Dua Perkara: Niat Dan Persatuan

dakwatuna.com – Ada dua perkara yang harus selalu ditegakkan para dai dalam berdakwah: meluruskan niat dan merapatkan barisan.

Niat adalah hal yang sangat mendasar dalam ajaran Islam. Seluruh amal perbuatan kita tanpa niat tidak akan diterima Allah swt. Bahkan, niatlah yang menjadi pembeda mana amal yang bersifat ibadah dan mana yang bukan. Mandi pagi bisa bernilai ibadah, bisa juga hanya rutinitas sehari-hari, itu tergantung apa yang kita niatkan saat melakukannya.

Karena itu, meluruskan niat merupakan perkara yang mendasar. Apakah niat kita dalam berdakwah? Sudahkan Lillahi Ta’ala. Ikhlas hanya mengharapkan mardhatillah, keridhaan Allah. Bukan karena mengincar jabatan, kekayaan, popularitas, atau mengejar wanita yang ingin diperistri, seperti yang diilustrasikan Rasulullah saw. dalam hadits tentang niat.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan. (Bukhari)

Jika niat kita ikhlas Lillahi Ta’ala, maka itulah perjanjian kita di hadapan Allah swt. Lantas, sudahkan kita teguh dengan al-ahd (perjanjian) itu? Allah swt. mengabarkan kepada kita tentang para dai sebelum kita. Mereka memiliki keteguhan dalam memegang janjinya. “Diantara orang-orang mukmin itu ada golongan yang membenarkan janjinya kepada Allah, sebagian diantaranya telah menunaikan janjinya (dengan menemui kesyahidan) dan sebagian lagi masih menanti, tanpa mengubah janji itu sedikitpun”. (Al Ahzab: 23)

Karena itu, tak salah jika kita selalu mengulang-ulang ikrar keikhlasan janji kita di setiap kali menunaikan shalat, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah Pencipta alam semesta.” (Al-An’am: 162). Secara sadar kita meluruskan niat kita dalam sehari setidaknya lima kali.

Benarkah seluruh kehidupan kita akankah kita korbankan untuk kehidupan tak ada batasnya di akhirat nanti? Atau, hanya untuk mengejar kedudukan di dunia? Orang yang cerdas pasti tidak mau. Sebab, kita tahu nilai dunia itu tidak seberapa. Kata Nabi saw.,

لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia ini ditimbang, maka nilainya di sisi Allah sama seperti salah satu sayap nyamuk. Allah tidak akan memberikan di dunia ini, walaupun seteguk air saja, untuk orang-orang yang ingkar.” (H.R. Tirmidzi, no. 2242, shahih gharib)

Selain itu, dari ayat 23 surat Al-Ahzab, kita juga mengambil pelajaran bahwa al-istimroriyah, kontinuitas di jalan dakwah, adalah termasuk dalam salah satu perjanjian kita di hadapan Allah. Dan memang begitulah yang dicontohkan oleh para dai generasi awal Islam yang dibimbing oleh Rasulullah saw. Mereka tidak kenal lelah dan putus asa. Sahabat-sahabat Nabi saw. menjalani setiap fase dakwah berikut cobaan demi cobaan berat yang harus mereka lalui.

Kepada mereka, Rasulullah saw. menceritakan pengalaman dai generasi sebelumnya. Mereka ada yang digergaji, tetapi mereka tetap sabar. Itu bukan untuk menganggap kecil cobaan yang dihadapi oleh para sahabat. Fitnah yang mereka terima bukan hanya berupa intimidasi kata-kata, tetapi sudah berlumuran darah.

Apa yang membuat para sahabat bisa demikian teguh di medan dakwah? Husnu tsiqah dan bersandar terus kepada Allah Ta’ala lah yang memberikan ketenangan kepada mereka semua untuk terus langkah. Dengan begitu mereka bisa tenang dan tegar, meski zaman ini cepat sekali berubah tanpa terasa. Seorang tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi) berkata, “Ayahku bercerita kepadaku: ‘Aku melihat Romawi menjatuhkan Persia, kemudian aku melihat pula Persia menjatuhkan Romawi. Dan, akhirnya aku melihat Islam meruntuhkan kedua-duanya hanya dalam waktu 15 tahun saja”. Tumbangnya Persia dan Romawi oleh kekuatan Islam hanya memakan waktu tak lebih dari 15 tahun. Begitulah capaian dakwah yang diasung oleh dai-dai yang ikhlas, teguh dalam memegang perjanjiannya dengan Allah, dan beramal secara kontinu tiada henti. Itulah buah dari kekuatan iman.

Namun bila hasil dakwah yang ditargetkan tidak seperti yang diharapkan, seorang dai masih bisa berharap mudah-mudahan kecapaian dan kelelahannya dalam berdakwah semuanya dihitung di sisi Allah Ta’ala, sekurang-kurangnya sebagai kaffaratun li adz dzunub (menghapus dosa). Begitulah yang disabdakan Rasulullah saw. dalam hadits nomor 5210 yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kekhawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya.”

Bukankah penghapusan dosa itu sudah lebih bagus daripada sekadar mendapat jabatan dunia. Khairun min ad-dunya wa maa fiiha (lebih baik dari dunia dan seisinya). Setiap hari berapa dosa yang kita pikul? Jika Allah mengampuninya, itu lebih baik dari segala-galanya.

*****

Perkara yang kedua yang harus selalu dilakukan oleh para dai adalah merapatkan barisan. Hal ini harus menjadi visi para dai bahwa mereka punya peran sebagai perekat umat. Karena itu, setiap dai harus punya spirit “kita bergabung dan bertemu menjadi kokoh dalam satu barisan tanpa merasa diri paling benar (‘ala ghairil ashwab), itu jauh lebih baik daripada kita terpisah-pisah dalam posisi merasa diri paling benar (ashwab)”. Begitulah perintah Allah swt. kepada kita.

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran: 103)

Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaf: 4)

Suatu ketika beberapa orang sahabat datang kepada Rasulullah Saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah. “Kami semua makan, ya Rasulullah, tapi tidak pernah merasa kenyang,” kata sahabat. Coba perhatikan, bagaimana Rasulullah mengajarkan kepada kita suatu adab dan akhlak yang baik. Apa jawab Rasulullah atas pertanyaan sahabat tadi?

“Boleh jadi kamu makan sendiri-sendiri?” Beliau bertanya lebih lanjut. Maka, sahabat kemudian menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah bersabda: “Kullu (kalian diharuskan untuk makan) mujtami’in (bersama-sama) fa inna al barakah ma’al jama’ah (karena keberkahan selalu beserta mereka yang berjamaah).” Istilah al-jamaah yang dimaksudn adalah jama’atul muslimin. Untuk makan saja Rasulullah saw. menyuruh kita untuk berjama’ah, apalagi untuk berdakwah. Karena itu, para dai harus berperan sebagai penggalang persatuan umat. Apapun kekurangan yang terdapat dalam tubuh umat, itulah kondisi faktual yang harus kita perbaiki dalam kebersamaan. Para dai harus mengajak semua komponen umat untuk bersatu memperbaiki segenap kekurangan yang ada di tubuh umat ini.

Memang sulit menyatukan umat dalam satu barisan yang kokoh. Tapi, apa pun yang bisa kita capai dan itu belum termasuk kategori menggembirakan hasilnya, itu bukan sebuah kegagalan. Kita semua menyadari dalam kamus seorang dai tidak ada ada entri kata “kekalahan”. Para dai selalu “menang”, bila tidak di dunia, maka kemenangan di akhirat. Orang boleh menilai agenda penyatuan umat yang kita dakwahkan tidak membuahkan hasil yang signifikan, tetapi kita melihat kenyataan itu sebagai perkara yang paling baik buat kita semua saat ini.

Bisa jadi itu juga cara Allah swt. menguji keteguhan kita dalam berdakwah. Tujuannya adalah untuk memberi motivasi dan dorongan kita agar semakin gigih dalam berdakwah. Sa’id Hawwa dalam bukunya “Al Madkhal” bercerita tentang berbagai ujian. Ia mengatakan, ”Man lam yakun lahu bidayah muhriqah laisa lahu nihayah musyriqah.” Barangsiapa tidak memulai dengan muhriqah (sesuatu yang membuat terbakar, penuh semangat dan kesusahan), maka tidak akan mendapat akhir yang musyriqah (cemerlang).”

Semoga kita bisa menegakkan dua perkara ini dalam keseharian aktivitas dakwah kita. Amin.

Konten ini telah dimodifikasi pada 22/08/10 | 20:10 20:10

Mochamad Bugi lahir di Jakarta, 15 Mei 1970. Setelah lulus dari SMA Negeri 8 Jakarta, ia pernah mengecap pendidikan di Jurusan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta, di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirosah Islamiyah Al-Hikmah. Sempat belajar bahasa Arab selama musim panas di Universitas Ummul Qura', Mekkah, Arab Saudi. Bapak empat orang anak ini pernah menjadi redaktur Majalah Wanita UMMI sebelum menjadi jabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Politik dan Dakwah SAKSI. Ia juga ikut membidani penerbitan Tabloid Depok Post, Pasarmuslim Free Magazine, Buletin Nida'ul Anwar, dan Majalah Profetik. Jauh sebelumnya ketika masih duduk di bangku SMA, ia menjadi redaktur Buletin Al-Ikhwan. Bugi, yang ikut membidani lahirnya grup pecinta alam Gibraltar Outbound Adventure ini, ikut mengkonsep pendirian Majelis Pesantren dan Ma'had Dakwah Indonesia (MAPADI) dan tercatat sebagai salah seorang pengurus. Ia juga Sekretaris Yayasan Rumah Tafsir Al-Husna, yayasan yang dipimpin oleh Ustadz Amir Faishol Fath.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...