Topic
Home / Berita / Opini / K(P)K Mana Merahmu?

K(P)K Mana Merahmu?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Gedung KPK (swatt-online)

dakwatuna.com – Korupsi adalah penyakit manusia Indonesia. Korupsi adalah akar dari semua masalah, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Koruptor adalah teroris sejati dan harus diberantas, karena syirik, sesat dan dosa. Itulah sederetan istilah legendaris untuk menghajar praktik korupsi di Indonesia.

Seperti bandit yang tak pernah jera melanggar hukum, koruptor di negeri ini tak pernah kapok menggerogoti uang negara. Satu demi satu pejabat dipenjarakan, tapi syahwat melahap dana negara tak pernah surut. Kepada KPK yang kita masih bisa berharap kepiawaiannya dalam memberantas korupsi apakah masih tebang pilih, beranikah KPK seperti singa untuk membongkar semua mafia, bersih-bersih mafia, kepada siapa kita berharap menuntut dibersihkannya seluruh mafia di negeri ini?

KPK harus bondo nekad (bonek). Sekali-kali, sangat dibutuhkan gaya pemberantasan korupsi seperti ini oleh KPK, agar mendapat legitimasi kembali dari masyarakat.

Membongkar kasus Centurygate yang jelas-jelas merugikan keuangan negara ditambah lagi dimenangkan nya permohonan arbitrase mantan pengendali Bank Century (Bank Mutiara) Rafat Ali Rizvi di International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Amerika Serikat, dapat bekerja sungguh-sungguh untuk memenangkan perkara gugatan tersebut. Sebab, Pemerintah RI pernah kalah dalam gugatan di ICSID dalam kasus proyek migas Karaha Bodas dan harus membayar 340 juta dollar AS, beberapa tahun lalu. Tidak lama kemudian muncul lagi kasus Nazaruddin dan kasus yang melibatkan lingkaran istana dan partai penguasa, KPK mana merahmu untuk memberantas korupsi ketika dihadapkan dengan partai penguasa. Lihat saja ada warna merah huruf P dalam tulisan KPK.

Penegak hukum kita, fenomena memang banyak orang yang tahu dengan hukum, ahli hukum, dan penegak hukum yang tahu betul dengan hukum, tapi penulis menyakini hanya sedikit saja dari mereka yang memiliki kualitas kenegarawanan (state manship) memiliki vision, memiliki pandangan ke depan dan kesadaran amanah (sense mission) yang akan diminta pertanggungjawabannya dunia dan akhirat. Seharusnya mereka tidak boleh punya mental hanya sebagai “pekerja” yang digaji perbulan, tidak hanya menjalankan peran sebagai pekerja yang tidak berpandangan ke depan, dan tidak pernah mengemban amanah ke mana bangsa ini akan dibawa. Penegakan hukum intinya tidak bisa diserahkan kepada orang-orang biasa tapi kepada orang yang berani dan negarawan bangsa ini.

Baru-baru ini kita dikejutkan lagi, dalam perkara suap Kementerian Transmigrasi, kaitan antar pemain itu terlihat jelas. Menurut pengacaranya, Dharnawati kepada komisi antikorupsi membuka peran sejumlah anggota staf Menteri Muhaimin Iskandar. Merekalah yang mengatur “jatah”. Ada pula tudingan kepada seseorang yang diduga dekat dengan pemimpin Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembagi proyek (Tempo, 12/09).

Sulit memberantas kejahatan model begini karena biasanya dikerjakan berombongan. Atasan bermental korup jelas tak mungkin menindak bawahan yang curang. Anak buah pun mustahil menghentikan tingkah polah atasan. Selain takut disingkirkan, mereka sering ikut bersuka cita merayakan manisnya sistem yang korup.

Kini yang lebih penting untuk diselesaikan adalah bagaimana komitmen untuk memberantas korupsi yang telah membuat kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini terpuruk. Republik ini terpuruk di mata dunia Internasional dan di mata anak negeri sendiri. Siapa pun sepakat bahwa korupsi harus diberantas. Tak seorang pun berharap arah dan komitmen pemberantasan korupsi menjadi buyar karena masing-masing pihak berorientasi pada menang kalah demi kepentingan sendiri dan kelompok.

Pada dasarnya praktik korupsi di negeri yang sedang hamil tua ini telah amat parah, Aturan-aturan perundang-undangan yang dibuat oleh elite politik dan kekuasaan pada level manapun (legislatif, yudikatif, eksekutif) berubah di buat menjadi strategi dan ladang koruptif, praktik korupsi secara genius mendapat legitimasi dari celah aturan perundang-undangan yang dibuat sendiri. Mafia anggaran yang dilakukan oleh penguasa dengan cara minta berapa persen untuk mereka dengan menjamin dan mengawal anggaran daerah, juga telah terjadi di legislatif, sebab DPR punya hak untuk anggaran.

Telah terjadi koalisi, kolusi dan persengkongkolan antara penguasa (actor elit) dengan pengusaha (actor ekonomi) meminjam teori olson yang pada akhir akan menghancurkan dan akan merusak sistem ekonomi bahkan menghancurkan pembangunan politik suatu bangsa. Kita tunggu pahlawan anti korupsi selanjutnya, tugas ini lebih berat dan rumit. Semoga?

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (8 votes, average: 9.38 out of 5)
Loading...

Tentang

Lahir di Buluh Rotan tahun 1986. Pernah menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas pada tahun 2005. Dan saat ini merupakan mahasiswa Master Political Science di Universitas Indonesia. Pekerjaan sebagai Asisten anggota DPD RI dan Peneliti Indonesian Progressive Institute. Aktivitas sebagai Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.

Lihat Juga

Oposisi Israel Ramai-Ramai Desak Benyamin Netanyahu Mundur

Figure
Organization