Topic
Home / Berita / Nasional / Molornya RUU Pemilu Karena Perdebatan Calon Presiden Tunggal di Pemilu 2019

Molornya RUU Pemilu Karena Perdebatan Calon Presiden Tunggal di Pemilu 2019

dakwatuna.com. Jakarta. Salah satu dari 15 isu krusial yang belum diputuskan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu adalah kemungkinan munculnya calon presiden dan wakil presiden tunggal pada Pemilu 2019.

Perdebatan soal terbuka atau tidaknya peluang kemunculan calon presiden tunggal masih menimbulkan perdebatan antar anggota dewan.

Ada dua opsi yang muncul dalam isu calon presiden dan wakil presiden tunggal pada RUU Penyelenggaraan Pemilu, yakni menerima atau menolak calon tunggal.

Menurut peneliti Populi Centre Rafif Pamenang Imawan, calon tunggal di Pemilu 2019 seharusnya dihindari oleh pemerintah dan DPR. Ia memandang banyak dampak negatif yang bisa muncul jika calon tunggal diizinkan mengikuti Pemilu mendatang.

Calon tunggal dalam pemilu, menurutnya, hanya bisa terwujud jika pemilihan dilakukan dalam skala kecil seperti di tingkat desa, kabupaten, kota, atau provinsi. Sementara, calon tunggal dianggap berbahaya jika muncul pada pemilu tingkat nasional karena banyaknya kepentingan politik.

“Pada scope daerah masih dimungkinkan calon tunggal, karena outputnya bupati atau gubernur terpilih mengelola persoalan yang masih dalam jangkauan. Beda dengan tingkat nasional, orang akan kembali ke memori Orba kalau didorong calon tunggal,” ujar Rafif kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/5).

Banyaknya kepentingan politik dianggap mampu menimbulkan politik transaksional di Pemilu tingkat nasional. Jika calon tunggal presiden dan wakil presiden diloloskan, transaksi-transaksi yang ditakutkan itu akan terkonsentrasi pada sosok pasangan tunggal tersebut.

Selain politik transaksional, calon tunggal juga bisa mengokohkan dominasi elit politik. Peneliti lulusan Universitas Gadjah Mada itu menilai, jika dominasi elit terbentuk maka sentrum politik akan bergeser dari rakyat ke segelintir orang di lingkar dalam kekuasaan.

“Elit yang sekarang saja sudah dominan, menjadi kian dominan dalam praktek politik transaksional. Rakyat tidak lagi menjadi sentrum dari politik,” ujarnya.

Tak hanya menyoroti kemungkinan munculnya calon tunggal pada Pemilu, Rafif juga menanggapi wacana pendanaan kampanye menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Ia melihat tidak ada urgensi pendanaan kampanye melalui APBN pada 2019 nanti. Alih-alih mendukung pendanaan melalui anggaran negara, Rafif justru meminta partai politik untuk mendorong keterikatan warga terhadap mereka dengan cara melakukan kampanye yang efektif saat pemilu.

“Hanya segelintir orang elit DPP atau DPD di partai yang punya akses untuk menggunakan dana tersebut. Ini tidak menyehatkan karena orang akan berlomba untuk mendapatkan akses dana serta berlomba dengan petinggi partai agar dapat menang dalam nominasi terbuka atau tertutup,” katanya.

Isu calon presiden tunggal dan sumber pendanaan kampanye kemungkinan akan diputuskan melalui voting di DPR RI.

Isu krusial lain yang akan divoting oleh DPR yakni syarat pemilih, status KPU Kabupaten/ Kota, izin Presiden bagi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang hendak mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres, perselisihan parpol peserta pemilu, jumlah kursi DPR, district magnitude DPR, dan district magnitude DPRD.

Isu lain adalah penyebaran bahan kampanye dan pemasangan alat peraga kampanye, pemasangan alat peraga kampanye, iklan media massa cetak dan elektronik, serta debat pasangan calon.

Selain itu soal pelaksanaan iklan media massa elektronik, dana kampanye paslon Presiden/ Wapres; surat suara pilpres, keterwakilan perempuan, persyaratan parpol menjadi peserta pemilu. Dilansir CNN Indonesia

Redaktur: Samuri Smart

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Asal Sulawesi Tenggara, hobi mencatat segala inspirasi

Lihat Juga

Pernyataan Sikap PP Muhamamdiyah Jelang Hari Pencoblosan

Figure
Organization