Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Bukan Negara, Bukan Kecantikan, Tapi Prestasi!

Bukan Negara, Bukan Kecantikan, Tapi Prestasi!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (demosainscreative.wordpress.com)

dakwatuna.com – Mentari beranjak tinggi, pukul 5:30 telah datang, kucoba membuka mata, walaupun berat untuk dibuka, pagi ini harus jadi pagi yang penuh semangat bagiku. Ku coba untuk berjalan ke kamar mandi, dan berwudhu, semoga saja kucuran air wudhu bisa menyegarkan hariku, yang terbiasa bangun jam 6:00. Kutunaikan shalat subuh dua rakaat, seketika badan ku yang loyo jadi penuh energi. Aku siap menghadapi hari ini!

***

Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Toirent Elementary School, Taiwan demikian nama sekolahnya. Aku takut bukan main. Ini negeri orang, aku tidak punya teman seorang pun di sini. Aku tidak bisa berbahasa Mandarin, Bahasa Inggrisku pun pas-pasan, aku cuma bisa bilang “yes”, “no”, “sorry”, “what is your name?”, “where do you live?”.

Ku langkahkan kaki ke sekolah besar dan megah tersebut. Halamannya luas dan dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang. Aku cukup terkesan dengan sekolah baru ku ini. Pertama aku masuk sekolah rasanya aku seperti Ratu, semua orang mengerumuni aku, mereka seolah penasaran dengan penampilan ku yang memang tidak sama dengan yang lainnya. Dari wajah, aku sudah jelas jauh berbeda dari mereka, dari segi berpakaian apalagi. Tubuhku yang selalu tertutup baju panjang, kepalaku yang dihiasi jilbab, tampak aneh bagi mereka.

Namun, setelah aku bisa Bahasa Mandarin semua berubah, aku bagaikan budak yang terus dimarahi dan dikucilkan oleh teman-temanku. Sedikit saja aku berbuat salah mereka langsung marah. Seperti kemarin aku ingin membaca buku yang ada di perpustakaan, kebetulan kelas sedang tidak ada kegiatan saat itu. Tapi ternyata di jam pelajaran tidak boleh ke perpustakaan, saat itu aku tidak tahu kalau aku tidak boleh ke situ sekarang, saat ku langkahkan kakiku mereka bertanya, “Kamu mau ke mana?”.
Aku langsung to the point kalau aku mau ke perpustakaan. Mereka langsung marah, kelas itu menjadi seperti pasar penuh dengan keributan. Aku merasa sedih, kenapa cuma karena aku berbeda negara dengan mereka aku sampai di kucilkan dengan mereka. Padahal aku sudah berusaha semampuku untuk menjadi teman baik mereka. Aku selalu mengalah, bahkan boneka kesayanganku ku berikan kepada salah seorang teman yang ku benci. Terkadang mereka berubah dan kembali memperlakukan aku layaknya Ratu, tapi status sebagai Ratu itu hanya bertahan 2-3 hari saja, selanjutnya aku kembali menjadi orang yang dibenci. AKU BENCI SEKOLAH ITU!

***

“Shinta….” Ummi mengguncang-guncang badanku. Memaksaku bangun untuk shalat subuh dan bersegera pergi sekolah. Tapi aku malas sekali…aku terus berusaha untuk tidak pergi sekolah, bermacam alasan ada di pikiranku, mulai badanku pegel, kepalaku yang pusing…

Tapi, semua itu tidak ada pengaruh bagi Ummi ku untuk terus membangunkanku. Aku menangis, dan Ummi jadi terdiam. Perlahan kucurahkan isi hatiku, bahwa aku dikucilkan di sekolah sehingga tidak ingin ke sekolah, setiap kali aku pergi sekolah otak ku dipenuhi oleh pikiran-pikiran buruk, perlakuan apa lagi yang aku terima di sekolah ku hari ini?

 

Aku merengek-rengek agar aku dipindahkan ke sekolah baru. Sekolah yang tidak akan mengucilkanku… sekolah yang penuh dengan teman-teman yang bersahabat, sekolah yang membuat hati ku senang bukannya penuh dengan rasa perih. Ummi memelukku erat, sesekali dibelainya rambutku. “Sabar ya nak, permata akan tetap berkilau walaupun sedang berada dalam lumpur yang kotor”, aku tidak seberapa mengerti apa maksud dari kalimat tersebut, aku hanya pasrah dan sabar saja, seperti anjuran Ummi.

“Kakak yang kuat … minta selalu pertolongan sama Allah… dan selalu berdoa, agar Allah melembutkan hati mereka.” lanjut Ummi membacakan sepenggal kisah Nabi Muhammad SAW yang membalas keburukan dengan kebaikan. Hah… apakah aku bisa menjadi seperti beliau?

***

Aku benar-benar sudah berputus asa, tidak tahu harus bagaimana lagi. Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah belajar.. dan belajar. Dan ternyata tidak ada yang sia-sia,  di kelas akulah yang teraktif saat-saat mata pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika, walau tidak selalu mendapatkan nilai 100. Dan tak disangka, sejak saat itu semuanya berubah. Aku yang dulu dikucilkan sekarang di anggap seperti Ratu, aku yang dulu tidak dihargai kini tidak lagi dipandang sebelah mata. Hari itu hatiku bertanya, “Apa gerangan yang terjadi? kenapa aku sekarang di hargai dan kenapa sekarang aku tidak dikucilkan lagi?”.

Tanpa menunggu lama, segera ku serbu Ummi yang sedang menghidangkan makan siang. Ku ceritakan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Ummi tersenyum, dan menjelaskan, bahwa orang Taiwan memang akan menghargai orang-orang yang berprestasi tidak peduli aku dari negara mana dan seperti apapun penampilanku. Dan apa yang aku alami adalah karena prestasi yang ku miliki. Aku senang sekali….Terima kasih Ummi apa yang Ummi katakan itu benar bahwa, “Permata tetap berkilau walau disirami lumpur yang kotor”, dan permata perlu berusaha agar kilaunya tidak tertutupi oleh lumpur yang kotor.

“Iya kakak… tapi jangan lupa… yang penting itu penilaian dari Allah.. bukan manusia.” tambah Ummi. Aku manggut-manggut, walau aku lagi-lagi tidak terlalu mengerti. Ummi tersenyum melihat ekspresiku, dan segera memelukku erat.

***

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (33 votes, average: 8.94 out of 5)
Loading...

Tentang

Siswi Kuang Fu Elementary School di Taiwan. Dan saat ini tinggal di Taiwan.

Lihat Juga

Mencintai Diri Sendiri

Figure
Organization