Topic
Home / Pemuda / Essay / Refleksi

Refleksi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (politikana.com)

dakwatuna.com – Usianya 35 tahunan, posturnya tinggi besar, perawakan tentara. Tapi sayang, kerjanya bawa map isi surat-surat untuk sumbangan. Ini perkiraan sementara…

Pagi jam 10an.

“Se..lamat pa gii..” terdengar agak ragu-ragu.

Seorang laki-laki dengan memakai dua buah krek yang menopang kedua kakinya, bercelana jeans, baju masuk, tampak lebih rapi, kemejanya kotak-kotak warna biru gelap, merknya…tidak begitu kuperhatikan, tidak penting batinku. Mungkin sama seperti orangnya, tidak penting. Saya mengatakan ini bukan untuk bermaksud tidak sopan, tapi memang saya cukup sering berhadapan orang-orang semacam ini, yang mengaku dari sinilah… sanalah… panti inilah, itulah. Langsung masuk karena memang pintu kantor pas lagi terbuka.

“Iya pak, selamat pagi, silakan.”

“Dari mana… dan ada perlu apa ya..?” ku perhatikan orang ini (tentu saja kulakukan dengan sikap yang biasa).

Curiga! ini kesan pertama. Kesimpulan ini kudapatkan dari analisis sederhana yang aku lakukan waktu dia masuk pertama kali tadi. Dia bukan seorang aktor yang baik, bahkan buruk. Terlihat dari caranya menggunakan krek, belepotan ndak karuan.

“Maaf mas, eeemm saya dari ********…” kemudian ingin menjelaskan maksud kedatangannya, tapi sebelum selesai menyampaikan maksudnya sengaja saya potong, karena saya rasa saya cukup mengerti ke mana arah pembicaraannya.

“Ohh ya tunggu sebentar” dan langsung saja saya masuk, saya panggilkan orang yang tepat menghadapi tamu yang satu ini. Nama orang itu sendiri taulah belum sempat untuk bertanya.

Akhirnya teman saya yang menemui orang itu dan saya sendiri saat itu masih satu ruangan dengan mereka, jadi apa yang mereka bicarakan cukup jelas terdengar dari tempat dimana saya duduk. Pak Trisno, nama orang itu, begitu yang aku dengar saat dia memperkenalkan dirinya kepada teman saya.

“Bla..bla..bla..” pembicaraan selesai, setelah akhirnya teman saya mengeluarkan amplop. Isinya berapa aku tidak tau yang jelas isinya duit.

Nah, setelah mengucapkan terima kasih, waktu dia bangun dari tempat duduk, mungkin kelupaan atau gimana atau mungkin juga saking gembiranya, yes dapet!! Dia terus bangun begitu saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada kakinya, tapi dia orang yang cukup reaktif itu menurutku, belum sempurna dia berdiri sedetik kemudian dia pakai krek nya seperti semula, mungkin tahu kalau di perhatikan.

Kejadian itu memperkuat kecurigaanku dari awal tadi. Dia memang seorang aktor yang buruk, tapi setidaknya tujuannya berhasil, dapat duit.

Mungkin benar kata para pengamat, Indonesia sudah merdeka selama 66 tahun, tapi mentalitas bangsa ini masih tetap terjajah sampai sekarang. Kisah di atas setidaknya menghadirkan titik kecil bukti keterjajahan mental bangsa ini. Terlalu banyak potensi bangsa ini yang terbuang percuma, keindahan dan kekayaan alam, kebijakan pengelolaan yang tidak benar. Mudah sekali mengatakan kebijakan ini tidak benar, lihat saja kondisi rakyat masih jauh dari kata sejahtera, kalau kebijakan benar tidak mungkin itu terjadi.

Potensi pemuda dan sumber daya manusia, hilang! Bagaimana tidak? Sudah keterlaluan setiap pagi, setiap hari, pemuda-pemudi bangsa ini “dipaksa” menyaksikan mendengarkan baik dari TV atau langsung, musik-musik picisan, jingkrak-jingkrak, karuan saja musiknya menimbulkan gelora yang menggerakkan, menyadarkan apa yang sedang dialami bangsa ini dan apa hal kecil yang bisa dilakukan. Sebaliknya justru menenggelamkan dan menegaskan terjadinya “keterjajahan mental”, membangkitkan budaya hedonisme permisifisme (serba boleh). Waktunya habis untuk memikirkan hal-hal yang kecil. Seolah-olah masalah kita hanya cinta-cintaan yang tidak jelas ke mana arahnya – Astaghfirullah…

Ironis memang, hiburan, refreshing yang seharusnya hadir sebagai selingan dari “menu utama”, agar kita tetap semangat, justru menjadi arus utama anutan yang sering disalahartikan dan disalahgunakan.  Bangsa ini sudah “over dosis” dalam mengkonsumsi hiburan, kalau overdosis obat jelas mati akibatnya, tapi yang ini beda yang mati adalah pikiran kita, mentalitas kita. Duh pemuda Indonesia ke mana hendak kau tujukan langkahmu?

Sebuah kutipan dari kalimat Bung Karno

“Beri aku satu pemuda akan kugoncang Indonesia, beri aku sepuluh pemuda akan kugoncang dunia”

Begitulah hebatnya pemuda, dia adalah penggerak dalam tubuh sebuah bangsa, Indonesia.  “Antum ar ruhul jadid fi jasadil ummah” (kalian adalah ruh baru dalam tubuh umat) (Hasan Al Banna).

Pesan itu jelas ditujukan untuk siapa.., yah itu untuk kita “pemuda Indonesia”. Semoga kita segera berbenah.

Wallau’alam

Semarang

salleum sami

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (7 votes, average: 9.43 out of 5)
Loading...

Tentang

Senang rasanya punya banyak temen, tambah kenalan...

dan semua karena Alloh yang luas cinta-Nya tak terhingga...

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization