Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Berdakwahlah Dengan Fasih

Berdakwahlah Dengan Fasih

على الداعية أن يصل إلى رتبة المُبَلِّغ وأن يسعى إلى البلاغ

“Seorang dai harus sampai pada tingkatan penyampaian yang optimal dan selalu berusaha memberikan penyampaian yang menyentuh (balagh).”

dakwatuna.com – Berdakwah tidak berbeda dengan mempromosikan suatu barang. Seorang penjual (sales) akan menggunakan sarana, gaya, dan pendekatan yang paling optimal dan yang paling luas pengaruhnya demi menawarkan barang dagangannya kepada publik. Bahkan untuk mengefektifkan promosinya pedagang menggunakan komentar tokoh yang punya pengaruh, gambar yang atraktif, dan memberi hadiah serta sarana-sarana lainnya. Tujuannya bukan hanya dagangannya dibeli, tapi juga pembeli puas.

Kepada para rasul dan nabi-Nya, Allah telah menjadikan penyampaian yang menyentuh (balagh) sebagai misi mereka.

فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (An-nahl: 35)

Allah menyifati البلاغ (penyampaian) dengan المبين (terang).

Juga Allah berfirman:

الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا

“(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.” (Al-Ahzab: 39)

Dan ketika manusia berpaling dari keimanan di situlah ditegaskan bahwa para nabi telah sampai kepada tingkat penyampaian yang optimal. Allah berfirman:

فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَاقَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَكِنْ لَا تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ

“Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat’.” (Al-A’raf: 79)

Kalimat بَلَغَ bermakna وصل أو قارب على الوصول (sampai atau hampir mengenai sasaran). Berkata Ibnu Faris: بَلَغَ adalah الوصول إلى الشيء (sampai kepada sesuatu). Contoh:بلغت , المكان إذا وصلت اليه, (demikianlah penyampaian yang bagus karena kefasihan lisan, sehingga tepat mengenai sasaran yang diinginkan). Berkata Al-Azhary: “Orang Arab mengatakan untuk satu pemberitaan yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Lalu orang itu tidak merespon dan menindaklanjutinya, maka hal ini sikap tersebut dianggap jelek dengan istilah سمعُ لا بلْغُ atau سمعاً لا بلغا, mendengar tapi tak sampai, atau mendengarkannya tapi tidak sampai mengenai sasaran.

Itulah bukti penggunaan kalimat yang efektif dan menyentuh yang memiliki karakter

الوصول والانتهاء, sampai dan optimal.

Berikut ini beberapa kaidah yang perlu menjadi perhatian seorang dai dalam menyampaikan risalah dakwahnya.

1. Seorang dari harus berdakwah secara terus menerus dengan penyampaian yang efektif dan menyentuh. Seseungguhnya Allah telah memperingatkan Nabinya untuk senantiasa melakukan hal itu sebagaimana firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 67)

Berkata Imam Qurtuby, “Hal itu adalah pengajaran untuk Nabi dalam mengemban ilmu pengetahuan untuk umatnya, agar tidak menyembunyikan sedikitpun syariat Allah swt.” Karena bukanlah yang dimaksud dengan penyampaian ((البلاغ itu dengan pemberitahuan dan pemberitaan, tetapi maksudnya adalah sampai risalah-Nya kepada manusia.

2. Di antara tuntutan penyampaian adalah kesadaran dai tentang apa yang disampaikannya. Sebab, tidak ada penyampaian tanpa dibarengi kesadaran. Perhatikan sabda Nabi saw. ini:

” نَضَّرَ الله امرءاً سمع مقالتي فوعاها وحفظها وبلَّغها، وفرَبَّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه ، ثلاث لا يُغَلّ عليهن قلب مسلم : إخلاص العمل لله ، ومناصحة أئمة المسلمين ، ولزوم جماعتهم ، فإن الدعوة تحيط من وراءهم”. (أخرجه الترمذي من روايات عديدة 5/34 ، وأخرجه ابن ماجة كذلك 1/84 ، 2/1015، وأخرجه الإمام أحمد من عدة روايات 1/437 ، 3/225 ، 4/80 ، 82 ، 5/183 ، وأخرجه الدارمي في المقدمة: 24.)

“Allah telah memberi kenikmatan wajah yang berseri-seri kepada sesorang yang mendengar sabdaku lalu ia menyadarinya, menghafalnya, dan menyampaikannya, dan telah dekat orang yang mendalami ilmu kepada yang lebih mendalaminya. Ada tiga hal yang tidak boleh terhalang dari hati seorang muslim: ikhlas beramal karena Allah, menasehati pemimpi-pemimpin kaum Muslimin, dan komitmen dengan jamaah mereka, karena dakwah senantisa membentang di belakang mereka.”

Berkata Al-Khitaby dalam syarah hadits ini: “نَضَّر الله, artinya Allah mendoakannya dengan “nadharah”, yaitu kenikmatan dan wajah yang berseri-seri. “Nadharah” ini merupakan pengaruh dari penyampaian seorang dai, maka para penyampai dakwah adalah: أصحاب الوجوه الناضرة في الدنيا والآخرة, pemilik wajah nan cerah di dunia dan di akhirat.

Al-Khitaby mengambil faidah pelajaran dari hadits ini karena khawatir bagi orang yang kurang mendalaminya akan menyedehanakan hadits itu. Karena itu makna “menyadari” dalam hadits tersebut adalah menghafal teksnya dan melaksanakannya seperti apa yang disabdakan. Hendaknya seseorang yang mendalaminya harus menguasai makna-makna hadits yang dapat diambil faidah pelajarannya. Isyarat pada hadits tersebut menyangkut periwayatannya dan matannya, berupa mengetahuan dan penjelasannya.

3. Penyampaian menuntut perkataan yang berbekas ((البلاغة

Keindahan untaian kata dijelasakan oleh Allah swt dalam firman-Nya:

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (An-Nisa: 63)

Hendaknya seorang dai menyampaikan kata-katanya dengn lafadz yang baik dengan makna yang indah, mencakup الترغيب والترهيب والتحذير والإنذار والثواب والعقاب, kata-kata yang menyenangkan, menakutkan, memperingatkan, mengingatkan, motivasi pahala dan ancaman siksa. Karena kata-kata bila disampaikan dengan “balaghah”, akan besar pengaruhnya menghunjam ke dalam hati. Tapi bila kata-katanya terlalu ringkas, tekanannya lemah, dan maknanya kering, tidak akan berpengaruh pada hati sama sekali.

Di dalam kitab Al-Lisan dijelaskan bahwa yang disebut رجل بليغ adalah orang yang memiliki keindahan kata dan kefasihannya. Apa yang disampaikannya, itulah yang ada dalam hatinya. Karena itu “balaghah” bukan berarti menyampaikan kata-kata yang sulit dimengerti. Bukan pula pendekatan bahasa yang rumit dan jelimet. Karena itu, seorang dai dalam menyampaikan dakwahnya harus mengetahui bahasa dan gaya bahasanya agar dapat memberikan penyampaian yang berbekas. Semua itu menuntut kemauan untuk mengkaji dan menelaah bahasa: meliputi ilmu, membaca, menulis, maupun percakapan, serta sastra, baik puisi dan syair. Dalam struktur ayat Al-Qur’an ada yang maknanya hanya satu pengertian, ada juga yang dapat diartikan dengan beberapa makna. Oleh karena itu para dai sangat perlu menguasai bahasa Arab dan tidak ada alasan untuk mengurangi perhatiannya terhadap hal ini.

4. Al-Qur’an menekankan kefasihan dan kelancaran berbicara.

Sebagaimana yang telah difirmankan Allah kepada Nabi Musa a.s.:

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي (27) يَفْقَهُوا قَوْلِي (28)

“Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (Thaha: 27-28)

Nabi Musa a.s. telah menyadari bahwa kelancaran berbicara dan kefasihannya menjadi salah satu sebab membekasnya penyampaian dan kokohnya argumentasi. Berkata Imam Ar-Razy, “Ulama berbeda pendapat dalam hal Nabi Musa meminta agar dilepaskan kekakuan lidahnya dalam beberapa versi.” Versi pertama, agar tidak mengalami kesalahan fatal dalam menyampaikan risalah. Versi kedua, untuk menghindari agar orang tidak lari. Karena, kekakuan dalam berbicara akan menyebabkan audien meremehkan pembicara dan tidak fokus memperhatikan pembicaraannya. Versi ketiga, meminta kemudahan dalam berbicara karena menghadapi Firaun yang arogan dan sombong bisa jadi sangat menyulitkan pembicaraan. Kalau bicara sudah kesulitan sejak awal, biasanya akan terus berlanjut hingga akhir. Karena itulah Musa a.s. memohon kepada Allah diberikan kemudahan dan keringanan dalam berbicara.

Pelajaran yang dapat dipetik kita petik adalah bahwasanya seorang dai harus membiasakan dirinya berbicara tepat dan benar. Kalau ternyata dirinya kaku dan kelu dalam berbicara, bisa meminta bantuan kepada yang lebih fasih dan membantu kelancaran misi dakwahnya. Hal ini agar dakwahnya sampai kepada masyarakat dengan kualitas yang lebih membekas dan jelas. Inilah pula yang diminta oleh Nabi Musa kepada Allah swt.:

هَارُونَ أَخِي (30) اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي (31) وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي (32)

“(Yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (Thaha: 30-32)

وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ(34)

“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)-ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku.” (Al-Qashash: 34)

Kata رِدْءًا adalah sebutan untuk apa saja yang dapat dimintakan bantuannya. Sedangkan Imam Ar-Razy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengertian يُصدقني bukan berarti bila Nabi Harun cukup mengatakan kepada nabi Musa: صدقت, engkau benar, atau orang akan mengatakan:صدق موسى , benar apa yang dikatakan Musa. Akan tetapi yang dimaksud adalah Nabi Harun membantu dengan lisannya yang fasih mengemukakan beberapa argumentasi, menjawab hal-hal rumit dan sulit dimengerti, serta untuk mengcounter apa yang dikemukakan oleh orang-orang kafir. Inilah yang dimaksud dengan ُصدقني yaitu التصديق المفيد, pembenaran yang membawa faedah. Bukan hanya mengatakan engkau benar. Kalau hanya itu, kefasihan Nabi Harun tidak terlalu dibutuhkan.

5. Agar seorang dai dalam menjelaskan dan menyampaikan dakwahnya, ia perlu didampingi oleh dai lainnya. Karena pendampingan itu akan menguatkan dirinya dan memberikan rasa tenang. Tapi ini diperlukan hanya untuk menghadapi objek dakwah yang besar. Bila objek dakwah melihat sang dai tidak sendiri tapi disertai para pendampingnya, mereka akan memperhitungkan dakwah ini. Di matanya dakwah sang dai punya pengaruh di masyarakat. Dan dengan adanya pendampingan itu, menunjukan bahwa fikrah yang diusung sang dari begitu kuat.

Allah swt. berfirman:

قَالَ سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيكَ

“Kami akan membantumu dengan saudaramu.” (Al-Qashash: 35)

Allah swt. juga berfirman melalui lisan Nabi Musa a.s.:

وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي(29)هَارُونَ أَخِي(30)اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي(31)وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي(32)

“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (Thaha: 29-32)

Mengenai ayat ini Imam Ar-Razy berkata dalam tafsirnya, “Ketahuilah bahwa meminta pendamping dengan alasan apakah karena seseorang khawatir dengan kelemahan dirinya untuk melaksanakan tugas dakwah atau semata-mata memandang bahwa saling tolong menolong dalam hal agama dan upaya memperjuangkannya –dibarengi dengan cinta yang ikhlas dan menghilangkan prasangka– adalah keistimewaan yang mulia dalam urusan dakwah kepada Allah. Karena itulah Nabi Isa berkata:

مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ

“Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata, “Kamilah penolong-penolong agama Allah.” (As-Shaf: 14)

Dan Allah juga berfirman kepada Nabi Muhammad saw.:

حسبك الله ومن اتبعك من المؤمنين

“Cukuplah Allah bagimu (Muhammad) dan orang-orang yang mengikutimu.”

Agar seorang dai sampai ke tingkat penyampaian yang berbekas, hendaknya ia menggunakan berbagai sarana yang tersedia sesuai maksud dan tujuan dakwah. Inilah yang disebut dengan sarana presentasi dan sarana-sarana yang membantu lainnya. Seorang dai hendaknya berbicara dengan audien dengan bantuan gambar, film, peta, skema, power point, out door, kisah, senandung, makhluk-makhluk Allah dan keajaiban penciptaannya.

Nabi sendiri membutuhkan bantuan sarana presentasi, sebagaimana sabdanya:

أخرج البخاري عن ابن عمر ـ رضي الله عنهما ـ قال : ” كنا عند النبي r فأتى بجُمَار([1]) فقال : إن في الشجر شجرة مَثَلُها كمثل المسلم، فأردت أن أقول: هي النخلة فإذا أنا أصغر القوم ،

فسكتُ ، فقال النبي r : هي النخلة ([2]).

Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, kami pernah bersama Nabi, lalu beliau datang dengan membawa Jammar (yang terdapat di atas pucuk batang kurma, rasanya manis, dan baik untuk dikonsumsi). Lalu Rasul bersabda, “Sesungguhnya di dalam pohon terdapat pohon serupa seperti seorang muslim.” Kemudian aku berkata, “Apakah itu pohon kurma?” Kalau begitu aku adalah orang yang paling muda usia, Nabi terdiam, kemudian beliau bersabda, “Ya, itu adalah pohon kurma.” Demikianlah Nabi bertanya tentang pohon yang menyerupai seorang muslim dan seorang muslim yang menyerupainya, ketika bertanya, beliau sambil makan jammar. Berkata Ibnu Hajar, “Tatkala Nabi mengemukakan satu pertanyaan sambil memperlihatkan jammar, barulah Ibnu Umar paham bahwa yang ditanyakan itu adalah tentang pohon kurma.”

Nabi Ibrahim a.s. Menggunakan Sarana Presentasi

Al-Qur’an menceritakan kepada kita bagaimana Nabi Ibrahim a.s. menggunakan sarana alat bantu presentasi ketika hendak mendakwahkan kaumnya untuk beribadah kepada Allah dan mengalihkan mereka dari menyembah bintang dan bulan. Allah berfirman:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ(76)فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ(77)فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ(78)إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ

لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ(79)

Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar; dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Al-An’am: 76-79)

Itulah gaya berdialag dengan objek dakwah secara bertahap sehingga dapat meruntuhkan keyakinan dan ideologinya serta mengokohkan argumentasi terhadapnya. Berkata Ar-Razy dalam tafsirnya, “Peristiwa tersebut terjadi karena pengamatan Nabi Ibrahim terhadap kaumnya. Hal ini dibuktikan dalam firman Allah:

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا ءَاتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ(83)

“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 83)

Oleh karena itu, Allah mengatakan على قومه bukan على نفسه. Allah Mahatahu bahwa diskursus yang berlangsung antara ibrahim dengan kaumnya tersebut hanya bertujuan untuk mengarahkan dan menunjukkan mereka kepada iman dan tauhid. Adapun ketika dalam dialog tersebut Nabi Ibrahim mengatakan هذا ربي, maksudnya menjelaskan kebiasaan pengakuan dan keyakinan kaumnya, bukan keyakinan dirinya. Sama halnya seperti Nabi Musa a.s. ketika berkata kepada Samiri:

وَانْظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا لَنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا(97)

“Dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan).” (Thaha: 97)

Sesungguhnya Nabi Musa tidak sedikitpun menjustifikasi keyakinan mereka, tapi menceritakan pengakuan dan keyakinannya. Juga ketika Allah swt. berfirman:

وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ(62)

Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka seraya berkata: “Dimanakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?” (Al-Qashash: 62)

Sekutu-sekutu yang dimaksud pada ayat tersebut adalah sebatas pengakuan orang-orang musyrik dan keyakinan mereka. Bukan berarti Allah menyatakan adanya sekutu-sekutu baginya. Demikian pula Nabi Ibrahim menghancurkan akidah mereka dalam gambaran ibadah yang berubah-ubah, setelah itu ditetapkan dan dikukuhkan pada ibadah kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kekal, yang tidak terdapat pada-Nya kekurangan dan perubahan.

Contoh lain terdapat dalam firman Allah swt.:

وَ مِنْ شِنِيعَتِهِ لَإِبْرَاهِيمَ(83)إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ(84)إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا تَعْبُدُونَ(85)أَئِفْكًا ءَالِهَةً دُونَ اللَّهِ تُرِيدُونَ(86)فَمَا ظَنُّكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ(87)فَنَظَرَ نَظْرَةً فِي النُّجُومِ(88)فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ(89) فَتَوَلَّوْا عَنْهُ مُدْبِرِينَ(90)فَرَاغَ إِلَى ءَالِهَتِهِمْ فَقَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ(91 مَا لَكُمْ لَا تَنْطِقُونَ(92) فَرَاغَ عَلَيْهِمْ ضَرْبًا بِالْيَمِين93

Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya, “Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?” Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata, “Sesungguhnya aku sakit.” Lalu mereka berpaling daripadanya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka, lalu ia berkata, “Apakah kamu tidak makan? Kenapa kamu tidak menjawab?” Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). (Ash-Shaaffat: 83-91)

Kita juga dapat menyimpulkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. telah menggunakan cara yang berhubungan dengan cara mereka yang selalu merawat inap orang yang sakit di samping berhala dengan harapan mendapat kesembuhan. Lihatlah bagaimana Ibrahim kemudian menghancurkan patung-patung yang kecil sementara membiarkan sebuah patung besar. Hal ini bertujuan agar mereka kembali kepada patung besarnya. Nabi Ibrahim ingin membuat kesan bahwa yang melakukan penghancuran berhala-berhala lainnya adalah patung yang paling besar. Untuk menguatkan hal itu, sengaja Ibrahim mengalungkan kapak di kepalanya. Kisah ini tergambar jelas dalam firman Allah swt.:

قَالَ بَل رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ(56)وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ(57)فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ(58)قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ(59)قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ(60)قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ(61)قَالُوا ءَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَاإِبْرَاهِيمُ(62)قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ(63)فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ(64)ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلَاءِ يَنْطِقُونَ(65)قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ(66)أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ(67)

Ibrahim berkata, “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu.” (56) Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. (57) Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. (58) Mereka berkata, “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.” (59) Mereka berkata, “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim. (60) Mereka berkata, “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (61) Mereka bertanya, “Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?” (62) Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (63) Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata, “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri).” (64) kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata), “Sesungguhnya kamu, (hai Ibrahim), telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” (66) Ibrahim berkata, “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” (67)

Cara yang digunakan Nabi Ibrahim menyebabkan orang-orang musyrik memvonis diri mereka sendiri dengan kebodohan. Mereka manyatakan kelemahan tuhan-tuhan mereka dalam melindungi dirinya sendiri. Apalagi memiliki kemampuan untuk mendatangkan kebaikan dan menolak kemudaratan.

6. Untuk sampai pada tingkat pembicaraan yang membekas, harus membalik cara dan mendiversifikasinya. Pembicaraan yang tidak efektif bila disampaikan secara terbuka, terkadang menjadi efektif dengan cara rahasia. Tidak efektif pada malam hari, efektif di siang hari. Tidak tertanam pada hati yang sibuk, mudah membekas pada hati yang rehat. Tidak berpengaruh pada orang yang sehat, terkadang berpengaruh pada orang yang sakit. Dalam surat Nuh terdapat implementasi yang utuh tentang prinsip-prinsip di atas. Perhatikan firman Allah swt. melalui lisan Nabi Nuh ini:

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا(5)فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا(6)وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي ءَاذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا(7)ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا(8)ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا(9)فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا(10)

Nuh berkata, “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang. (5) Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). (6) Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. (7) Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, (8) kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, (9) maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.'” (10) (Nuh 5-10)

Berkata Imam Qurtuby, perkataan Nabi Nuh pada ayat tersebut adalah مبالغة في الدعاء وتلطف بالاستدعاء , optimalisasi dakwah dan kelembutan dalam berdakwah. Ibnu Katsir berkata, “Nabi Nuh memvariasikan dakwahnya agar lebih efektif. Beliau mendakwahi kaumnya pada malam hari sehingga terciptanya suasana yang tenang dan penyimakan yang baik. Juga mendakwahi mereka di siang hari pada saat sibuk, pertemuan, percakapan. Mereka bersikap menentang ketika didakwahi, tapi Nabi Nuh tidak meninggalkannya. Tetap terus mendakwahi mereka, sementara mereka semakin kuat menentang sampai mereka meletakkan jari-jari mereka ke telinga mereka dan menutup wajah dengan baju mereka. Namun Nabi Nuh tetap bersuara keras mendakwahi mereka agar terdengar oleh mereka. Setelah terdengar oleh mereka, lalu Nabi Nuh mulai mendakwahkan mereka secara sembunyi-sembunyi.”

Berkata Imam Qurtuby, “وأسررت لهم” , artinya أتيتهم في منازلهم , aku datangi mereka ke rumah-rumah mereka.” Ini merupakan wawasan yang baik pada Imam Qurtuby, bahwa mengkondisikan mad’u (objek dakwah) dari banyak orang lebih optimal pengaruhnya dibanding mendakwahkan seseorang di samping orang banyak. Sesungguhnya itulah yang menyulitkan mad’u, karena biasanya musuh-musuh Islam akan menakut-nakuti hubungan dakwah yang khusus. Ketika mad’u tersebut belum mantap fikrahnya, ia akan cenderung untuk tidak merespon atau menangguhkan penerimaan (berpikir ulang untuk menerima dakwah).

5. Juga untuk sampai kepada tingkat penyampaian yang berbekas, hendaknya seorang dai harus berdialog dengan mad’unya dengan lemah lembut. Bukan dengan sikap dan kata-kata yang kasar dan menakutkan. Kelembutan yang dimaksud adalah kehalusan sikap terhadap mad’u dan keakraban dengannya. Memilih panggilan yang terbaik untuknya dan pendekatan media yang paling mengena kepada hatinya. Namun bukanlah yang dimaksud kelembutan itu berarti boleh mengabaikan hukum-hukum syariat. Bukan juga untuk membiarkan para pelaku kebatilan dalam kebatilan mereka dan mendiamkan kemunkaran. Karena orang mukmin dalam setiap situasi dan kondisi tidak ada yang ditakutkan, kecuali kepada Allah dan hanya mengharapkan pahala-Nya.

Jika Allah swt. saja menyuruh Nabi Musa a.s mendakwahi Fir’aun dengan lemah lembut, maka tentu harus lebih lembut lagi berdakwah kepada yang lainn. Seorang dai harus selalu menjunjung tinggi syiar kelembutan, ان يكون الين شعار كل دعوة, hendaknya kelemahlembutan senantiasa menjadi syiar setiap langkah dakwah. Firman Allah Ta’ala:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى(43)فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى(44)

“Pergilah kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas (43) maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (44)

Kelemahlembutan dan jauh dari sikap menakutkan tentu lebih kuat mentransfer kata-kata ke dalam hati. Adalah kenyataan banyak dai menadapatkan kesulitan di jalan dakwah disebabkan kata-katanya yang menyinggung perasaan mad’unya. Berdakwah dengan bijak dan nasehat yang baik akan membuat mad’u langsung merasa nyaman dengan dakwah. Sebaliknya, sikap kasar membuat mad’u berpaling dari dakwah. Sebagaimana musuh-musuh Islam menebar kendala di jalan dakwah, tanpa disadari umat Islam juga membuat kendala yang sama di jalan dakwah. Yaitu dengan keburukan prilaku, kegundahannya, keputusasaannya, kepicikan pandangannya, dan kesempitan dadanya. Adapun dai yang sukses adalah yang tidak pernah kehilangan ketepatan dan keseimbangannya apapun kondisi medan dakwahnya.

Berkata Imam Ar-Razy, “Ketahuilah bahwasanya dakwah kepada aliran dan pemikiran harus dibangun di atas argumentasi dan pengetahuan. Yang dimaksud dengan menyebutkan argumentasi adalah baik menegaskan aliran atau keyakinan tersebut ke dalam hati audien, atau maksudnya mengikat lawan bicara dan menundukannya.”

Para dai ilallah senantiasa mengupayakan penyampaian kebenaran dan petunjuk kepada hati setiap makhluk. Mereka bukan orang yang ada dalam kantong pertarungan yang hanya mencari kemenangan dalam mendebat lawan bicara dan juga bukan hanya ingin mengukuhkan keunggulan mereka dan berargumentasi.

Imam Ar-Razy cenderung berpendapat bahwa dakwah dengan bijak dan nasehat yang baik akan mudah memperoleh pengikut. Sedangkan perdebatan yang konstruktif adalah pilihan terakhir yang ditujukan hanya untuk menegakan argumentasi terhadap lawan bicara. Perhatikan firman Allah swt. ini:

إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ(125)

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Pada prinsipnya ayat tersebut menjelaskan bahwa dakwah dibatasi hanya dengan dua pendekatan (بالحكمة والموعة الحسنة.). Adapun perdebatan tidak masuk dalam kategori dakwah, tetapi maksudnya bertujuan untuk membela dakwah dengan menekan dan menundukan lawan bicara. Karena itu Allah tidak berfirman: ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة والجدل الأحسن, Allah memisahkan perintah berdakwah dengan perintah berdebat. Hal ini menegaskan bahwa dakwah dan debat adalah dua hal berbeda. Perdebatan memiliki tujuannya sendiri.


([1]) الجُمَّاز ما في رأس النخلة من اللب، وطعه حلو طيب.

([2]) أخرجه البخاري 1/165 مع فتح الباري.

Redaktur:

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization