Topic
Home / Berita / Opini / Melihat Penciptaan Mengimani Kebangkitan

Melihat Penciptaan Mengimani Kebangkitan

 

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Salah satu hal yang wajib kita imani adalah adanya kebangkitan setelah kematian. Bagaimana manusia diciptakan dan bagaimana pula manusia kelak dibangkitkan? * Mari kita tadabburi firman Allh SWT berikut ini:

أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (٣٧)ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى (٣٨)فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأنْثَى (٣٩)أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى (٤٠

Bukankah Dia (manusia) dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan. Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 37-40)

Ayat-ayat tersebut menarik untuk diperhatikan:

Pertama: Dari sisi ilmu qiraat. Pada ayat ke 37, orang-orang di Kufah dulu ada yang membaca, “tumna” dengan huruf “ta”, sedangkan bacaan dengan huruf “ya” populer di Mekkah dan Bashrah (Iraq). Mushaf yang kita pegang sekarang menggunakan bacaan dengan huruf “ya” (Lihat tafsir al-Qurtubi).

Mengapa bisa berbeda bacaan? Jika dibaca dengan huruf “ta”, punya pemahaman, penciptaan manusia berawal dari “sperma yang memancar”. Maka, hanya sperma jantan-lah yang berhasil bertemu dengan indung telur. Karena itu pula, dalam ayat lain, Allah SWT berfirman,

إِنَّا خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur (memancar) yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS al-Insaan: 2)

Jika dibaca dengan huruf “ya”, memiliki pemahaman, penciptaan manusia adalah bermula dari bagian kecil (satu) sel sperma dari jutaan sel sperma yang ada. Imam al-Qurtubi menyimpulkan, kedua model bacaan itu dapat dibenarkan karena kedua-duanya shahih dan memiliki pemahaman yang benar.

Kedua: Apakah pada wanita terdapat “mani” yang memancar juga? Kisah berikut ini menarik untuk dicermati. Suatu hari Ummu Salamah bertanya, “Ya Rasulallah, sesungguhnya Allah tak malu mengungkap kebenaran, apakah jika seorang wanita bermimpi, dia wajib mandi?” Rasulallah SAW menjawab, نعم إذا رأت الماء “Ya, jika dia melihat air (dari kemaluannya)”.

Teks hadits itu berbunyi, “na’am idza raat al-ma” Kata yang digunakan Rasulallah SAW secara jelas adalah “al-ma” atau “air”. Jadi kewajiban “mandi besar” pada wanita, adalah karena keluarnya “sesuatu” dari mimpinya itu.

Lalu, apakah “air” itu yang menjadi unsur pembentukan embrio (janin)? Bukan. Embrio terbentuk karena sperma laki-laki (mani) yang berwarna putih lalu bercampur dengan indung telur perempuan yang berwarna kekuning-kuningan.

Dalam hadits lain, Rasulallah SAW menyebutkan, ماء الرجل ابيض وماء المرأة اصفر “air laki-laki berwarna putih, dan air perempuan berwana kekuning-kuningan”.

Air di hadits ini bermakna mani atau “sperma” bagi laki-laki dan “indung telur” bagi perempuan. Air-air tersebut, apabila keluar, keduanya memancar dengan tingkat intensitas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan sebagaimana Al-Qur’an tegaskan:

فَلْيَنْظُرِ الإنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ (٥)خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ (٦)يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. (At-Thariq 5-7)

Ketiga: Setelah sperma dan indung telur bertemu, Allah proses menjadi segumpal darah. Allah SWT berfirman, kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya.

Pada ayat ini, Allah SWT menggunakan kata “alaqah” yang umumnya kita terjemahkan menjadi “segumpal darah”. Apa maksudnya?

Kata ‘alaqah memiliki tiga makna. Pertama: gumpalan darah. (Blood clot). Kenapa harus menjadi gumpalan darah? Pada awal pekan ketiga kehamilan, jantung yang tersekat bergabung dengan pembuluh darah membangun sebuah sistem cardio-vaskular. Dan pada akhir pekan ketiga (hari ke-21), darah mengalir ke dalam embrio itu, maka jantung mulai berdetak.

Kedua: bergelantungan. Kita mungkin berfikir, “tali pusar”, tapi pemahaman itu tidak tepat, sebab embrio baru di pekan ketiga dan belum sempurna penciptaannya. Ternyata, ilmu kedokteran menemukan, pembentukan “tali pusar” memerlukan “alat penghubung” (connecting stalk), dan — masya Allah — alat penghubung atau gantungan itu Allah ciptakan ketika masih berbentuk “gumpalan darah”.

Ketiga: Lintah. Kok lintah, apa hubungannya? Pada usia embrio dua puluh lima hari, gumpalan darah itu persis seperti lintah, mulai dari bentuk hingga anatomi tubuhnya. Sekilas, lintah terlihat seperti tidak memiliki tulang. Padahal, jika kita menggunakan x-ray, ia memiliki anatomi yang sempurna, termasuk mulut. Dan, embrio manusia di usia itu disebut sebagai lintah sebab memang sangat mirip dengan lintah.

Pada empat belas abad lalu, Allah SWT sudah sangat detail menceritakan penciptaan manusia, maka kuasa Allah untuk membangkitkan manusia adalah hal yang sangat mudah. Mari kita perhatikan ayat ke 3-4 surah al-Qiyamah. Allah SWT berfirman:

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ

بَلَىٰ قَادِرِينَ عَلَىٰ أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ

Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.

Berabad-abad lamanya, para ahli tafsir “tidak tuntas” menafsirkan ayat tersebut. Mengapa Allah memberi contoh kemampuan-Nya dengan mengembalikan ujung jari? Karena itu, Imam Al-Qurtubi bahkan hanya menafsirkan, “jika pada pengembalian jari saja mampu dilakukan, maka demikianlah pada tulang-belulang”.

Penafsiran al-Qurtubi (dan para ulama tafsir lainnya) itu baru menemukan jawaban yang tuntas setelah Professor Jan Evangelista Purkyně (1787–1869), dari Universitas Breslau, Republik Ceko, menemukan sembilan formula sidik jari.

Artinya, pada setiap manusia, sidik jarinya berbeda. Menurut seorang ahli, kemungkinan (probabilitas) kesamaan sidik jari adalah satu pada setiap dua milyar manusia. Al-Qur’an telah menegaskan itu, yaitu bahwa pada saat kiamat nanti, ketika orang-orang kafir berkata, apakah mungkin Allah mengembalikan manusia sementara telah menjadi tulang belulang, Allah menjawab bahwa Dia bahkan mampu mengembalikan manusia kepada setiap sidik jarinya.

Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kamu dustakan! Allahu akbar! (sb/dakwatuna.com)

* Makalah disampaikan pada acara Majelis Tasbih Universitas Djuanda, Bogor. 07 April 2017

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Perlunya Belajar Tafsir Al-Qur’an Bagi Setiap Muslim

Figure
Organization