dakwatuna.com – Pagi yang masih bisu di awal musim panas. Kapal-kapal masih sibuk di sekitar pelabuhan Hamburg yang selalu ramai di musim kapan pun. Umar masih dalam kesibukannya sembari sesekali melihat orang-orang yang masih tidur dalam kelelahan mereka.
“Fffuuuh… pagi yang hangat. Ini musim panas bukan? Ahh… ternyata, selain panas dan cerahnya mentari, musim panas juga sering sekali di temani hujan… Tapi anehnya ia tak mampu mendinginkan udara…” gumamnya sendiri.
Tiba-tiba, handphone-nya bergetar. Ada sebuah pesan yang masuk, nomor yang sangat dikenalinya.
“Assalamu’alaikum wr. wb. sehatkan nak? prosesi pernikahan semakin dekat nih nak… Jaga kesehatan ya. Mudah-mudahan lancar dan ridha Allah senantiasa mengiringi sampai hari-H nya nanti…”
Hati Umar berdesir seketika. Ada perasaan yang tak biasa mulai hinggap tiba-tiba.
“Wa’alaikumsalam wr. wb. Alhamdulillah sehat bu. Ibu sehatkah? jaga kesehatannya ya… Amiin, mudah-mudah dimudahkan oleh Allah. Umar segera tiba di Indonesia bu…” jawabnya dipenuhi haru.
Ada perasaan lega mendapati pesan dari calon mertuanya. Juga rasa was-was yang hadir dalam kadar yang mulai banyak. Kuliahnya di Hamburg University of Technology di bidang chemical and bioengineering process masih terkatung-katung. Ia masih harus berjuang 2 bulan lagi untuk bisa melengkapi impiannya tahun ini. Namun, tekad-nya sudah bulat.
“Saya harus menikah… Ia jauh lebih tinggi nilainya jika dibandingkan dengan pengorbanan waktu yang tak sedikit untuk mengambil jeda riset Thesis saya. Jika tak sekarang, kapan lagi?” Umar bertanya pada dirinya sendiri sembari menekuni lembaran demi lembaran analisis hasil risetnya. Data-datanya masih berantakan. Masih harus uji lab beberapa kali lagi sebelum menyempurnakannya menjadi sebuah riset yang layak untuk dijadikan sebagai thesis S2-nya. Hasil kerja kerasnya selama tahun pertama telah berhasil mengantarkannya menjadi penerima penghargaan “best young researcher” di sebuah konferensi International di Hamburg Desember tahun lalu. Sialnya, semua riset itu belum juga dianggap cukup layak oleh Prof. Borg, pembimbingnya untuk dijadikan sebagai bahan-bahan thesisnya. Umar harus merancang dari awal lagi semua eksperimennya guna menyanggupi apa yang diinginkan oleh adviser-nya.
“17 Juli 2011…” Umar melingkari kalendernya dengan spidol merah sebagai tanda waktu oral defense-nya. Masih tersisa kurang lebih dua bulan. Umar berpikir keras membagi waktu-waktu yang tersisa agar rencananya pun lancar.
Tiba-tiba goresan penanya terhenti ketika menuliskan rencana keberangkatannya ke Indonesia untuk menikah. Ia teringat dengan perjalanannya selama musim gugur kemarin di Luxembourg. Bertemu dengan dia yang jelita nan santun perangainya. Pertemuan singkat di bawah pepohonan mapple yang mulai menguning dan berguguran menutupi jalanan di taman-taman Luxembourg. Mereka menyepakati untuk bertemu di sana ditemani seorang teman, karena keduanya sedang menghadiri konferensi bidang kimia tingkat dunia. Mereka tak saling sapa selama konferensi karena kesibukan masing-masing. Yang Umar tahu, ia menjadi sedikit salah tingkah ketika mereka berdua mendapatkan penghargaan best paper. Sialnya, Umar kalah dari dia. Umar “hanya” second best paper, sedangkan Zahra, mendapat pujian yang luar biasa berkat karyanya dan dinobatkan sebagai first best paper
berkat temuannya yang terbilang baru di bidang kimia.Ada perasaan minder yang menghujam di dadanya mengetahui bahwa Fatimah Az-Zahra, perempuan bergamis biru muda panjang di conference itu, adalah calon istrinya, Mereka bahkan baru saja bertemu saat itu, setelah sebelumnya hanya bertukar biodata dan saling berdiskusi melalui email. Umar tak perah menyangka, bahwa sosok Zahra itu akan begitu melekat di dalam jiwanya.
“Saya Fatimah Az-Zahra, kamu bisa memanggil saya Zahra…”
Sapa Zahra membuka diskusi yang sejak tadi hening karena mereka masih sama-sama cemas. Entah karena apa.
“Waaahh… Saya kira temanmu yang di sebelah bernama Zahra…” Canda Umar pada mereka. Sudah tentu Zahra tersenyum mendengarnya, sebab ia tahu bahwa Umar mengenalnya di konfrens kemarin
“Saya cuma bercanda. Saya Umar, Umar al Faruq… Ayah saya pengagum Umar. Makanya beliau menamakan saya Umar Al Faruq”
Keduanya kemudian saling menyelami karakter masing-masing. Udara di musim gugur masih dingin terasa. Beberapa kali Umar menggosok kedua telapak tangannya menghilangkan dingin yang bercampur dengan perasaan gugupnya. Perasaan gugup yang juga tak dimengerti dari mana asalnya. Daun-daun yang sudah mulai kuning dan kecoklatan itu terus saja gugur memenuhi tanah. Semuanya membuat musim gugur ini semakin indah dan kelengkapannya menjadi sempurna dengan pertemuan singkat di Luxembourg kala itu.
Umar tersenyum sendiri mengingatnya. Mengenang bahwa 3 hari setelah pertemuan itu, ia masih saja sulit memejamkan mata. Pikirannya semakin campur aduk. Ada rasa cemas, gembira, senang, juga was-was yang susah sekali untuk digambarkan. Mengambil jeda liburan menuju musim dingin ke Hannover, Postdam dan Magdeburg belum juga meredakan geliat yang ada di hatinya. Bahkan ketika Umar menuju Dresden dan akan memasuki Prague di Republik Ceko-pun Umar masih saja gelisah. Mungkin memang yang ia butuhkan adalah sebuah pertemuan yang jelas, pertemuan yang hadir untuk mengikat ia dan Zahra dalam keabadian cinta yang nyata, bukan samar-samar dan penuh noda.
Setelah liburan yang cukup dingin mengelilingi Jerman dan menyusuri Prague, Umar kembali dengan kelelahan dan luapan pikiran yang lebih tenang. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya dengan setumpuk bahan riset yang harus diolahnya lagi untuk kepentingan publikasi rencana S3-nya.
Handphone-nya kembali bergetar.
“Amiin… Ibu sehat nak. Semoga dimudahkan aktivitasnya ya nak…”
Sebuah pesan dari Ibu Diah, calon mertuanya kembali hadir menghentikan lamunannya.
Umar kemudian menarik nafas dalam-dalam. Hari ini, 2 Juni 2011. 30 Hari lagi, mitsaqan ghaliza itu akan terucap. Umar kemudian memandangil tiket Hamburg-Jakarta yang telah di belinya sebulan lalu, sembari menulis sebuah prosa sederhana mengenang pertemuannya dengan Zahra.
“Kau menunduk dalam diam
Dalam suara-suara yang tak berbahasa
Bersama kata-kata kosong yang seperti biasanya, tak terdengar
Namun tidak untukku
Semuanya memanggil
Jelas sekali
Membuka tabir di dalam hati
Bahwa benarlah segala pilihanku
Benarlah sudah yakinku…”
“Tunggu aku di sana Zahra…”
Tutupnya, dalam debar yang tak biasa.
Konten ini telah dimodifikasi pada 21/11/11 | 00:13 00:13