata’u al ghurur), karena akan sirna bahkan berubah menjadi malapetaka, jika cara mengolahnya tidak sesuai tuntunan Allah swt. Allah swt berfirman:

“Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS Al Hadid: 20)

Tidak semua musibah itu malapetaka

Tetapi perlu diingat juga bahwa tidak setiap perkara yang kita benci pasti membawa mudharat bagi kehidupan kita. Terkadang yang terjadi adalah sebaliknya, musibah yang kita anggap akan mendatangkan malapetaka, ternyata malah membawa kita kepada kesuksesan besar di dalam hidup ini. Kita lihat umpamanya, yang dialami oleh nabi Ibrahim as, ketika diperintahkan Allah swt untuk meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil di tengah padang pasir, yang tidak ada tumbuh-tumbuhan dan air. Sebagai manusia, tentunya nabi Ibrahim tidak ingin mengerjakan hal tersebut kalau bukan karena perintah Allah swt. Sesuatu yang tidak dikehendaki nabi Ibrahim tersebut, ternyata telah menjelma menjadi sebuah ibadah haji yang di kemudian hari akan diikuti berjuta –juta manusia, dan dari peristiwa itu juga, keluarlah air zamzam yang dapat menghidupi jutaan orang dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Begitu juga, ketika nabi Ibrahim as. diperintahkan untuk menyembelih anaknya Ismail, yang sangat dicintainya. Setiap orang yang masih mempunyai hati nurani yang sehat, tentu sangat tidak senang jika diperintahkan menyembelih anaknya sendiri. Tapi apa akibatnya? Ketika kedua-duanya pasrah, Allah membatalkan perintah tersebut dan menggantikannya dengan kambing. Dari peristiwa ini, akhirnya umat Islam diperintahkan untuk berkurban setiap datang hari raya Idul Adha. Memang, kadang sesuatu yang kita benci, justru adalah kebaikan bagi kita sendiri. Allah berfirman:

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al Baqarah: 216)

Oleh karenanya, di dalam menghadapi ujian kehidupan dunia ini, kita haru sabar dan tawakkal, serta menyerahkan diri kepada Allah swt, sebagaimana yang dicontohkan nabi Ibrahim ketika diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri sebagai tanda bahwa nabi Ibrahim telah menyembelih ego dan nafsunya. Sebagai penutup semoga kita dan khususnya para pejabat di negeri kita tidak mudah tertipu oleh rayuan syetan yang menjanjikan kemegahan dunia dan nikmatnya dunia, karena sesungguhnya keindahan dunia adalah tipuan belaka (fatamorgana) dan bersifat sementara.

Konten ini telah dimodifikasi pada 21/11/11 | 00:25 00:25

Mahasiswa S1 Universitas Ta�limul �Alim,�Tanger, Maroko.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...