Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Memahami Fiqh (bagian 3)

Memahami Fiqh (bagian 3)

Tatabbu’urrukhash Dalam Talfiq

Ada sebagian orang awam yang memilih tatabbu’urrukhas dan pendapat-pendapat yang aneh dalam madzhab-madzhab atau ulama dengan semangat talahhiy (main-main), tasyahhiy (senang-senang), atau mencari yang paling gampang. Ini boleh atau tidak?

Mayoritas ulama melarang talfiq yang demikian karena sudah berubah menjadi mengikuti selera. Syari’at Islam melarang kita mengikuti nafsu. Ibnu Abdul Barr menyebutkan ijma’ larangan ini.

Sebagian ulama membolehkannya dalam beberapa madzhab, karena tidak ada larangan dalam syari’at yang melarangnya. Al-Kamal bin Al Hammam berkata dalam kitab At-Tahrir, “Sesungguhnya seorang muqallid dipersilakan mengikuti yang dia kehendaki, meskipun seorang awam mengambil setiap masalah dengan ucapan mujtahid yang lebih ringan baginya, saya tidak tahu apa yang melarangnya secara naqli dan aqli. Keberadaan manusia yang mencari apa yang lebih ringan baginya dari pendapat para mujtahid yang ahli berijtihad, saya tidak mengetahui celaannya dalam syari’at Islam. Dan adalah Rasulullah saw. menyukai apa saja yang meringankan umatnya.”

Benar, bahwa tidak ada perbedaan hukum syar’i antara rukhshah dan azimah, selama masih hukum syar’i yang memiliki dalil sahih. Jika diperbolehkan talfiq dalam masalah pokok, maka tidak ada sisi larangan untuk memilih yang mudah-mudah selama rukhshah itu memiliki dalil syar’i. Tidak bisa dikatakan bahwa hukumnya makruh jika tidak ada dharurat atau udzur, dan diperbolehkan tanpa maakruh jika ada kondisi dharurat atau udzur. Rasulullah saw. “tidak pernah diberi pilihan dua hal, kecuali memilih yang paling mudah selama tidak ada dosa” (muatan hadits ini dengan redaksi yang berbeda-beda dalam shahih Bukhari Muslim, Muwaththa’ Malik, Musnad Imam Ahmad dan Sunan Ad Darimiy). Prinsipnya setiap muslim diberi kebebasan memilih antara pendapat-pendapat produk ijtihadiyah yang berbeda-beda, dan insya Allah pendapat-pendapat itu tidak ada dosa.

Perlu diingatkan bahwa talfiq hanya berlaku dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang zhanniy (hipotesis). Sedangkan untuk masalah-masalah yang bersifat qath’iy tidak ada ruang untuk memilih rukhshah atau talfiq di sana. Sebagaimana jika talfiq atau mencari rukhshah itu menyeret kepada pelanggaran agama, maka hukumnya haram seperti jika dengan talfiq itu menyebabkan khamr, zina, dan perbuatan haram lainnya yang qath’iy menjadi mubah. Hal ini tidak mungkin menjadi halal, baik dengan talfiq maupun dengan cara lain.

Aktivis Islam Dan Ilmu Fiqh

Setelah runtuhnya khilafah Utsmaniyah pada awal abad 20, maka secara alami para da’i dan ulama bergerak untuk mengembalikan pemerintahan yang Islami dalam kehidupan umat Islam, maka lahirlah pergerakan-pergerakan dan partai, muncul lembaga-lembaga, dan tampil para ulama yang semua bergerak untuk tujuan itu dengan menganggapnya sebagai kewajiban agama.

Kebangkitan Islam yang dikumandangkan di masa sekarang ini, mengcover ruang yang sangat luas dalam masyarakat muslim, pemerintahan, dan partai; sangat membutuhkan upaya untuk menaikkan syi’ar (benderanya) melipatgandakan gelombangnya, disadari atau tidak.

Gelombang kebangkitan ini dalam banyak sisi masih berupa semangat dan perasaan yang masih sangat membutuhkan pemahaman sehingga mampu memainkan perannya dengan signifikan. Al-wa’yu (keterjagaan) yang bersih hanya bisa dibangun lewat tafaqquh (pemahaman) yang benar terhadap madzhab-madzhab yang ada di zaman sekarang ini yang sesuai dengan situasi amal Islami kontemporer. Di antara kontribusi positif dalam penyadaran pemahaman yang bersih, berikut ini beberapa masalah penting, yaitu:

1. Belajar dan Pengajaran Fiqh

Belajar dan mengajarkan fiqh Islam adalah kebutuhan setiap orang yang melakukan amal Islami. Sesungguhnya setiap orang yang mengajak kepada Islam, orang yang memulai hidup Islami, harus dimulai dari diri sendiri dan belajar bagaimana menjadi pribadi yang hidup Islami, komitmen dengan masalah halal dan haram dalam ibadah maupun muamalah, dan bahkan setiap sisi hidupnya. Ini semua tidak akan terwujud tanpa belajar fiqh.

Dari itulah kami nyatakan bahwa apapun harakah (gerakan) Islamiyah yang dilakukan dengan serius mengharuskannya untuk mempelajari fiqh, kemudian mengajarkannya kepada kaum muslimin. Karena mengetahui hukum agama adalah langkah pertama untuk iltizam dengan agama itu. Iltizam seseorang secara individu terhadap hukum-hukum ini adalah juga langkah yang harus dilakukan untuk mengantarkan umat Islam seluruhnya iltizam dengan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupannya.

Ada sebagian orang yang menyalah-pahami pandangan Sayyid Quthb –yang mengatakan bahwa “tidak menyetujui penggunaan fatwa Islam dalam setiap persoalan masyarakat modern yang menolak berhukum dengan Islam sejak awal”; “Usaha untuk mengembangkan fiqh Islam untuk menghadapai situasi dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat modern adalah upaya menabur benih di udara.”; “Usaha yang menyadarkan masyarakat ini untuk tunduk kepada hukum Allah, kemudian setelah itu fiqh akan berkembang untuk menjawab kebutuhan yang ada secara nyata, dan mencari solusinya” (cuplikan dari buku”Al-Islam wa Musykilatul-hadharah”, Sayyid Quthb)—dengan menyimpulkan bahwa Sayyid Quthb menyerukan untuk meninggalkan fiqh.

Orang yang membaca pernyataan Sayyid Quthb ini dengan obyektif akan berkesimpulan bahwa yang dimaksudkan adalah upaya pembaharuan dan pengembangannya, bukan kekayaan fiqh yang telah diwariskan oleh para Ulama dan para Imam, yang di dalamnya telah diuraikan halal dan haram, peninggalan yang sangat besar yang selalu bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, berangkat dari keduanya, meskipun sering diwarnai oleh warna zaman fiqh itu ditulis. Tidak mungkin ada seorang muslim yang tidak membutuhkan kekayaan fiqh ini. Sayyid Quthb mengharapkan usaha pemahaman dan komitmen dengan hukum-hukum syar’i itu. Inilah yang ditulis Sayyid Quthb, “Tinggallah kewajiban untuk komitmen dengan hukum-hukum Islam itu yang harus ditegakkan di setiap pundak kaum muslimin yang berada dalam tatanan masyarkat jahiliyah, dan bergerak menghadapi jahiliyah itu untuk menegakkan sistem yang Islami.…”(Fi Zhilal Al-Qur’an juz 13 halaman 21).

Jika iltizam dengan hukum syar’i menjadikan kewajiban, maka mempelajari, memperhatian, dan mengajarkannya menjadi kewajiban yang aksiomatik. Ini juga menjadi konsekuensi logis dalam upaya penegakan masyarakat Islami dan mengembalikan hukum Allah di muka bumi. Tidak ada yang bertentangan.

2. Metode Belajar dan Pengajaran Fiqh

Tidak diragukan lagi bahwa terdapat perbedaan serius dalam mempelajari dan mengajarkan fiqih antara metode madzhab dengan metode salaf. Kita menyadari bahwa perbedaan itu telah mengalami penggelembungan yang jauh dari kenyataannya oleh sebagian kelompok sektarian di sana-sini, sehingga menyebabkan sikap mengkafirkan atau menganggap sesat kelompok lain yang berbeda pandangan. Kita menyadari bahwa wajah dan peran fiqih dalam kehidupan umat Islam tidak akan terwujud dengan baik kecuali dalam payung negara yang Islami. Maka, bekerja untuk menegakkan negeri yang Islami adalah problem utama umat Islam, sedang perbedaan pengajaran fiqh antara madrasah para madzhab dan madrasah salaf harus dipertahankan dalam batas dialog yang dipenuhi rasa ukhuwwah untuk mencapai yang paling afdhal.

Sedang sikap sebagian umat Islam yang membiarkan musuh-musuh Islam merekayasa untuk mencerabut hukum-hukum Islam yang ada, dan menyibukkan umat dengan perang saudara yang menghabiskan banyak energi tanpa ada hasilnya, tidak akan pernah memberikan kebaikan bagi Islam atau bagi dua madarasah fiqh itu. Sebab jika ada yang merasa meraih kemenangan semu, maka tidak akan pernah ditemukan dalam kemenangan itu dampak positif, setelah hukum dan fiqh Islam telah tercerabut dari realitas umat Islam dan digantikan dengan hukum produk yang lain.

Kita lihat bahwa kedua metode fiqh itu diajarkan Islam, dapat diterima dan bermanfaat, dengan syarat para pembawa madrasah fiqh madzhab menyadari bahwa fiqh madzhab bukanlah pengganti dari fiqh Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi menyadarinya sebagai rincian dan pencabangan dari kedua sumber itu. Sehingga yang baku hanyalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Sebagaimana para pengusung madrasah fiqh salaf untuk menyadari bahwa khilaf (perbedaan) memahami Al-Kitab dan As-Sunnah adalah realitas syar’i, dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh umat manusia dengan satu pemahaman saja. Sebagaimana tidak meungkin menjadikan kemampuan seluruh manusia dengan satu standar pemahaman. Dan bahwa orang yang tidak mampu memahami teks Al-Qur’an dan As-Sunnah sendiri, maka diperbolehkan untuk merujuk kepada para ulama dan para imam yang membantunya memahami agama, khususnya empat imam madzhab yang madzhabnya telah diterima oleh umat Islam, juga imam-imam lain, termasuk ahul bait Nabi, ulamanya para sahabat Nabi, dan Tabi’in jika dapat memperoleh pendapat mereka yang sahih dan valid.

Kita seyogyanya berpendapat bahwa ruang lingkup amal Islami harus mencakup dua madrasah itu, karena kewajiban syar’i menghendaki keduanya. Suasana tsiqah (saling percaya) dan mahabbah (cinta) harus merata kepada seluruh umat sehingga mereka dapat bersama-sama menghadapi perang besar melawan musuh-musuh Islam. Karena itu:

a. Mempelajari dan mengajarkan fiqh sesuai dengan salah satu madzhab empat imam adalah masyru’, tetapi disarankan untuk mencari rujukan pendapt para madzhab itu kepada sumber utamanya, yaitu Al Kitab dan As Sunnah. Dan hendaklah orang yang mempelajarinya menengok pendapat masdzhab lain, jika memungkinkan. Dijelaskan kepadanya juga bahwa pendapat-pendapat yang lain itu juga benar, dan sangat boleh baginya untuk berpindah mengikuti pendapt itu jika merasa lebih cocok –jika memiliki cukup alasan syar’i, atau ketika dalam kondisi darurat. Seorang da’i yang bisa mengkaji perbedaan pendapat dalam satu masalah akan menjadikannya lebih lunak bersama dengan orang lain, tidak kecewa kepada mereka, karena satu pendapat lalu menuduhnya sesat, karena ada pendapat lain, membuka perang horizontal tanpa ada alasan yang membenarkan.

b. Mempelajari dan mengajarkan fiqh langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah juga masyru’, dan merupakan dasar kajian. Namun melihat pandangan para ulama dan madzhab-madzhab yang ada merupakan dharuriyah (kaharusan) untuk memahami teks dengan baik. Hal ini sangat dibutuhkan oleh para da’i yang berinteraksi dengan kaum muslimin secara luas yang menjadi pengikut salah satu madzhab. Masalah fundamental bagi para da’i bukan mengeluarkan jumhurul ummat dari pandangan satu imam kepada imam lainnya dalam masalah furu’iyah, akantetapi agenda utamanya adalah mengentaskan jumhurul ummat ini dari hukum jahiliyah buatan manusia untuk menegakkan syari’at Allah. Dari itu tidak ada gunanya menyuruh orang meninggalkan madzhab yang telah dipilih, untuk mengikuti ijtihad sang da’i, dengan dalil bahwa itu bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Harus diketahui bahwa mayoritas pendapat yang dinisbatkan kepada nash sesungguhnya hanyalah sekedar pemahaman terhadap nash itu, dan tidak ada yang bisa menghalangi keberadaan pemahaman lain. Dan bahwasannya pendapat para imam madzhab minimal adalah pemahaman yang lain yang memiliki dalil.

c. Kita sangat mengharapkan kalau para aktivis Islam dan para da’i adalah orang-orang yang mampu mengkaji hukum-hukum agama beserta dalilnya. Dapat diselenggarakan bagi mereka itu forum-forum diskusi dari waktu ke waktu seputar masalah-masalah yang diperselisihkan dalam suasan penuh mahabbah dan penuh tsiqah. Forum-forum itu akan memperluas pandangan dan wawasan kita. Barangkali ada titik temu antara mereka itu dalam satu pandangan, meskipun titik temu itu tidak akan pernah menjadi satu-satunya pandangan bagi seluruh umat Islam.

3. Fiqh amal Islami atau Fiqh Perubahan

Sesungguhnya amal Islami sekarang ini bertujuan untuk membangun masyarakat Islami dan negara yang Islami. Hal ini harus menjadi agenda utama dalam kehidupan setiap muslim, karena itu merupakan perintah agama yang sangat penting yang jika diwujudkan maka seluruh perintah agama lainnya akan terlaksana. Dan jika belum terealisasikan, maka seluruh ajaran agama yang lain akan tersembunyi dan terkontaminasi.

Sesungguhnya usaha kaum muslimin, dalam level ulama, pergerakan, dan golongan untuk menegakkan hukum Islam, harus dipandu juga dengan fiqh syar’i, baik dalam pembatasan marhalah (level), atau metodenya dan segala yang berhubungan dengannya. Fiqh jenis ini tidak pernah dibahas oleh para ulama kita di masa lalu, karena mereka memang tidak membutuhkannya. Fiqih inilah yang disebut oleh Sayyid Quthb dengan “Fiqhul Harakah” sebagai bandingan dari “Fiqhul Auraq (kertas)” yang tidak dapat mewakili keseluruhan fiqhut-turats, tetapi hanya bermuatan sebagian sisi fiqh yang masih merupakan ungkapan di atas kertas dan belum terealisir. Sedangkan fiqhul-halal wal haram yang diterapkan secara pribadi, maka tidak disebut Sayyid Quthb sebagai fiqhul-auraq. Fiqh inilah yang diserukan untuk ditekuni dan diamalkan dengan sepenuh hati.

Fiqh yang harus dipelajari setiap aktivis Islam hari ini adalah pendalaman hukum-hukum yang mengharuskan amal Islami modern ini, baik dari sisi pentahapan amal, metode amal, hubungan dengan orang lain yang muslim maupun non-muslim, dengan seluruh muatan hubungan ini mulai dari perdamaian, gencatan senjata, koalisi, peperangan, dan lain-lain sehingga perjalanan para aktivis itu dipandu oleh bukti dan petunjuk yang jelas. Fiqh semacam ini tidak untuk menggantikan fiqhul-ibadat dan muamalah serta bab fiqh lainnya. Fiqh ini hanya sebagian dari fiqh itu. Para ulama telah mengkajinya sesuai dengan suasana saat itu, dan sekarang membutuhkan pengkajian ulang dalam ruang lingkup kondisi sekarang.

Dua fiqh ini (fiqhut-turats dan fiqhul harakat) sangat dibutuhkan dan menjadi kewajiban, sedangkan fiqhul-auraq adalah fiqh yang ditolak meskipun bagian dari peninggalan klasik. Itulah fiqh yang mengada-ada masalah yang pernah ditolak oleh para imam di masa lalu. Mereka berkata kepada penanya masalah yang mengada-ada itu dengan pernyataan, “Biarkan sampai ada dahulu.” Itulah cara mereka ketika hukum Islam telah tegak berdiri, apakah pantas di zaman sekarang ini untuk kita mengurusi masalah-masalah yang tidak terjadi, dengan melupakan problematika umat Islam yang lebih besar dan serius?

4. Diantara Keistimewaan Fiqh Islam adalah Lengkap dan Realistis

Sesungguhnya fiqh Islam yang komprehensif, dan perhatiannya terhadap seluruh problema umat Islam dalam skala personal dan komunal, adalah sesuatu yang aksiomatik, karena fiqh itu merupakan produk dari ajaran Islam yang komprehensif. Fiqh yang tidak melarang untuk memberikan perhatian lebih pada salah satu sisi fqih daripada sisi lainnya, jika memang kebutuhan kepadanya lebih besar. Yang dilarang oleh fiqh Islam adalah mengabaikan salah satu sisi fiqh dengan pengabaian total, dan membengkakkan perhatian pada fiqh lainnya. Jika fiqh ibadah telah mendapatkan porsi besar dalam sejarah Islam karena situasi yang telah kita ketahui semua, maka hal ini tidak boleh membuat kita meninggalkan sisi fiqh lainnya. Sangat mungkin menjadi kewajiban atau yang lebih bermanfaat bagi umat kita hari ini adalah pendalaman dan pengorisinilan fiqhul harakah agar serasi dengan fiqhul ibadah.

Fiqh Islam adalah fiqh yang riil. Definisi fiqh seperti yang tersebut di atas adalah sekumpulan hukum Islam yang wajib ditaati setiap muslim dalam kahidupan praktisnya. Dengan demikian, fiqh Islam bukan fiqh yang mengada-ada. Realitas fiqh Islam mengharuskan perhatian fiqh itu untuk menjelaskan hukum-hukum syar’i dalam setiap masalah yang terjadi. Dan masalah terpenting yang dihadapi kaum muslimin hari ini adalah usaha untuk mengembalikan kejayaan hukum Islam. Maka fiqh Islam harus pula menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan usaha ini.

Kelengkapan dan relitas fiqh Islam pada zaman sekarang ini mengharuskan kita untuk memberikan perhatian utuh kepada fiqhut-turats dan fiqhul harakah sehingga keduanya saling melengkapi. Kita tidak boleh sekalipun menjadikan dua fiqh ini saling berhadap-hadapan (diadu). Seorang da’i tanpa fiqh seperti orang yang berjalan di padang pasir tanpa bekal; dan ahli fiqh yang tidak terlibat dengan aktivitas saudaranya dalam memikul beban berat usaha mengembalikan kekuasaan Islam –sedangkan ia orang yang pertama kali mengetahui hukum wajibnya atas setiap muslim– ia tidak akan pernah menjadi contoh kebaikan sebagai seorang ulama yang mengamalkan ilmunya.

Redaktur:

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (3 votes, average: 9.67 out of 5)
Loading...

Tentang

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com

Lihat Juga

Ustadz Abdul Somad yang Terpanggang dari Dua Arah

Figure
Organization