Topic
Home / Berita / Opini / Urgensi Umat Menerima Kunjungan Presiden Barack Obama

Urgensi Umat Menerima Kunjungan Presiden Barack Obama

Obama - SBY

dakwatuna.com – Tiada disangkal lagi, Barack Obama, Presiden Amerika Serikat yang ke 44 merupakan salah satu figur utama dunia saat ini. Tentu bukan saja sebagai presiden negara superpower, tapi lebih dari itu adalah figur yang telah menjadi catatan sejarah dunia  tersendiri. Sosok yang relatif baru dalam kancah politik, dari community organizer, state senator, terpilih menjadi senator AS, dan tiba-tiba mampu mengalahkan calon-calon presiden lainnya yang sangat senior, termasuk John McCain dan sebelumnya sesama calon Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Tapi barangkali yang paling istimewa dari semua itu adalah sosok kepribadian Barack Obama itu sendiri, yang bagi saya, sangat unik. Anak seorang ayah non Amerika, warga Kenya dan ibu keturunan Irish, menjadikan Obama sebagai individu yang unik. Individu yang bisa bangga mewakili manusia tanpa batas ras. Kalau pun kenyataannya bahwa dia selalu dibanggakan oleh warga kulit hitam sebagai African American, dan dia sendiri tidak menolak, semua itu hanya karena motivasi pribadinya yang ingin berdiri pada pihak yang ‘dhu’afa’. Warga kulit hitam di AS masih dikategorikan warga yang ‘marginalized’.

Maka terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden AS merupakan simbol ‘empowerment’ untuk mereka yang selama ini dipersepsikan sebagai elemen masyarakat yang lemah, khususnya warga kulit hitam AS. Bahkan terpilihnya beliau ditafsirkan oleh sebagian kalangan sebagai ‘realisasi mimpi’ Dr. Martin Luther, pejuang hak-hak kesamaan sipil AS.

Bagi saya sendiri, keunikan yang dimiliki oleh Barack Obama tidak sama sekali terletak di bentuk warna kulit dan posisinya sebagai presiden negara terkuat dunia, Amerika Serikat. Melainkan pada berbagai pemikiran dan sikap politiknya dalam kampanye, dan bahkan minimal dapat dikatakan, dalam berbagai upaya kebijakan yang ingin diambil setelah menduduki ‘Gedung Putih’. Sayangnya memang berbagai kebijakan itu tidak semudah yang dibayangkan oleh khalayak ramai. Sebuah kebijakan perlu melalui ‘pintu-pintu ketat politis’, termasuk Kongres dan Senate, sebelum disahkan oleh presiden untuk menjadi ‘policy’.

Di antara berbagai pemikiran dan sikap Barack Obama yang unik, antara lain sebagai berikut:

Pertama, salah seorang yang menentang sejak awal penggelindingan perang Irak oleh presiden G.W. Bush ketika itu adalah State Senator dari Illinois , Barack Obama. Sebagai ahli hukum internasional dari Harvard University, Barack Obama sadar betul bahwa apa yang dilakukan oleh Presiden Amerika saat itu adalah illegal dan bertentangan dengan norma-norma kesepakatan masyarakat internasional. Oleh karenanya, dia menentang dan bahkan menjadi salah satu tema utama kampanyenya.

Yang paling penting adalah kenyataan bahwa Barack Obama telah menetapkan penarikan tentara AS dari Irak dalam beberapa bulan ke depan, dengan melihat kepada situasi di lapangan. Bagi saya, ini juga merupakan bagian dari sikap tanggung jawab yang tidak ingin meninggalkan Irak begitu saja. Jika ini yang dilakukan maka sudah pasti Amerika akan dicatat oleh sejarah sebagai ‘penjajah’ yang tidak bertanggung jawab.

Hasil sikap politik Barack Obama terhadap Irak ini jauh lebih baik ketimbang hasil sikap politik pendahulunya dari Republikan. Kekerasan, pembunuhan, dll., masih saja terjadi namun jauh menurun. Beberapa hari yang lalu penduduk Irak baru saja melangsungkan pemilu yang walau diwarnai beberapa insiden, namun secara umum sangat sukses.

Kedua, sehari setelah pelantikannya sebagai presiden, Barack Obama langsung menandatangani sebuah ‘executive order’ untuk menutup fasilitas penjara di Guantanamo. Guantanamo telah menjadi saksi sejarah hitam dalam rangkaian sejarah negara AS dengan berbagai pelanggaran HAM, termasuk torture, yang kenyataannya AS seringkali dilihat sebagai pejuang. Oleh karenanya, dengan tanpa pertimbangan apapun, Barack Obama segera memerintahkan untuk menutup dan dengan waktu yang jelas.

Walaupun hingga kini perintah penutupan tersebut belum sepenuhnya terealisir karena berbagai kendala teknis, seperti penempatan ratusan penduduk Guantanamo yang masih menunggu pengadilan dan juga tentunya adanya upaya-upaya dari lawan politiknya untuk menghalanginya. Tapi yang keberanian dan ketegasan Barack Obama untuk menutup fasilitas itu merupakan langkah yang patut dipuji.

Ketiga, dan mungkin ini yang paling penting untuk disadari, bahwa juga pada hari kedua di Gedung Putih, Barack Obama langsung melakukan komunikasi dengan kedua pemimpin Israel dan Palestina dalam upaya mencari solusi konflik Timur Tengah. Bahkan upaya itu langsung ditindaklanjuti dengan mengangkat seorang senator sebagai utusan khusus Presiden untuk Timur Tengah.

Bagi saya pribadi, di tengah gelombang perang Irak dan Afghanistan, Barack Obama memberikan perhatian khusus terhadap konflik Timur Tengah, khususnya Israel-Palestina. Tentu sebuah gambaran bahwa Barack sadar sepenuhnya betapa konflik Palestina-Israel adalah kanker yang menggerogoti dunia internasional kita sekarang ini. Jika saja konflik ini bisa diselesaikan, sudah pasti akan banyak kekisruhan-kekisruhan dunia yang dapat diselesaikan.

Yang paling unik bagi saya adalah kenyataan bahwa Barack Obama terlihat ‘berani’ dalam memposisikan diri sebagai ‘mediator’ yang tidak memihak. Minimal ini terlihat dalam berbagai pernyataannya yang cenderung tidak saja selalu ‘menyalahkan’ Palestina, sebagaimana para pendahulunya, tapi telah mampu di sisi lain melemparkan pernyataan keras kepada Israel. Padahal, kita ketahui, mengkritik Israel bisa dinilai sebagai ‘political suicide’ bagi seorang presiden AS.

Keempat, sadar akan kritikan selama beberapa tahun terakhir terhadap Amerika dalam HAM, terutama dalam menyikapi penyiksaan terhadap tahanan atau ‘torture’, Barack Obama dengan tegas melarang semua bentuk penyiksaan yang masuk dalam kategori ‘torture’, termasuk ‘water boarding’ yang pernah dilakukan kepada tahanan teroris Sheikh Khalid Mohammed, perancang (mastermind) serangan terhadap WTC.

Bagi saya pribadi, ini sebuah visi sekaligus komitmen besar. Di saat Amerika merasa dalam keadaan terancam oleh what so called ‘American haters’, Barack justru tetap sadar akan batasan-batasan hukum. Tidak seperti pendahulunya, yang terkadang atas nama keamanan (security), hukum justru tidak dihiraukan dan bahkan cenderung dilanggar.

Kelima, di bidang ekonomi Barack Obama telah banyak mencoba untuk memodifikasi berbagai aturan yang memihak kepada kaum lemah. Program ‘bail out’ sebenarnya ditujukan untuk menyelamatkan para pekerja dari kemungkinan pemutusan kerja (lay off) besar-besaran oleh corporate (perusahaan). Ini tentunya harus dilihat sebagai bagian dari ‘peduli kaum dhu’afa’, yang menjadi bagian dari ‘personal nature’ (tabiat pribadi) Barack Obama yang pernah mengalami kehidupan kaum dhu’afa.

Contoh yang paling jelas adalah beberapa peraturan terakhir yang nampak sangat berpihak kepada pelanggan ‘credit cards’ (kartu kredit) yang biasanya terlilit oleh utang perusahaan kredit yang mematikan. Beberapa peraturan terakhir memaksa perusahaan-perusahaan kartu kredit untuk melakukan modifikasi dalam membebani para pelanggannya.

Barangkali upaya terbesar yang menjadi prioritas utamanya saat ini adalah ‘health care reform’ yang mati-matian ditentang oleh Republikan. Saya sendiri menilai, penentangan itu sesungguhnya bukan dilandasi oleh kepentingan khalayak ramai, tapi kepada upaya penggajalan kepada program prioritas Barack Obama. Dan sudah tentu tujuan akhir dari upaya penggagalan tersebut adalah menjatuhkan kredibilitas Barack di khalayak ramai. Ujung-ujungnya adalah agar masyarakat Amerika tidak lagi memilih Barack Obama untuk periode kedua tiga tahun ke depan.

Keenam, bahwa Barack Obama memiliki komitmen demokrasi dengan menjunjung tinggi diversity manusia. Ini yang disadarinya sehingga Barack Obama tidak canggung-canggung melakukan ‘direct talk’ dengan berbagai kalangan dunia lain, termasuk dengan dunia Islam. Pesan-pesan yang disampaikan di Kairo, Mesir merupakan representasi kesadaran akan ‘inter-dependensi’ dunia saat ini. Barack Obama sadar bahwa tak satu bangsa atau negara di dunia ini, termasuk negara super power Amerika, bisa hidup tanpa kerjasama dengan bangsa-bangsa lain.

Sikap dan kebijakan Barack Obama ini, bagi saya pribadi, sangat bertentangan dengan pandangan dan sikap pendahulunya yang melemparkan slogan ‘with us or against us’.

Selain itu, Barack Obama sangat santun dalam mengkritik lawan-lawan politiknya, bahkan terhadap presiden Iran sekalipun. Barack selama ini tetap memakai bahasa santun dalam mengkritisi sikap presiden Ahmadinejad yang bersikukuh untuk mengembangkan ‘nuclear power’ di negaranya. Berbeda dengan G.W Bush yang selalu memberikan kritikan dengan ‘uncivilized manner’, termasuk pengistilahan ‘Evil Axes’ (poros setan), dll.

Kunjungan Barack Obama ke Indonesia

Menurut rencana, Presiden Barack Obama akan mengunjungi Indonesia, sebelum ke Australia, pada pertengahan Maret tahun ini. Rencana kunjungan ini, sebagaimana biasanya, akan disikapi dengan sikap yang berbeda-beda oleh masyarakat Indonesia. Tentu, berbeda pandangan adalah sesuatu yang baik. Saya yakin Barack Obama sendiri akan senang dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan masyarakat karena itu adalah gambaran kebebasan berfikir dan demokrasi.

Akan tetapi, kalau saja saya yang ditanya, apakah kunjungan Barack Obama ke Indonesia harus mendapat sambutan penghormatan atau penolakan? Maka, dengan tegas dan terbuka akan saya katakana harus diterima dengan penerimaan yang terhormat. Alasannya sangat sederhana. Bahwa kalau saja Barack Obama yang memimpin negara terkuat dunia, hamper dalam segala skala kehidupan, dari pendidikan, ekonomi, dan hingga ke kekuatan militer, ingin membangun hubungan yang baik dan sejajar dengan dunia lain, kenapa bangsa ini tidak mempergunakan ‘kesempatan’ (momentum) tersebut untuk membangun relasi yang sama dengan Amerika?

Kalaupun ada yang melihat bahwa pemerintahan Amerika saat ini belum melaksanakan secara maksimal seperti yang diharapkan oleh banyak orang di berbagai belahan dunia, seharusnya semua itu harus dilihat dengan pandangan bijak. Bijak dalam arti bahwa sebuah kebijakan politik di negara demokrasi tidak ditentukan oleh pribadi. Barack Obama bukan seorang raja, bukan pula seorang dictator, tapi seorang presiden yang dikelilingi oleh berbagai kepentingan. Dalam menentukan sikap, dia tentu punya pertimbangan politis yang didasarkan kepada kemaslahatan mayoritas dan jangka panjang.

Kalaulah Barack Obama bisa memaksakan kehendak, maka sudah pasti dia akan memaksa Israel untuk menghentikan konstruksi pemukiman di berbagai daerah Palestina. Namun ‘realita’ politisnya mengatakan bahwa apa yang bisa dilakukan saat ini adalah mengingatkan aktivitas illegal Israel di daerah Palestina.

Akhirnya, saya hanya ingin mengatakan, masanya umat ini melakukan introspeksi akan masa-masa lalu, sekaligus membuka mata lebar dan memandang jauh ke depan, apa yang telah dihasilkan dengan pandangan dan sikap sesaat yang emosional selama ini? Kalau saja kepemimpinan Barack Obama yang nota benenya sangat menghormati keragaman, berpihak ke kaum dhu’afa, serta berusaha imbang dalam menyikapi berbagai konflik di dunia, minimal pada tataran sikap pribadinya, ditangkap dan dijadikan momen yang baik untuk ‘merangkul’ dan berusaha memberikan masukan-masukan konstruktif ke depan.

Ataukah mengambil jalan oposisi terhadap seseorang yang punya I’tikad baik, walau dengan susah payah melakukan implementasi dari I’tikad baik tersebut? Tidakkah masanya bagi mereka yang menolak kedatangan Barack Obama ke Indonesia sadar bahwa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia sudah masanya menempatkan diri sebagai ‘pemain yang efektif’ dalam upaya-upaya menyelesaikan berbagai konflik dunia? Jangan sampai penentangan itu merupakan representasi dari sikap yang rentang frustasi, pesimis, apatis dan ‘blaming in nature’. Umat yang sehat adalah umat yang selalu positif, visioner, optimis dan ‘solving in nature’.

Saya yakin, umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang selalu mengedepankan pandangan positif, dan yang paling penting akan meneropong jauh ke depan perjuangan umat dalam rangka membangun dunia yang lebih bermartabat. Semoga!

New York, 8 Maret 2010

Redaktur: Ulis Tofa, Lc

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (26 votes, average: 7.69 out of 5)
Loading...

Lahir 5 Oktober 1967. Setelah menyelesaikan SD di salah satu kampung terpencil di Sul-Sel, oleh orang tuanya dimasukkan ke Pondok Pesantren Muhammadiyah "Darul-Arqam" Makasar. Setelah Tamat dari pesantren 1987, Syamsi Ali mengabdikan diri sebagai staf pengajar di almamaternya hingga akhir 1988 di saat mendapat tawaran beasiswa dari Rabithah Alam Islami untuk melanjtkan studinya pada the International Islamic University, Islamabad, Pakistan. Tahun 1992 S1 dalam bidang Tafsir. Dilanjutkan pada universitas yang sama dan menyelesaikan S2 dalam bidang Perbandingan Agama pada tahnu 1994.

Selama studi S2 di Pakistan, Syamsi Ali juga bekerja sebagai staf pengajar pada sekolah Saudi Red Crescent Society di Islamabad. Dari sekolah itulah kemudian mendapat tawaran untuk mengajar pada the Islamic Education Foundation Jeddah, Saudi Arabia di awal 1995.

Pada musim haji tahun 1996, Syamsi Ali mendapat amanah untuk berceramah di Konsulat Jenderal RI Jeddah Saudi Arabia. Dari sanalah bertemu dengan beberapa haji luar negeri, termasuk Dubes RI untuk PBB, yang sekaligus menawarkan kepadanya untuk datang ke New York, AS. Tanpa menyia-nyiakan, Syamsi Ali berhasil ke New York di awal tahun 1997.

Di New York inilah kiprahnya semakin luas. Selain menjadi pengasuh masyarakat Muslim di New York dan di AS pada umumnya, dengan menghadiri berbagai undangan ke berbagai kota di AS, Syamsi juga aktif melakukan ceramah ke berbagai kalangan lainnya, Muslim maupun non Muslim. Setelah tragedy 11 September silam, Syamsi semakin sibuk memenuhi undangan untuk menjelaskan Islam ke berbagai kalangan, termasuk mewakili umat Islam dalam Memorial Service dengan tema: "Pray for America" bersama seluruh pemimpin agama se Amerika. Syamsi juga mewakili umat Islam AS mendampingi Bush pada saat kunjungannya setelah tragedy 11 September 2001 lalu.

Syamsi Ali juga aktif mengkoordinir berbagai kegiatan antar komunitas Muslim. Sebagai contoh, mendirikan Imams Council of NYC bersama tokoh-tokoh Muslim di kota New York tahun 1998 lalu. Syamsi juga mengetahui Muslim Parade di kota New York sejak tahun 1998 hingga kini.

Ditengah-tengah kesibukannya sebagai aktifis Muslim sekaligus staf Perwakilan RI untuk PBB New York, Syamsi Ali masih menyempatkan untuk melanjutkan studi pada the Graduate Center of NYU dalam bidang ilmu politik.

Syamsi beristerikan Muthiah Malik, dan kini dikarunia 3 anak; Maryam Zakiyah 9 tahun (lahir di Pakistan), Utsman Afifi 6 tahun (lahir di Saudi) dan Adnan Osama (lahir di New York)

Lihat Juga

Tegas! Di Hadapan Anggota DK PBB, Menlu RI Desak Blokade Gaza Segera Dihentikan

Figure
Organization