Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Al-Quran / Tafsir Ayat / Menanti Peran “Memakmurkan” Kita

Menanti Peran “Memakmurkan” Kita

Ilustrasi (blogspot.com/tiffinbiru)

dakwatuna.com – Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya. Maka mohonlah ampunan dan bertaubatlah kepadaNya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Dekat dan Memenuhi segala permintaan”. (Hud: 61)

Ayat ini oleh Imam Al-Alusi dijadikan dalil akan kewajiban memakmurkan bumi sesuai dengan kemampuan dan perang setiap orang yang beriman. Karena memang Allah swt telah menjadikan bumi ini dapat dan layak untuk dimakmurkan dan dijadikan manusia yang menghuninya juga mampu untuk memakmurkannya. Karenanya, menurut Ibnu Asyur, maksud dari kata ‘isti’mar’ yang sinonim dengan I’mar’ adalah aktifitas meramaikan bumi dengan penataan bangunan dan pelestarian lingkungan dengan menanam pohon dan bercocok tanam sehingga semakin panjang usia kehidupan bumi ini dengan seluruh penghuninya.

Pemahaman yang senada dikemukakan oleh Imam Zamakhsyari dalam kitab tafsir Al-Kasyaf.  Secara aplikatif, beliau mengabadikan kisah tentang raja-raja Parsi. Dikisahkan bahwa raja-raja yang memerintah Parsi sepanjang pemerintahan mereka banyak membuat sungai dan menanam pohon sehingga mereka diberi kesempatan hidup lama oleh Allah swt seperti yang ditunjukkan oleh akar kata Isti’mar atau I’mar yaitu Al-‘Umr yang berarti usia. Ketika salah seorang nabi bertanya kepada Allah tentang fenomena tersebut: “Kenapa Engkau berbuat demikian kepada mereka? (dengan memperpanjang usia mereka)”. Allah menjawab: “Mereka telah menghidupkan bumiKu (dengan memakmurkannya) sehingga hamba-hambaKu dapat hidup dengan baik di atasnya”.

Ternyata usaha memakmurkan bumi dengan segala makna yang terkandung di dalamnya merupakan sarana untuk memperpanjang usia kehidupan manusia seiring dengan diperpanjangnya usia bumi dengan aktifitas imarahnya yang berkesinambungan. Namun memang pada realitasnya, usaha memelihara, mempertahankan, meningkatkan kemakmuran bumi dengan segala aktifitasnya seringkali diabaikan, bahkan cenderung tidak mendapat perhatian yang serius. Akhirnya banyak harta kekayaan milik bangsa ini yang dihamburkan dengan semena-mena dan kita selaku pemilik bersama bumi ini secara kolektif tidak pernah menghiraukannya, mempertanyakan, meminta pertanggung jawaban, maupun menghalangi perilaku kontra imarah tersebut. Sehingga semua harus menanggung akibat dari perilaku segelintir orang terhadap bumi ini.

Memang secara konseptual, ayat di atas berbicara tentang peran ketiga manusia yaitu peran Imarah dalam arti mengelola dan memakmurkan bumi untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama yang tidak kalah pentingnya dengan dua peran inti lainnya. Karenanya, peran ketiga ini sangat terikat dan melekat secara sinergis dengan dua peran lainnya; peran ubudiyah seperti yang tersirat di surat Adz-Dzariyat: 56, serta peran khilafah yang diantaranya ditunjukkan oleh surat Al-Baqarah: 30. Bahkan peran Imarah merupakan bentuk nyata dari aplikasi peran Ubudiyah dan Khilafah yang tidak dapat dipisahkan. Justru hasil dan nilai dari amaliah ibadah dan khilafah ada pada aktifitas memakmurkan bumi Allah swt.

Ayat lain yang berbicara tentang Imarah adalah surat Ar-Rum: 9: “Dan tidaklah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul). Mereka itu lebih kuat dan telah mengolah bumi serta memakmurkannya melebihi dari apa yang telah mereka makmurkan”.  Allah swt menggambarkan melalui ayat ini tentang kaum terdahulu sebelum umat nabi Muhammad saw yang dipanjangkan usianya oleh Allah dengan kekuatan fisik dan banyaknya aktifitas Imarah yang mereka lakukan. Tidak ada yang menandingi kekuatan fisik dan aktifitas imarah mereka. Namun sangat disayangkan mereka kemudian dibinasakan oleh Allah karena mendustakan karunia nikmat Allah tersebut dan mendustakan para Rasul. Demikian aktifitas imarah yang mereka upayakan turut menambah usia dan kemakmuran mereka, jika mereka tidak mendustakan Allah dan para RasulNya.

Dan ternyata secara aplikatif, perhatian Rasulullah terhadap upaya memelihara kesinambungan kehidupan dengan program ketahanan pangannya sungguh sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan perintah dan anjurannya untuk bercocok tanam memenuhi hajat manusia. Bahkan diantara amal yang masih dianjurkan sebelum hari kiamat adalah menanam biji tumbuh-tumbuhan. Dan seseorang dapat melindungi dirinya dari sentuhan api neraka hanya dengan sebiji kurma sekalipun: “Cegahlah dirimu dari neraka, meskipun dengan dengan sebiji kurma”. (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan pahala dan kebaikan siapapun yang menjaga kesinambungan pangan dengan aktifitas bercocok tanam misalnya:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

Tidaklah seorang muslim itu menanam tanaman kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, atau orang lain atau hewan sekalipun melainkan akan menjadi pahala sedekah untuknya”.

Bahkan dalam riwayat Muslim dari sahabat Jabir bin Abdillah ditambahkan sekiranya tanaman itu dicuri oleh seseorang tetap akan menjadi pahala sedekah untuk orang yang menanamnya. Sahabat Mu’awiyah ra turut mencontohkan aktifitas imarah ini dengan banyak menanam pohon di akhir hayatnya. Ketika ditanya alasan ia berbuat demikian, ia melantunkan bait syair:

لَيْسَ الفَتَى بِفتَي لاَيسْتَضَاءُ بِه وَلاَ تَكُونُ لَهُ في الأَرْضِ آثَارُ

“Bukanlah seorang pemuda itu yang tidak memiliki sesuatu yang dapat menaunginya kelak. Bukan pula seseorang yang tidak memiliki peninggalan di bumi ini (sepeninggalnya)”.

Demikian sikap moral yang ditunjukkan oleh generasi terdahulu. Mereka berlomba-lomba menanam dan memberi peninggalan yang terbaik untuk kemaslahatan generasi berikutnya. Semboyan mereka yang seharusnya diteladani oleh kita adalah: “orang-orang sebelum kita telah banyak menanam untuk kita makan. Maka kita juga menanam agar dapat dimakan oleh orang-orang setelah kita.

قد غرس من قبلنا فأكلنا ونغرس نحن ليأكل من بعدنا

Sungguh sangat kontradiktif dengan realitas kita sekarang yang justru berlomba-lomba untuk mengeruk hasil bumi untuk memperkaya diri sendiri dengan mengabaikan sisi kelestarian, ketahanan dan kemakmuran bumi. Akibatnya, banyak bencana alam yang terjadi yang justru akan mengurangi dan memperpendek usia kehidupan manusia karena pendeknya usia bumi yang dihuninya akibat kerusakan yang diperbuat oleh tangan-tangan manusia sendiri yang tidak bertanggung jawab.

Maka benteng yang kokoh untuk berjalannya aktifitas imarah dalam segala bentuknya adalah amanah. Agar program imarah untuk kemaslahatan bersama dapat berjalan dengan baik, setiap orang dituntut untuk memahami prinsip amanah berupa sesuatu yang harus dipelihara dan dipertahankan keberadaannya, serta sedapat mungkin dikembangkan dan diberdayakan untuk masa depan kehidupan yang lebih baik. Dalam konteks ini, surat An-Nisa’: 58 merupakan panduan yang jelas karena secara redaksional menggunakan redaksi yang menunjukkan penekanan dan penegasan: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian semua agar menyampaikan amanah kepada ahlinya (yang berhak menerimanya)”. Tidak dengan redaksi: “Sesungguhnya Aku” atau perintah langsung misalnya: “Sampaikanlah amanah kepada pemiliknya!” dan sebagainya. Dengan menampilkan lafadz “Allah” dalam ayat tersebut yang tidak digantikan dengan dhamir jelas terkandung makna ketegasan dan penekanan dalam perintahNya.

Syekh Shalih Al-‘Utsaimin ketika menafsirkan ayat ini membagikan jenis amanah yang harus ditunaikan kepada dua bentuk, yaitu amanah yang terkait dengan hak-hak Allah swt dan amanah yang terkait dengan hak-hak manusia. Justru yang seringkali terabaikan adalah jenis amanah kedua, yaitu amanah yang berhubungan dengan hak-hak anak Adam, terutama dalam konteks ‘Al-Amanah Al-Maliyah’ termasuk di dalamnya memelihara kelestarian dan ketahanan bumi sebagai harta yang tidak ternilai harganya.

Sudah saatnya umat Islam, terutama insan-insan pesantren lebih menonjolkan peran Imarah yang akan dirasakan hasilnya oleh seluruh manusia, bahkan makhluk Allah seluruhnya. Peran ubudiyah yang terus dijalankan seyogyanya akan memperkuat peran khilafah yang selanjutnya akan meningkatkan kontribusi dan peran Imarah dalam bentuk yang ril untuk kemaslahatan bersama. Bukankah orang yang paling baik adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang banyak? Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada sesama manusia”. (H.R. Bukhari)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (16 votes, average: 8.19 out of 5)
Loading...
Pria kelahiran Cirebon ini berlatar belakang pendidikan dari Pondok Modern Gontor, Jawa Timur. Setelah itu melanjutkan pendidikan ke S1 di Islamic University, Madinah KSA, S2 di Universitas Kebangsaan Malaysia, dan S3 di universitas yang sama. Saat ini bekerja sebagai dosen di Pasca Sarjana STAIN Cirebon, UIJ, SEBI, dan Ma'had Nuaimy. Aktif di Sie Rohani Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) UKM Malaysia. Amanah yang diemban saat ini adalah sebagai Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Muslim Indonesia (FORKOMMI) di Malaysia, dan sebagai ketua Ikatan Da'i Indonesia (IKADI) DKI Jakarta. Produktif dalam menghasilkan beberapa karya, di antaranya Al Qur'an Edisi Do'a, buku Studi Tafsir Al-Munir Karya Imam Nawawi Banten, dan buku Puncak Keberkatan Rizki Tersekat (Edisi Malaysia). Selain itu juga aktif sebagai kontributor tetap pada Kolom Tafsir di Majalah Al-Iman (bil Ghoib), dan sebagai kontributor tetap pada rubrik Tarbiyah di Majalah Tatsqif. Moto hidupnya adalah "Terus belajar, bekerja, dan berjuang untuk ummat".

Lihat Juga

41 Tahun Hari Bumi Palestina

Figure
Organization