Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Cara Pembayaran Zakat

Cara Pembayaran Zakat

dakwatuna.com – Para Ulama telah bersepakat bahwa dasar palaksanaan zakat adalah bahwa seorang Imam mengumpulkannya dari para muzakki dan membagikannya kepada para mustahiq. Artinya, pengelolaan zakat itu merupakan salah satu tugas negara Islam, dengan dalil-dalil berikut ini:

  • Al-Qur’an telah menetapkan dalam ayat zakat tentang bagian amil zakat. Ini mennunjukkan bahwa harus ada pegawai yang ditunjuk oleh negara guna menjalankan tugas ini dan diberikan gaji dari zakat.
  • As-Sunnah Al-Qauliyah, “… diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dibagikan kepada fakir miskin mereka…” di sini ada yang mengambil dan yang membagi, dan tidak dibiarkan begitu saja kepada para muzakki.
  • As-Sunnah Al-Fi’liyyah, Rasulullah saw. mengirimkan para pemungut zakat. Demikian juga para khalifah sesudahnya.
  • Logika, yaitu ketika zakat dibiarkan kepada perorangan mengakibatkan terlantarnya hak-hak fakir miskin, yang bisa menyebabkan keresahan dan ketidakadilan terhadap fakir msikin. Pada saat yang sama negara berkewajiban menjaga kehormatan fakir miskin. Belum lagi sebagian distribusi zakat itu disalurkan untuk kepentingan umum yang hanya bisa ditentukan oleh negara.

Harta zakat terbagi dalam dua macam, yang nyata dan yang tersembunyi. Zakat zhahir seperti zakat tanaman dan hewan, sedang yang tersembunyi seperti uang dan perdagangan.

  • Para ulama telah bersepakat bahwa ketika seorang imam meminta zakat dari para mustahiq, maka harus diberikan baik dalam bentuk zhahir maupun tersembunyi. Dan ketika imam tidak mengurusi zakat, maka tidak menggugurkan zakat dari para muzakki itu, dan para muzakki wajib mengeluarkannya sendiri dan membagikannya kepada para mustahiq.
  • Seorang imam diperbolehkan menyerahkan cara pembayaran zakat harta tersembunyi kepada para muzakki seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a. dan ketika itu para muzakki yang membagikannya langsung kepada mustahiq.
  • Kenyataan pembagian jenis harta zhahir dan tersembunyi tidak banyak dampaknya pada zaman sekarang ini. Maka yang utama adalah kembali kepada yang asli, yaitu urusan zakat harus tunduk kepada kekuatan hukum syariat Islam, yang akan membantu mewujudkan tujuan kewajiban ini.

Ketika pemilik harta menolak membayar zakat, atau mengaku telah mengeluarkannya, atau menyembunyikan kewajibannya, maka ia wajib:

  • Jika ia mengingkari kewajiban zakat, maka hukumnya kafir dan dihukum mati sebagai orang murtad.
  • Jika karena pelit, maka diambil zakatnya dengan paksa dan dipenjara.
  • Para ulama berbeda pendapat tentang apakah boleh menghukum orang yang menolak zakat dengan diambil separuh hartanya? Madzhab Hanbali memperbolehkannya, tetapi jumhurul ulama menolak. Dan yang rajah (kuat) bahwa hukuman maliyah (material) adalah jenis hukuman ta’zir yang diserahkan kepada kebijakan imam.

Bolehkah membayar zakat kepada penguasa yang zhalim?

  • Jika ia iltizam dengan Islam secara global dan zalim dalam beberapa sisi, maka boleh membayar zakat kepadanya, jika ia menyalurkannya ke pos-pos yang diperbolehkan agama. Sedang jika kezalimannya mencakup zakat, maka tiadk boleh membayar kepadanya, kecuali jika ia mengambil paksa. Dan yang utama dalam kondisi ini adalah mengulang mengeluarkannya kepada yang berhak. Ini hukumnya wajib menurut madzhab Maliki, dan wajib menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i.
  • Sedang jika penguasa itu memerangi Islam dan para dainya dengan terang-terangan mengajak kepada prinsip kafir, maka tidak boleh membayar zakat kepadanya dalam keadaan apapun. Dan jika penguasa itu mengambil, maka muzakki harus mengulang mengeluarkan zakat.

Serba-serbi Pembayaran Zakat

1. Niat

  • Karena zakat adalah ibadah, maka pelaksanaannya harus disertai niat, seperti dalam hadits Nabi, ” … Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya…”
  • Muzakki berniat untuk dirinya, sebagaimana seorang wali berniat untuk orang yang diwalikan, seperti anak kecil, orang gila, orang bodoh ketika mereka hendak mengeluarkan zakat.
  • Tempat niat ada di dalam hati, dan waktunya ketika sedang mengeluarkan zakat.
  • ketika penguasa mengambil zakat maka harus disertai pula niat muzakki sehingga mendapat pahala dari zakatnya, dan diterima di sisi Allah. Jika tidak disertai niat maka hanya cukup menurut Negara, artinya tidak diminta lagi, tetapi belum cukup menurut Allah

2. Membayar dengan nilai uang

  • Ketika seseorang berkewajiban zakat seekor kambing untuk kembingnya, atau seekor onta untuk ontanya, atau sekian kilo untuk tanamannya, maka ia diperbolehkan membayar dengan uang senilainya, seperti dalam hadits Mu’adz bersama dengan penduduk Yaman: “Bayarkan kepadaku dengan kain yang panjanganya lima hasta, atau pakaian senilai zakat, karena yang demikian itu lebih mudah bagi kalian dan lebih bermanfaat bagi kaum muhajirin di Madinah” HR Al Baihaqi dan Al Bukhariy. Saat itu penduduk Yaman terkenal sebagai pembuat pakaian, dan penduduk Madinahlebih membutuhkannya. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi, diriwayatkan pula oleh imam Ahmad bin Hanbal untuk selain zakat fitrah. Merupakan madzhab Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al Bashri, Sufyan Ats Tsauriy dan Al Bukhariy. Menurut Ibnu Taimiyah membayar zakat dengan nilai uang diperbolehkan karena kebutuhan, kemaslahatan atau keadilan.
  • Madzhab Syafi’iy tidak memperbolehkan membayar zakat dengan nilai uang. Karena zakat itu ibadah seperti shalat maka wajib dikerjakan seperti yang ada dalam teks syar’iy. Dan menurut madzhab Maliki ada beberapa pendapat yang berbeda, dan yang terkenal adalah makruh membayar zakat dengan uang
  • Sedang jika imam menghendaki pembayaran dengan uang maka mereka sepakat boleh, karena ia dianggap lebih memahami kemaslahatan.

3. Memindahkan zakat ke tempat lain.

  • Prinsip zakat adalah dibagikan di negeri tempat zakat itu dikumpulkan, seperti dalam hadits Nabi: “Diambil dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada fakir misikin mereka”. Demikianlah sunnah fi’liyyah Rasulullah saw dan khulafaurrasyidin sesudahnya, tanpa ada yang berbeda pendapat dengannya.
  • Ketika negeri yang bersangkutan sudah cukup, maka boleh dipindahkan ke Negara lain, atau diserahkan kepada imam untuk dibagikan sesuai dengan kebutuhan. Demikianlah yang Rasulullah dan para khalifah lakuakan tanpa ada yang menolaknya
  • Sedangkan jika fakir miskin di negeri yang bersangkutan masih membutuhkan zakatnya orang kaya, maka pemindahan zakat ke Negara lain tidak boleh dilakukan kecuali jika ada kebutuhan yang lebih mendesak. Seperti jika ada suatu Negara muslim yang ditimpa bencana, atau sesuai dengan ijtihad imam menurut pendapat madzhab Hanafi dan Maliki.
  • Diperbolehkan memindahkan zakat menurut madzhab Hanafi ke Negara lain jika muzakki memiliki kerabat yang membutuhkan di negeri tersebut. Atau jika di negeri kedua itu terdapat fakir miskin yang lebih membutuhkan dari pada negeri yang pertama. Atau jika pemindahan itu lebih membawa maslahat bagi kaum muslimin, atau jika dipindahkan dari negeri perang ke negeri aman, atau jika dipindahkan kepada orang berilmu atau penuntut ilmu, atau dipindahkan untuk pembiayaan proyek Islami yang bermanfaat bagi kaum muslimin di Negara kedua. Ibnu Abidin menuturkan dalam hasyiyahnya lebih banyak lagi contoh seperti ini

4. Mempercepat dan Menunda Zakat

  • Zakat wajib dibayarkan seketika, maka ketika syarat-syarat zakat terpenuhi maka saat itu pula wajib dikeluarkan zakatnya. Ia berdosa jika menundanya tanpa ada sebab. Karena perintah menuntut disegerakan. Demikianlah madzhab jumhurul ulama
  • Diperbolehkan mempercepat pembayaran zakat -artinya dikeluarkan sebelum waktunya- jika zakatnya mensyaratkan haul (masa satu tahun). Demikianlahh madzhab jumhurul ulama. Berbeda dengan madzhab Maliki. Sedang zakat yang tidak mensyaratkan satu tahun seperti tanaman dan buah-buahan, maka tidak boleh membayarnya sebelum waktunya.
  • Tidak diperbolehkan pula menunda zakat ketika sudah jatuh waktu wajjibnya kecuali jika ada hajat syar’iy seperti menunggu kerabat yang sedang membutuhkan. Dan barang siapa yang menundanya tanpa ada sebab syar’iy ia berdosa menurut kebanyakan ulama. Dan jika kemudian hartanya habis atau kurang sebagiannya sebelum mengeluarkan zakat maka kewajibannya tidak gugur, dan menjadi hutangnya.
  • Dan jika zakat telah diambil dari sebagian harta yang dimiliki untuk dibagikan kepada yang berhak kemudian hilang, maka jika karena keteledoran pemeliharaannya, maka ia wajib menggantinya dan mengelurkan zakat lagi. Namun jika tidak karena keteledoran maka ia tidak wajib menggantinya, dan cukup membayarkan dengan yang tersisa.
  • Zakat yang sudah menjadi kewajiban seseorang tidak akan pernah gugur sebelum dibayar meskipun telah lewat beberapa tahun. Menurut jumhurul ulama zakatnya diambil secara keseluruhan dari tahun-tahun yang telah berlalu.
  • Bahkan zakat tidak gugur karena kematian. Ia tetap harus dibayarkan dari harta peninggalan meskipun tidak diwasiatkan oleh orang yang meningal. Ini pendapat Jumhur yang didasarkan kepada sabda Rasulullah saw. “… hutang kepada Allah lebih berhar untuk dilunasi…” (Syaikhan)

5. Rekayasa Menggugurkan Zakat

Haram hukumnya dan zakat tidak gugur apapun bentuk rekayasnya. Barangkali di dunia bisa bebas karena permintaan pemimpin untuk menggugurkannya, namun di akhirat tidak selamat dari hisab Allah. Ini juga pendapat Jumhur, Malikiyah, Hanabilah, dan lain-lain.

6. Membayar zakat bisa dilakukan kepada orang fakir secara langsung dan tidak mengatakan bahwa itu zakat. Bahkan banyak ulama yang menganggapnya sunnah agar tidak menyakiti hatinya dan merendahkannya.

Redaktur:

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (8 votes, average: 6.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com

Lihat Juga

Zakat Sebagai Solusi Masa Depan BPJS Kesehatan

Figure
Organization