Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Nyanyian Hujan

Nyanyian Hujan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Rintik hujan di sudut kota Wonosobo, ciptakan sentuhan hawa dingin yang khas.

Tik tik tik bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tiada terkira
Cobalah tengok daun dan ranting
Pohon dan kebun basah semua …

Kunyanyikan lirik lagu itu dengan lirih, menatap lekat rintik hujan yang nampak indah dari balkon kamarku di rumah budhe. Hujan ini… kembali memutar episode kisah lalu dalam memoarku tentang sebuah rindu.

***

Wonosobo tepian awal 1996 …

“Bangun Ndra, lihat coba siapa yang datang?” suara lembut ibu membangunkanku.

“Hikkkz … katanya kalau minggu libur,” jawabku merengek manja tanpa membuka mata.

“Iin… ayo bangun!”

Aku hafal suara itu, itu ayah … ayah yang membangunkanku, aku tak lupa suaranya dan hanya ayah yang memanggil aku “Iin”.

“Ayaaaaah?” aku berteriak riang dan langsung bangun memeluknya.

“Ndra kangen …” rengekku.

Aku tak tau apa yang ayah bicarakan dengan ibu. Ayah hanya sebentar di rumah, memandikanku, memakaikanku baju baru biru dan mengajakku pergi, tanpa ibu dan dhek ayu. Seperti biasa, kita hanya pergi berdua.

“Iin udah diajari lagu hujan belum sama bu guru?” tanya ayah saat hujan mulai turun di daerah sayangan kertek.

“Yang gimana ya, Yah?” tanyaku manja.

Tik tik tik bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tiada terkira
Cobalah tengok daun dan ranting
Pohon dan kebun basah semua …

Ayah menyanyikan lagu itu, indahhh …  sambil sesekali menoleh ke arahku penuh kemesraan.

“Ooooo, hehehe kayanya udah yah, tapi lupa,” jawabku sambil nyungir.

“Ayo kita nyanyi bareng, ayah ajari.”

Sepanjang perjalanan kami menyanyikan lagu hujan penuh riang.

“Yah, berarti rumah mbah Hadi gak pernah kehujanan ya? kan hujan Cuma jatuh di atas genting!” tanyaku antusias ketika telah menghafal lagu itu.

“Eh eh eh … jelek ya, Yah. Airnya jatuh ke genting tapi yang basah pohon dan kebun. Aaah, lagunya jelek. Ganti pelangi aja yaah, Ndra hafal.”

Aku terus berceloteh, terus meminta perhatian ayah, ayah menanggapi dengan jawaban-jawaban yang asyik, buatku tak mengantuk selama perjalanan.

“coba lihat deh yah, sekolah itu bagus, gak kaya SD di dekat rumah ibu, nanti Ndra SDnya di situ aja ya, Yah,” aku masih belum berhenti berbicara.

“Okey … makanya sekarang yang pinter, kalau dibangunin buat sekolah jangan nangis,” jawab ayah penuh nasihat.

“Ndra maunya yang bangunin ayah,” jawabku merajuk.

“Gak bisa.” Jawab ayah singkat.

Tiba-tiba hening,, obrolan kita terhenti. Aku sedekapkan tangan di depan dada, manyun. Aku tak mampu menerjemah dari kata-kata singkat yang ayah tuturkan tadi.

***

“Yaaah, lampunya bagus ya,” aku kembali berceloteh ketika menikmati perjalanan malam di kota Magelang.

“Iya, itu namanya lampu trotoar, biar jalan tetap terang kalau malam,” jawab ayah menjelaskan.

“Itu bentuknya bunga ya yah?”

“Eh eh kalau itu bentuk apa yah? Kok lucu. Orang pendek tapi perutnya gendut?” tanyaku yang tak mau berhenti berceloteh.

“Itu namanya semar, tokoh wayang.” Jawab ayah.

“Oooooo, kok di tempat kita gak ada ya yah lampu kaya gituan, kalau malam gelap banget. Ndra pengen tinggal di sini aja ya yah, biar bisa lihat lampu bagus terus.”

“Kenapa gak ada yang bentuk Donald bebek ya?”

Aku seolah tak pernah memberi kesempatan jeda waktu untuk kita saling diam. Aku masih kangen ayah meski sudah seharian penuh kita jalan-jalan. Sampai aku tertidur.

“Iin, bangun. Sudah sampai rumah ibu,” ayah membangunkanku.

“Hhmmmmm,” aku menggeliat.

Ayah menuntunku menuju rumah ibu, mengantarku sampai rumah dan berbicara sebentar dengan ibu. Hanya sejenak, kemudian pamit pergi.

Ayah, kenapa gak tidur di sini? Bukankah ini rumah ayah juga? Ndra masih kangen ayah, masih pengen dimandikan dan disuapin ayah, masih pengen main puzzle dan menyusun huruf bersama ayah. Ayah mau ke mana lagi? Ayah belum bacakan kisah nabi Luth dan nabi Nuh yang ayah belikan beberapa bulan lalu, bahkan dongeng jack dan pohon kacang pun belum ayah bacakan.

Kenapa ayah tinggalin Ndra? Ndra gak suka kalau hanya ada ibu, ibu suka gendong anjar, ibu suka gak ada kalau Ndra bangun tidur, ibu selalu melarang Ndra minum susu pakai botol, ibu suka paksa potong poni dan kuku Ndra, ibu suka paksa Ndra ganti baju dan melarang main tiap pulang sekolah, ibu suka paksa Ndra belajar membaca dan menghafal surat-surat pendek, padahal Ndra maunya ayah yang menemani belajar, biar gak dimarahi kalau Ndra gak bisa. Ibu kaya monster di film satria baja hitam.

Jangan pergi yah, ayah belum melihat Ndra yang udah pinter mewarnai dan menghafal surat-surat pendek. Ndra pengen belajar menyanyi lagi, seperti tadi siang. Ayaaaah, apa ayah merasakan getar kerinduan ini yang belum juga hilang??? Ayah jangan pergi … tetaplah di sini, temani aku melengkapi kepingan mozaik cinta ibu yang telah terbagi untuk adek. Ayah jangan pergi!

Orang dewasa memang kadang penuh misteri. Aku tak tau apa yang ayah dan ibu sembunyikan. Oh, bukan tak tau. Tapi tak ingin tau dan berusaha memaklumi keadaan. Karena aku ingin ayah tetap ada di sini, bersamaku dan ibu! Aku tutupi semua yang ku tau, aku diam saat ibu mengintrogasi setiap aku pulang jalan-jalan bersama ayah. Bukan kuingin membohongi ibu, aku juga tak tau kenapa rasanya begitu sulit bercerita padanya tentang sebuah kisah yang tak nampak.

***

Juni 1996 …

Aku lulus TK. Aku masih menunggumu yah, aku menunggu ayah menjemputku untuk tinggal bersama ayah dan sekolah di SD yang dulu ayah tunjukkan padaku. Ayah pasti datangkan? Aku di sini menunggu, menantimu untuk menjemputku.

“Pokoknya Ndra gak mau sekolah di SD sini, Ndra mau sekolah di SD yang pernah ayah tunjukin ke Ndra!” aku ngambek dan tetap duduk saat ibu mengajakku untuk berangkat sekolah di hari pertamaku masuk SD.

“Ndra, tapi ayah gak di sini.”

“Pokoknya gak mau, Ndra mau nunggu ayah!” aku menangis.

“Mengertilah Ndra! Ayah sudah tidak bersama kita, jangan lagi mengharapkannya! Indra sekarang sama ibu, sama adek, sama mbah! Mengertilah, ibu gak mungkin bisa sekolahin kamu ke SD kota! Itu sangat jauh, Sangat repot nantinya! Cobalah mengerti ibu, jangan selalu keras kepala!” ibu memarahiku.

“Tapi …. hikz hikz,” aku masih tetap menangis, teguh pada kekeraskepalaanku.

Ibu tetap menuntunku berangkat sekolah, mengusap air mataku dengan lembut dan berkata “gak papa SD di sini dulu, nanti SMPnya yang di Wonosobo, yang penting indra harus rajin belajar, harus pinter, harus JADI YANG TERBAIK DALAM HAL APAPUN, HARUS JADI NOMOR SATU, JANGAN SAMPAI KALAH OLEH SIAPAPUN. Meski tanpa ayah, tunjukin kalau indra bisa! Jangan takut.”

Sejak saat itu ibu menempaku lebih keras, selalu menuntut aku jadi nomor satu di sekolah dan ibu selalu marah kalau aku tak dapat nilai tertinggi. Ibu tak pernah mengizinkan aku tidur sebelum ibu merasa aku cukup belajar, bahkan aku tak bisa bebas bermain seperti teman-teman. Sering aku merasa menjadi robot mainan ibu, tapi aku tau ibu melakukan itu karena ibu ingin aku jadi yang terbaik, meski tanpa ayah.

***

September 2011

Tak terasa sudah 16 tahun …

Dan aku masih mampu berdiri tegak di sini, tanpa ayah. Karena Allah yang senantiasa tegarkanku kala kekuatan ini melemah dan nyaris tumbang.

Hidup ini indah kunikmati. Meski kadang ku iri melihat dan mendengar kemesraan mereka dengan sang ayah. Meski hati ini tercabik oleh pengharapan yang tak kunjung terijabah.

Hidup ini indah kunikmati. Siapa yang berharap ada jalan berkelok dan terjal dalam alur hidupnya? tapi bukan lantas kalah oleh keadaan! Hadapi dan majulah dalam barisan orang-orang luar biasa, yang tak pernah menyerah akan beratnya tantangan.

Laa takhof wa laa tahzan!!

(Wonosobo, 26 september 2011. mengisi hening di kamar biru)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (17 votes, average: 9.24 out of 5)
Loading...
Sosok biasa yang terus belajar untuk menjadi luar biasa, karena-Nya ...

Lihat Juga

Doa Terbaik untuk Ayahanda Harvino, Co-pilot Pesawat Lion Air dan Ayah bagi 10 Anak Yatim

Figure
Organization