Topic
Home / Berita / Opini / Manusia Rabbani Pasca Ramadhan

Manusia Rabbani Pasca Ramadhan

Ilustrasi (wordpress.com/eeqbalz)

dakwatuna.com – Malam-malam kita tak lagi seperti dulu, yang syahdu di bawah lantunan kalam ilahi dari para imam-imam tarawih. Penghujung malam kita pun tak seperti dulu lagi, yang larut dalam tahajjud panjang, lalu merengguh keberkahan sahur, sembari dzikir dan istighfar di sela-sela sisa waktunya.

Saat Subuh tiba, shaf-shaf di masjid terlihat lebih padat dibandingkan waktu subuh di luar Ramadan. Selepas shalat, sebagian makmum lebih memilih duduk berdzikir menanti syuruq, mereka berlomba-lomba meraup pahala haji dan umrah, yang disempurnakan dengan mengerjakan shalat sunah dua rakaat.

Shalat kita pun tak seperti dulu, yang lebih semangat memburu lima waktu jamaah di masjid. Mengejar untuk mengkhatamkan Al Quran berulang kali, berlama-lama di masjid untuk satu, dua atau bahkan tiga juz Al Quran setiap hari.

Sore kita, tak lagi disibukkan dengan dzikir petang dan doa. Dulu kita larut dalam detik mustajab di menjelang masuknya waktu Maghrib. Menikmati dua ganjaran kebahagiaan; bahagia karena berbuka, dan bahagia karena puasa kita menjadi wasilah bermuwajahah dengan Allah Swt. Tapi itu dulu, lantas bagaimana dengan hari ini, pasca Ramadan? Bukankah Rabb yang menjanjikan ganjaran berlipat selama Ramadan, Ia juga Tuhan yang sama ketika di luar Ramadan?

Ada kata-kata menarik yang menyadarkan kita akan hal ini, “Kun rabbâniyyan, wa lâ takun ramadhâniyyan” Jangan menjadi manusia Ramadan, yang kuat ibadahnya karena berada di bulan Ramadan saja, karena setelah bulan itu berlalu, ia tak akan mengalami perubahan hidup untuk menjadi lebih bertaqwa. Namun jadilah manusia pasca Ramadan yang memiliki nilai kepribadian diri, penghambaan kepada Allah yang tak kenal henti, menjadi manusia bertaqwa tanpa batas, sesuai target yang diharapkan dari penggemblengan yang dilakukan selama sebulan. Dengan syaratnya, ia harus menjadi hamba Allah yang bobot ibadahnya terus meningkat, sekali pun ia telah berada di luar bulan Ramadan.

Para sahabat menyiapkan diri mereka selama enam bulan untuk menyambut kehadiran tamu agung bernama Ramadan. Pastinya mereka mati-matian untuk beribadah full time selama sebulan penuh itu. Layaknya bertemu dengan seorang yang dirindu, kita ingin berlama-lama bersama dengannya, menjamu, memberinya pelayanan sebaik mungkin. Dan tentunya kita akan merasakan kesedihan yang teramat dalam ketika harus berpisah dengannya.

Hal yang sama dirasakan oleh sahabat nabi di penghujung Ramadan, mereka tak gembira dengan baju baru, kue-kue dan makanan ala lebaran seperti umumnya kita. Tapi mereka justru bersedih, karena tamu agung itu sudah harus pergi meninggalkan mereka.

Mâ ba’da Ramadhân, inilah masa-masa yang paling mencemaskan bagi para sahabat nabi. Mereka takut akan amalan yang tertolak; puasa, qiyam yang panjang, tilawah yang berulang kali khatam, infak harta, pengorbanan jiwa raga dari satu medan perang ke perang lainnya, serta segudang amalan ibadah lainnya yang mereka lakukan selama Ramadan, semuanya itu telah menjadi sebuah kekhawatiran terbesar bagi diri mereka. Mereka lebih banyak berkontemplasi, dan bermuhasabah dalam sebuah tanda tanya, “Apakah amal ibadahku di bulan Ramadan kemarin diterima oleh Allah Swt.?”

Para sahabat merawat Ramadan dalam hati mereka dengan rasa khauf dan raja’. Sekuat tenaga berusaha istiqamah dalam amalan ibadah mereka. Lengah sedikit, akan memberikan indikasi amal ibadah mereka selama Ramadan telah sia-sia. Karena di antara ciri dari diterimanya amal ibadah seseorang dalam bulan Ramadan adalah; keringanannya dalam mengerjakan kebaikan dan ibadah, serta jauhnya mereka dari melakukan kemaksiatan kepada Allah Swt.

Enam bulan pasca Ramadan mereka masih bersedih memikirkan kepergian Ramadan. Mereka memohon dengan sungguh-sungguh agar amalan ibadah selama sebulan penuh itu diterima oleh Allah Swt. Sedangkan di paruh tahun sisanya, mereka kembali bergembira, bersiap diri menyambut kehadiran Ramadan, sang tamu agung yang selalu mereka rindu.

Begitulah siklus hidup para orang shalih terdahulu, renggang waktu dari Ramadan ke Ramadan berikutnya diisi dengan taqarrub ilallâh. Seakan menutup semua celah untuk futur dalam beribadah. Rindu mereka adalah rindu keimanan, pun dengan kesedihan mereka, kesedihan karena iman. Sehingga hari-hari berjalan penuh kekhusyukan, hati mereka tenang, diisi dengan mengingat Allah dalam kondisi apa pun. Karena Allah telah memberikan jaminan, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’du:28).

Mereka memiliki kepribadian yang layak untuk diteladani. Lalu bagaimana dengan kita, sudahkah ibadah kita melebihi mereka sehingga lebih merasa hebat dan yakin kalau amalan Ramadan kita diterima? Ittaqullâh yâ ahibbâ’i, ibadah kita pastilah masih jauh dari kesungguhan para sahabat itu. Sehingga rasa khauf dan raja’ yang kita miliki seharusnya lebih besar ketimbang mereka.

Walhasil, shalih pasca Ramadan bukanlah hal fiktif. Kita baru saja meninggalkan terminal ruhy, kita sudah men-charger diri kembali. Battery full yang kita miliki, ditargetkan bertahan untuk sebelas bulan berikutnya.

Ramadan memang sudah pergi, karena datang dan pergi sudah merupakan bagian dari sunnatullah dalam kehidupan ini. Memang dalam sebelas bulan ke depan, tak ada puasa wajib seperti di bulan Ramadan lagi, tapi sekarang kita masih memiliki amalan puasa yang lain, puasa sunnah 6 hari Syawal misalnya, yang  keutamaannya telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits, “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).

Masih ada puasa lainnya, seperti puasa sunnah Senin dan Kamis, puasa ‘Arafah, ‘Asyura, puasa Daud, dsb. Qiyamul lail juga masih tetap bisa kita lakukan. Shalat sunnah ini menempati posisi kedua setelah shalat fardhu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw., “Shalat yang paling utama sesudah shalat wajib adalah qiyamul lail.” (Muttafaqun ‘alaih). Beliau juga menyebutnya sebagai da’bu shâlihin, atau tradisi dari orang-orang shalih.

Amal ibadah yang menjadi rutinitas kita selama sebulan Ramadan diharapkan memang sudah menjadi sebuah kebiasaan. Sehingga ketika Ramadan telah berakhir, kita tak mengalami kesulitan untuk memulainya kembali. Mumpung masih hangat aura Ramadan kita, mari bersama-sama kita hidupkan kembali rutinitas baik kita itu. Menjadikan amalan-amalannya sebagai sebuah kebiasaan, sekali pun sedikit, yang penting kita memiliki amalan andalan dan rutin menjalankannya. Karena barang siapa yang memiliki amalan rutin yang baik, selamanya ia tak akan mengalami kerugian, sekalipun ia terkena uzur, pahala tetap mengalir untuknya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dituliskan, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, “Apabila seseorang menderita sakit atau sedang bepergian maka dicatat pahala untuknya amal yang biasa ia kerjakan di saat ia sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari).

Semoga kita tidak menjadi manusia Ramadan, yang optimal ibadahnya selama sebulan saja, dan free di sebelas bulan berikutnya. Tapi kita menjadi manusia rabbâniy, yang selalu mengingat Allah kapan dan dalam bagaimana pun kondisi kita, seperti karakter ulul albâb yang termaktub dalam Al Quran, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (QS. Al Imran: 191). Wallâhu al Musta’ân.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (36 votes, average: 9.39 out of 5)
Loading...
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Peneliti di Pusat Studi Islam Wasathiyah dan Aktivis Palestina di LSM Asia-Pacific Community For Palestine

Lihat Juga

Sambut Ramadhan dengan Belajar Quran Bersama BisaQuran

Figure
Organization