Polemik Rumah Ibadah GKI Yasmin adalah Soal Manipulasi Data untuk Mendapatkan Izin

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Bogor. Tokoh Muhammadiyah KH Muhyidin Djunaedi mengakui ormas Islam terpecah dalam menyikapi GKI Yasmin. Mantan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah dua periode itu menyatakan, seharusnya Islam menyatukan visi dan misi untuk mengurusi hal-hal yang lebih penting, seperti penanganan kemiskinan.

“Ormas Islam diadu. Yang ketawa dan senyum mereka. Apa tidak ada lagi yang lain yang harus diurusi, seperti orang miskin. Banyak yang jadi korban pemerkosaan, kenapa bukan itu yang diurusi. Kita bukan anti mendirikan rumah ibadah. Yang kita tolak adalah manipulasi. Buktinya sudah ada vonis pengadilan dan terdakwanya sudah dipenjara,” tutur Muhyidin.

Muhyidin kembali menyatakan, sebenarnya pemkot menawarkan solusi untuk menyelesaikan polemik GKI Yasmin. Pemkot, kata dia, sudah menawarkan tiga tempat relokasi rumah ibadah, tapi GKI menolak. Ia menekankan, sebagian ormas Islam tak menolak pendirian rumah ibadah bagi agama lainnya, tetapi jangan manipulasi data untuk mendapatkan izin.

“Seharusnya kalau mau bangun rumah ibadah jangan dengan cara memanipulasi. Kita itu bukan anti terhadap pendirian rumah ibadah. Kita itu mendukung gerakan penegakan hukum, bukan mendukung pemkot tanpa ada landasan. Kawan-kawan GP Anshor Cs, tolonglah janganlah terus memancing pihak-pihak yang lain. Umat Islam sudah sangat toleran. Kalau memang GKI mau bangun sepuluh gereja, silakan saja, tapi dengan syarat harus mengikuti aturan main,” tegas Muhyidin.

Ketua MUI bidang Hubungan Kerjasama dan Internasional itu menambahkan, di wilayah-wilayah minoritas muslim seperti di NTT, Bali dan Papu, mendirikan rumah ibadah juga sangat sulit mendapatkan izin, sehingga harus sabar.

Kisruh GKI Yasmin juga menjadi sorotan khusus dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila, di Ponpes Al Gozaly, kemarin. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bahkan ikut bersuara.

Kepada Radar Bogor (JPNN Grup), Mahfud mengatakan, kisruh GKI Yasmin bukan lagi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat. Tapi di antara masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Kendati demikian, MK tak memiliki kewenangan untuk memberi tanggapan lebih jauh karena bisa berdampak pada terjadinya perkara baru. “Yang pasti ini bukan lagi masalah warga suatu agama dengan pemerintah. Tapi masalahnya ada pelanggaran yang juga dilakukan warga lainnya,” ujarnya.

Mahfud menuturkan, MK tak bisa membeberkan perkara GKI. Karena hakim memiliki kode etik tersendiri untuk tak membahas sebuah perkara, seperti kasus GKI. “Kalau saya bicara lebih lanjut, berarti saya melanggar kode etik hakim. Semua diserahkan kepada masyarakat dan tokoh agama saja,” tuturnya sebelum meninggalkan Al Gozali. (rid/mia/jppn)

Konten ini telah dimodifikasi pada 03/10/11 | 22:32 22:32

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...