Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Pelangiku…

Pelangiku…

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – 5 tahun sudah penyakit ini bersarang di kepala ku, menggerogotinya hingga kini menjelang tahunnya yang ke-6. Tak jarang keputusasaan menghampiri ku hingga pertanyaan-pertanyaan itu menyerang pikiran ku.

”Ya Allah…mengapa cobaan ini harus aku yang menerimanya? Mengapa ya Allah Kau menilai ku mampu menghadapi ujian ini? Kenapa…kenapa…kenapa ya Rabb????? Aku sudah tak sanggup…” butiran-butiran air mata itu mengalir deras dari mata ku

Hampir setiap hari selama 1 tahun terakhir aku menangisi kondisi ini. Setelah 4 tahun aku berusaha bersabar dan menguatkan hati dalam menghadapi semuanya. Namun, kini… tak bisa ku pungkiri keputusasaan perlahan mengikiskan kepercayaan ku akan kedatangan pertolongan dari-Nya. Astaghfirullah… aku sudah tidak sanggup lagi melihat tetesan air mata ibu yang setiap hari dengan sabar mengurus dan merawat ku. Ayah…pengorbanannya untuk membiayai pengobatan ku sudah sangat banyak. Terlalu banyak materi yang dikeluarkan oleh ayah untuk mengobati penyakit ini, bahkan tanah satu-satunya warisan dari mbah pun harus dijual untuk mengobati penyakit ku. Padahal tanah itu….tanah itu seharusnya menjadi tabungan ayah dan ibu pergi haji tahun depan, namun demi aku anak satu-satunya ayah rela dan ikhlas menukarnya untuk biaya operasi ku 3 bulan yang lalu. Walau kini ternyata kondisi ku tidak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan kini di saat usia mereka yang sudah mulai senja akulah yang seharusnya merawatnya. Ayah…Ibu…mereka sedikit pun dia mengeluhkan penyakit yang sudah bertahun-tahun ada dalam diri ku. Aku menangis sejadi-jadinya bila ku ingat kesabaran mereka merawatku yang hanya bisa berbaring lemah ini.

Aku juga sering membayangkan, seharusnya di usia ayah dan ibu saat ini, mereka sudah bisa menimang cucu dari rahim ku. Sedih rasanya saat melihat ibu bermain dengan anak tetangga ku yang sering datang ke rumah setiap hari, usianya baru sekitar 3 tahun. Lucu dan menggemaskan…bayangan dalam benak ku selalu membuatku merasa bersalah. Andai saja anak itu adalah anak ku dan cucu dari ayah dan ibu ku. Ya Allah apakah terlalu berlebihan jika  aku memikirkan hal itu. mana ada lelaki yang ingin menikah dengan ku??? Wanita dengan penyakit kanker otak stadium 3 dan kini usia ku sudah tidak lagi muda.

Rabbi…aku tak sanggup lagi…aku tidak ingin menyusahkan mereka…Izinkan aku  berbakti…aku ingin membahagiakan mereka kedua orang tua ku yang sangat ku sayangi…!!!

Setiap pagi saat membawakan sarapan pagi untuk ku, ibu selalu mengatakan hal yang sama dengan tatapan wajah teduhnya dan senyum yang menenangkan sambil mengusap kepala ku

”Sabar ya nduk…ini hanya ujian kecil yang Allah berikan. Ibu yakin sebentar lagi kamu pasti sembuh. Ibu yakin…ibu yakin…Allah tidak akan membebani kita di luar kemampuan kita”

Selalu itu yang ibu katakan selama 5 tahun ini. Jika sudah seperti itu, aku hanya bisa terdiam, menangis dan menghambur ke pelukannya. Kehangatan hatinya menenangkan hati ku yang terlalu rapuh untuk menerima kenyataan ini.

Pagi ini…seperti biasa saat ibu mengantarkan sarapan pagi ke kamar ku dan mengatakan hal sama, kali ini aku mencoba perlahan berbicara padanya. Sambil memegang erat kedua tangannya dengan kepala tertunduk lisan ku mulai berkata.

”bu…maafin ana ya. Ana belum bisa berbakti…ana belum bisa menjadi anak yang baik. Ana hanya bisa menyusahkan ibu dan ayah sejak saja ana kecil.” air mata ku mengalir deras…aku lihat ibu pun begitu…perlahan tangannya mengangkat wajah ku dan mengusap air mata ku.

Ku lihat kehangatan terpancar dari matanya yang tak pernah sedikit pun mengeluhkan kondisi ku…

”sabar ya nduk…” ibu memandang wajah ku dengan penuh cinta dan senyuman. Ya…cinta seorang ibu yang tak pernah lekang oleh waktu. Perlahan…aku membalas senyumnya membalasnya dengan sebuah candaan.

”Bu…seharusnya, aku sudah bisa memberikan ayah dan ibu cucu ya. Tapi…dengan kondisi seperti ini bagaimana bisa. Mana ada yang mau ya bu sama perempuan penyakitan seperti aku ini, ditambah lagi usia ku yang sudah menginjak kepala tiga.” berat rasanya ketika aku harus mengatakan semua kenyataan itu. Tapi lagi-lagi ibu berhasil menenangkan hati ku.

”Ana anak ibu tersayang…sudah kamu tidak usah memikirkan hal itu. Ibu sudah cukup bahagia dengan kondisi saat ini. Ibu dan Ayah sudah merasa cukup bahagia bisa membesarkan mu, berhasil menguliahkan mu hingga sarjana dan lebih dari itu, ibu bangga memiliki putri seperti mu yang shalihah dan sabar dalam menghadapi ujian dari-Nya. Nak…kamulah sebenarnya yang memberikan kekuatan bagi ayah dan ibu untuk terus bertahan sampai hari ini. Kamu yang sebenarnya mengajarkan pada kami mengenai kesabaran dan arti hidup yang sesungguhnya….Ibu dan Ayah bangga memiliki anak seperti mu…” ku lihat linangan air mata itu, begitu sendu.

Tak tahan rasanya aku mendengar ucapan ibu, aku memeluknya erat-erat. Kini…tetesan air mata itu sudah berubah menjadi air hujan yang tak tertahankan lagi. Ya Rabb…terima kasih kau telah menitipkan aku pada mereka orang tua yang luar biasa.

Ibu kembali membuat ku memiliki semangat lagi, kata-kata ibu kembali memberikan energi yang luar biasa pada ku untuk menggenggam rasa optimis dan berhusnudzon terhadap ketentuan-Nya.

***

Alhamdulillah kondisi ku sudah mulai membaik setelah seminggu aku kembali memupuk kembali seluruh kesabaran dan keikhlasan menjalani ini semua.

”Assalamu’alaikum”

Suaranya tak asing di telinga ku. Perlahan aku melangkah keluar dengan mukena putih yang ku gunakan selesai shalat Dhuha aku berusaha mencari tahu siapa tamu yang datang. Ternyata ku lihat ayah sudah lebih dulu menemuinya.

“hah…itu kan ustadz Ridwan.” celetukku dalam hati

Tak lama terdengar suara Ust. Ridwan berbincang-bincang dengan ayah dan ibu di halaman rumah yang dikelilingi banyak sekali tanaman koleksi ibu.

Beberapa bulan ini ustadz Ridwan sering sekali mengisi ta’lim di masjid dekat rumah ku. Aku mengenal baik beliau karena dulu sewaktu kuliah ustadz Ridwan sering sekali mengisi kajian di kampus ku, karena dulu aku bersama dengan teman-teman yang lain sering sekali berdiskusi dengan beliau. Karena pekerjaan, beliau dimutasi di daerah dekat rumah ku. Namun, alhamdulillah karena aku diberi kesempatan lagi oleh Allah untuk tetap mendengar tausyiahnya setiap kamis malam di masjid dekat rumah. Ini adalah kali ke dua ust. Ridwan datang setelah kunjungan pertamanya 2 bulan lalu setelah tahu aku tinggal di sekitar masjid. Dulu kali pertama ust Ridwan datang bersama dengan istri dan 4 orang anaknya.

Ingin sekali rasanya aku keluar menemui beliau, namun kepalaku mendadak sakit. 30 menit setelah ust pulang dari rumah ku, Ibu datang ke kamar ku dan memberitahukan pada ku soal kedatangan Ust. Ridwan ke rumah.

”Ust. Ridwan tadi datang nduk dan menanyakan kondisi mu.”

”Tadi ana sebenarnya mau keluar bu menemui ust. Ridwan, tapi tiba-tiba kepala ana sakit.”

”Iya ndak apa-apa. Ibu sudah ceritakan pada beliau kalau kondisi mu. Ustadz Ridwan juga memaklumi kok nduk”

”Tadi ibu sama ayah ngobrol apa saja dengan beliau?”

Ibu hanya menjawab dengan senyuman…tapi, senyumnya terlihat aneh kali ini.

”Ibu nih ditanya ana kok malah senyum-senyum”

”Begini nduk, tadi kedatangan Ust. Ridwan ke sini itu khusus ternyata.”

”Khusus bagaimana bu maksudnya?”aku semakin tidak mengerti maksud ibu

”Beliau ingin melamar mu….”

”Hah…apa bu???Ibu ndak salah kan???bu, Ust. Ridwan itu sudah berkeluarga, anaknya sudah 4. Masa mau melamar aku?” bagai petasan yang saling menyahut pertanyaan-pertanyaan itu ku tembakan pada ibu

Dengan tenangnya dan senyumnya (lagi) ibu menjawab ”Bukan nduk, Ust. Ridwan ingin melamar mu untuk seorang laki-laki” senyumnya merekah…

Aku terdiam sesaat. “A…a…apa bu? Seorang laki-laki????? Siapa bu?”

”Ustadz Ridwan tidak menyebutkan siapa namanya”

”Ibu juga ndak tahu siapa orangnya. Insya Allah rencananya besok Ustadz Ridwan akan datang bersama dengan laki-laki itu untuk silaturahim ke rumah.”

Masya Allah…kabar ini membuat hati ku berdegub kencang, bagai petir di siang bolong rasanya mendengarnya. Ada seorang ikhwan yang akan mengkhitbahku???

”Tapi bu…tapi…”

”Tapi apa nduk? Laki-laki itu juga sudah tahu bagaimana kondisi mu sekarang dan dia bersedia menerima mu apa adanya. Tunggu saja besok ya insya Allah sekitar jam 10 mereka akan datang” katanya sambil mengelus kepalaku

Subhanallah…seperti apa ketampanan hati ikhwan itu yang mau menerima kondisi ku saat ini???aku masih saja kaget karena kabar ini begitu sangat tiba-tiba ku dengar.

***

Setelah semalam aku mencoba berdialog dengan-Nya, pagi ini aku merasakan kemantapan hati yang luar biasa untuk menghadapi apapun yang terjadi hari ini. Dengan mengucap basmalah, aku siapkan diri ku dengan sebaik-baiknya.

Pukul 10.00 tepat terdengar salam Ustadz Ridwan datang…

Masya Allah, degub jantung ku semakin cepat rasanya. Helaan nafas panjang berulang-ulang ku ambil berusaha menenangkan diri. Di luar sudah terdengar perbincangan antara Ibu, Ayah, Ust. Ridwan dan….dan…ahh..sepertinya aku mengenal suara yang satunya lagi…ku beranikan diri  untuk melihat sosoknya dari balik tirai jendela kamarku…

”…akh Arya????” aku semakin tak mengerti dengan semua ini. apa aku tidak salah lihat??? Ah, mungkin salah…sudah 5 tahun aku tidak bertemu dengannya sejak lulus kuliah. Aku mungkin salah…aku salah…

Selang 30 menit ustadz Ridwan dan ikhwan itupun berpamitan. Tak perlu menunggu lama ibu kembali mendatangi kamar ku sambil membawa satu bundel kertas…

”Nduk…itu tadi ustadz Ridwan sudah datang bersama orangnya. Kamu sudah lihat kan? Ini titipan dari ustadz Ridwan untuk kamu nduk supaya kamu lebih mengenal orangnya katanya. Nduk, Ibu cocok sekali dengan orangnya, semoga kamu berjodoh dengan dia ya” terlihat ibu berbicara ku dengan penuh semangat sambil menyodorkan pada ku satu bundel kertas itu kemudian Ibu pun pergi meninggalkan ku dengan senyum penuh harap…

Perlahan ku ambil dan ku baca halaman pertama yang bertuliskan

”Teruntuk Ukhtina Ana Annisa, seorang wanita yang ku harapkan berkenan mendampingi ku meraih cinta-Nya hingga ke syurga…”

Ku buka halaman selanjutnya…”Muhammad Arya”, nama itu…benar ternyata, dia adalah Arya. Air mata ku semakin deras, subhanallah…Kau kirimkan dia untuk ku ya Allah. Sosok lelaki bertanggung jawab, mandiri dengan kecintaannya yang luar biasa pada Mu ya Rabb. Aku masih ingat bagaimana dia memilih desa-desa kecil dan kumuh sebagai ladang pahala dan kebaikan baginya, hingga pada akhirnya di desa itu Islam berkembang, kajian diadakan setiap Jum’at malam. Aku juga ingat dia juga mengajar mengaji dan memberikan les gratis anak-anak di sana. Ahh…terlalu banyak hal yang dulu sering membuat ku iri dan malu padanya, karena tak banyak hal yang dapat ku lakukan untuk ummat ini seperti dia.

Subhanallah…tak terasa air mata ku mengalir begitu deras membaca semua bagian dari kertas itu. Karakternya yang dulu pernah ku impikan untuk ku dampingi…kini Kau hadirkan di hadapan ku ya Rabb dalam sosoknya. Seperti mimpi rasanya Allah memberikan kebahagiaan ini pada ku dalam waktu sesaat..Tak ada keraguan atau alasan bagi ku menolaknya.

***

Rencana pernikahan sudah didiskusikan oleh keluarga ku dan Arya, kami pun tak ingin terlalu lama setelah kemantapan hati itu kami miliki pada hati masing-masing. Kemantapan untuk menyempurnakan agama ini dalam menggapai cinta-Nya. Alhamdulillah akad dan pernikahan kami akan dilaksanakan besok, tepat 2 minggu setelah Arya dan keluarganya datang ke rumah mengkhitbahku.

Allah yang menyayangi ku, kembali memberikan pelanginya untuk ku. Kemarin saat aku pergi ke dokter untuk melakukan check up 4 bulan setelah operasi, dokter sudah memvonis penyakit kanker ku saat ini sudah tidak ada. Kabar ini sangat mengagetkan, kanker otak stadium 3 yang selama 5 tahun bersarang di kepala ku sudah dinyatakan sembuh. Maha Suci Engkau ya Allah…Ibu…Ayah…seluruh doa ayah dan ibu dikabulkan oleh Allah. Alhamdulillah

Kebahagiaan yang Allah berikan tidak hanya sampai di sana, 3 bulan setelah pernikahan kami nanti aku, ayah, ibu, Arya beserta orang tuanya akan melaksanakan ibadah haji bersama. Arya yang sebentar lagi akan menjadi suami ku yang akan memberangkatkan Ayah, Ibu dan aku yang nanti menjadi istrinya pergi menginjakkan Tanah Suci. Alhamdulillah ya Allah…tak henti-hentinya lisan ini mengucap syukur pada mu. Pelangi yang ku nanti akhirnya Kau datangkan…Indah dan lebih indah dari dugaan ku…Sungguh, tak ada satu pun nikmat-Mu yang pantas ku ingkari…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (53 votes, average: 9.58 out of 5)
Loading...

Hanya seorang manusia biasa dengan segala kelemahannya. Namun, dengan berbekal sebuah azzam dalam hati dirinya bertekad untuk memanfaatkan apa yang dimilikinya sebaik mungkin�� agar menjadi insan yang dapat memberi manfaat bagi sesama (Khoirunnas An'fauhum Linnas).

Seorang manusia biasa yang sedang menunggu ketetapan Rabb nya disetiap waktu, menjalani setiap skenario yang menjadi garis kehidupannya dari Sang Khalik.

Seorang pemimpi yang menjadikan ikhtiar, doa, tawakkal dan ridho orang tua sebagai modal utamanya.

 

Ketika dengan tulisan menjadikan seseorang berilmu sehingga ilmu itu berubah menjadi sebuah amal

Maka itulah sebuah nilai yang mampu ku berikan agar manfaat itu membersamai hidup ku hingga berbuah pahala dalam lingkaran Ridho Ilahi....

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization