Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Fitnah dan Konflik Umat (Bagian Terakhir)

Fitnah dan Konflik Umat (Bagian Terakhir)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (irontreedesigns.co.uk)

dakwatuna.com – Fitnah ini merupakan konspirasi dunia barat dan rencana musuh Islam untuk membagi-bagi kembali posisi dunia baru Islam. Di antara fitnah-fitnah yang berlaku saat ini di dunia Islam, khasnya di Timur Tengah, dan berkaitan dengan tanda-tanda kiamat kecil adalah seperti berikut (lanjutan):

4) Satu Dari Tiga Doa Nabi Yang Tidak Dikabulkan Allah

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا صَلَاةً فَأَطَالَ فِيهَا فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْنَا أَوْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَطَلْتَ الْيَوْمَ الصَّلَاةَ قَالَ إِنِّي صَلَّيْتُ صَلَاةَ رَغْبَةٍ وَرَهْبَةٍ سَأَلْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لِأُمَّتِي ثَلَاثًا فَأَعْطَانِي اثْنَتَيْنِ وَرَدَّ عَلَيَّ وَاحِدَةً سَأَلْتُهُ أَنْ لَا يُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَعْطَانِيهَا وَسَأَلْتُهُ أَنْ لَا يُهْلِكَهُمْ غَرَقًا فَأَعْطَانِيهَا وَسَأَلْتُهُ أَنْ لَا يَجْعَلَ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ فَرَدَّهَا عَلَيَّ

Dari Mu’adz bin Jabal dia berkata, “Suatu hari Rasulullah saw pernah melaksanakan shalat dengan memanjangkan doanya, setelah selesai shalat kami bertanya -atau mereka berkata-, “Wahai Rasulullah, (mengapa) hari ini Anda memanjangkan shalat?” beliau menjawab, “Sesungguhnya aku telah berdoa dengan penuh rasa harap dan kekhawatiran, saya memohon kepada Allah ‘azza wajalla untuk umatku tiga perkara, namun Dia (Allah) hanya mengabulkan dua perkara untukku dan menolak satu perkara. Aku memohon kepada-Nya agar mereka (umat Islam) tidak dibinasakan musuh dan Dia mengabulkannya. Kemudian aku meminta agar Allah tidak mencela mereka dengan ditenggelamkan dan Dia juga mengabulkan permintaanku. Dan aku juga memohon kepada-Nya supaya tidak menjadikan mereka saling bermusuhan sesama mereka, namun Allah mengembalikannya kepadaku (menolaknya) “. (Sunan Ibnu Majah, no: 3941).

Hadis di atas menjelaskan betapa perhatiannya Nabi Muhammad saw terhadap umatnya, sehingga beliau memanjatkan doa khas demi kebaikan umatnya, dengan meminta Allah untuk tidak membinasakan umat Islam dari tangan musuh-musuhnya, meminta Allah untuk tidak membinasakan umatnya dengan berbagai bencana dan malapetaka, alhamdulillah kedua permintaan ini dikabulkan terus oleh Allah swt, namun permintaan dan doa khas beliau yang terakhir tidak dikabulkan oleh Allah swt, yaitu permintaan supaya umatnya tidak bertikai dan berperang antara satu sama lain.

Namun perlu dicermati lebih mendalam, bahwa ditolaknya permintaan Nabi yang terakhir, bukan berarti umat Islam antara sesama memang telah ditakdirkan untuk saling bermusuhan dan berperang. Karena sebenarnya, Allah sendiri ingin menguji sikap dan keikhlasan hamba-Nya dalam menegakkan kalimat tauhid di dalam hati mereka. Allah telah memberikan arahan kepada mereka untuk bersatu dalam jalan Allah:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (Al Imran, 103).

Oleh karena itu tidak tepat kalau ada yang mengatakan bahwa sikap keras dan fanatik setengah umat dan peperangan mereka sesama Islam memang sepatutnya wujud. Hal yang sama tatkala Allah swt memberikan izin kepada Iblis untuk menggoda anak keturunan nabi Adam as. hingga hari kiamat. Izin ini tentu tidak dapat diartikan bahwa anak keturunan Adam memang sudah ditakdirkan untuk tergoda dan teperdaya oleh tipuan Iblis. Jadi keduanya adalah bentuk cobaan dan ujian Allah kepada umat Nabi Muhammad saw untuk melihat nilai kekuatan iman mereka dalam menghayati dan melaksanakan seruan Allah swt untuk bersatu, dan Allah ingin melihat siapakah di antara mereka yang melakukan kebaikan dan kerusakan di muka bumi.

5) Manusia Cinta dunia dan takut mati.

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

Dari Tsauban ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hampir-hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk.” Seorang laki-laki berkata, “Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?” beliau menjawab, “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian Al wahn.” Seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Al wahn?” beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati”. (Sunan Abu Daud, no: 3745).

Ini merupakan prediksi Nabi Muhammad saw bahwa umat Islam sepeninggal beliau nanti akan mengalami penyakit “Wahn” yaitu kecintaan manusia kepada dunia sehingga menimbulkan perasaan di hati takut mati.

Bagi seorang yang beriman akan merindukan kebahagiaan abadi di akhirat, dengan itu ia akan selalu siap menghadapi kematian, tidak takut mati serta senantiasa berusaha berbekal sebanyak-banyaknya menghadapi kematian, sebab ia tahu bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah bersifat sementara dan tidak kekal abadi (Fana). Oleh karena itu semua kenikmatan dunia yang diraih sepanjang perjalanan hidupnya akan ditinggalkan begitu sahaja ketika nyawanya dicabut oleh Allah dan keluar dari badannya. Sungguh diri manusia sekali kala akan terkagum-kagum dengan dunia dan kemewahannya, ia begitu terpesona sampai lupa daratan. Dunia pun dicari dan dikejar-kejar tanpa henti dan tidak merasa puas dengan yang ada. Allah swt telah memberikan gambaran nyata bahwa segala yang dimiliki oleh manusia di dunia akan ditinggalkan, firman Allah swt:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (Al-Hadid, 20)

Fenomena ini begitu terasa, dan sangat mudah dibuktikan dalam dunia realita saat ini. Sebab begitu banyak orang yang hanya mengisi kehidupannya untuk mengejar dunia hingga tanpa terasa ia telah melupakan akhiratnya. Halal dan haram tak mampu ia bedakan, baik dalam makan minum, pergaulan dan cara berpakaian. Oleh karena itu sangat keliru jika seseorang menganggap tujuan hidup ini hanya untuk dunia semata:

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُم بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

“Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”. (Al-Jaatsiyah, 24)

Sesungguhnya Islam sebagai agama yang sempurna dan komprehensif tidak melarang umatnya memiliki dunia, hidup mewah dan kaya raya, namun Islam menghendaki umatnya untuk seimbang dalam menyikapi dunia artinya dunia bukanlah tujuan akhir hidupnya melainkan ia sebagai media untuk beramal, harta yang ia dapat perlu ditunaikan hak zakat dan sedekahnya kepada orang di sekeliling yang memerlukan bantuan.

Dengan demikian penyakit “Al-Wahn” akan terpaut dalam diri manusia jika selalu berpikiran rakus terhadap dunia tanpa memikirkan sedikit pun kematian, ia hanya berpikir setiap waktu bagaimana caranya agar hartanya semakin bertambah banyak dan melimpah ruah, ingin selalu menjadi dirinya sebagai pusat perhatian orang lain, selalu ingin bersaing dengan orang lain untuk meraih cita-cita duniawi, menilai orang lain berdasarkan status sosialnya di dunia, ingin menikmati hidup ini sepuasnya, memiliki sifat hasad dengki, jika ia melihat orang lain mendapatkan nikmat Allah swt, maka ia rasa iri hati (hasad) dan dengki serta ingin memilikinya juga sambil berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut, kesimpulannya ia ingin semua yang ada di dunia dimilikinya.

6) Menjual agama dengan materi duniawi.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَكُونُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ فِتَنٌ كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ أَقْوَامٌ دِينَهُمْ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا

Dari Anas bin Malik dari Rasulullah saw bersabda, “Pada akhir masa menjelang kiamat akan terjadi fitnah/kekacauan, seperti waktu malam yang gelap gulita, ketika itu seseorang beriman di waktu pagi hari namun menjadi kafir pada sore harinya, dan sore hari beriman namun pagi harinya menjadi kafir, segolongan orang menjual agama mereka dengan materi duniawi”. (Sunan Tirmizi, no: 2123).

Hadis ini merupakan sindiran keras dan tajam bagi ulama suu’ atau ulama jahat yang menjual agama demi kepentingan pribadi. Dikuatkan oleh hadis lain yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda:

ﻭَﻳْﻞٌ ِﻷُﻣَّﺘِﻲْ ﻣِﻦْ ﻋُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺍﻟﺴُّﻮْﺀِ ﻳَﺘَّﺨِﺬُﻭْﻥَ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺗِﺠَﺎﺭَﺓً ﻳَﺒِﻴْﻌُﻮْﻧَﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَﺮَﺍﺀِ ﺯَﻣَﺎﻧِﻬِﻢْ ﺭِﺑْﺤﺎً ِﻟﻸَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﻻَ ﺃَﺭْﺑَﺢَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗِﺠَﺎﺭَﺗَﻬُﻢْ

“Kebinasaan bagi umatku disebabkan dari ulama suu’, mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu”. (Suyuti, Jami’ Al Ahadis, no: 25366).

ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀُ ﺃَﻣَﻨَﺎﺀُ ﺍﻟﺮُّﺳُﻞِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻄُﻮْﺍ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥَ ﻭَ ﻳُﺪَﺍﺧِﻠُﻮْﺍ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﺎِﺫَﺍ ﺧَﺎﻟَﻄُﻮْﺍ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥَ ﻭَ ﺩَﺍﺧَﻠُﻮْﺍ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺎﻧُﻮْﺍ ﺍﻟﺮُّﺳُﻞَ ﻓَﺎﺣْﺬَﺭُﻭْﻫُﻢْ ﻭَﻓِﻲْ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ ﻟِﻠْﺤَﺎﻛِﻢِ ﻓَﺎﻋْﺘَﺰِﻟُﻮْﻫُﻢْ

“Ulama adalah kepercayaan para rasul selama mereka tidak bergaul/cari muka dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik dengan dunia maka mereka telah mengkhianati para rasul. Karena itu, jauhilah mereka”. (Suyuti, Jami’ Al Ahadis, no: 14504).

Oleh karena itu sebagai balasan di akhirat ia tidak akan mencium kelezatan bau surga, dalam hadis dinyatakan oleh Rasulullah saw:

ﻣَﻦْ ﺗَﻌَﻠَّﻢَ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﻳُﺒْﺘَﻐَﻰ ﺑِﻪِ ﻭَﺟْﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻻَ ﻳَﺘَﻌَﻠَّﻤُﻪُ ﺇِﻻَّ ﻟِﻴُﺼِﻴﺐَ ﺑِﻪِ ﻋَﺮَﺿًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺠِﺪْ ﻋَﺮْﻑَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ

“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (Sunan Ibnu Majah, no. 252).

Islam memerlukan ulama bersih, baik dan lurus, yaitu ulama yang istiqamah dalam memperjuangkan agama Islam. Ia bagaikan sebuah bintang di langit memberikan petunjuk arah di tengah gelapnya malam. Namun, seiring dengan globalisasi dan berjalannya waktu, berbagai ragam fitnah di tengah umat islam ini muncul. Di antara fitnah yang paling bahaya bagi umat Islam saat ini adalah munculnya para ulama suu’, ulama seperti ini dikatakan jahat, karena mereka bukannya menunjukkan jalan yang benar dan lurus kepada umat, namun justru mereka rakus kepada kehidupan dunia. Dan akhirnya mereka menjual agamanya untuk kemaslahatan dunianya. Imam Ghazali menyebutkan sebagian dari ciri-ciri ulama suu’ atau ulama’ dunia yang bertujuan dengan ilmu agama yang ia miliki untuk meraih kenikmatan-kenikmatan dunia, pangkat dan jawatan, sehingga ilmu yang dimiliki tidak bermanfaat, tidak mengamalkan ilmunya, ilmunya bertambah tapi semakin jauh dari agama, ia seorang alim tapi bersifat munafiq, ia mengumpulkan banyak ilmu tapi ia bodoh terhadap ilmu yang ia kumpulkan, ia merasa hebat dengan ilmu yang ia telah miliki, sehingga tidak ingin lagi belajar lebih[1]. Dalam hal ini imam Ghazali paparkan serangkaian beberapa hadis Rasulullah saw, ucapan sahabat dan kata-kata hukama yang membincangkan ciri-ciri ulama suu’ di atas yaitu:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَاباً يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ

“sesungguhnya siksaan manusia yang paling berat di hari kiamat adalah orang yang berilmu (Alim) dan Allah tidak memberikan manfaat ilmu kepadanya” (Suyuti, Jami’ Al-Ahaadis, no: 6063).

لاَ يَكُوْنُ الْمَرْءُ عَالِماً حَتَّى يَكُوْنَ بِعِلْمِهِ عَامِلاً

“seseorang tidaklah menjadi orang berilmu (Alim) sehingga dia mengamalkan ilmunya”. (Riwayat Ibnu Hibban dalam kitab “Raudhat Al-Uqalaa”, namun status hadis ini daif dan tiada dasarnya, sebab ia sebenarnya adalah ucapan dari Abu Al-Dardaa, sehingga dianggap sebagai hadis Mauquf, di samping itu imam Al-Subki menetapkan ketidaktepatan hadis tersebut dalam kitabnya Tabaqaat Al-Syafi’yyah).

مَنِ ازْدَادَ عِلْماً وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْداً

“Barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah hidayahnya, maka tidaklah bertambah dari Allah kecuali bertambah jauh”. (Riwayat Abu Mansur Al-Dailami dalam kitab “Musnad Al-Firdaus”, namun status hadis ini daif dan tiada dasarnya, dan imam Al-Subki menetapkan ketidaktepatan hadis tersebut dalam kitabnya Tabaqaat Al-Syafi’yyah).

قَالَ عُمَرٌ رضي الله عنه, “إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى هَذِهِ الأُمَّةِ اَلْمُنَافِقُ الْعَلِيْمُ. قَالُوْا: وَكَيْفَ يَكُوْنُ مُنَافِقاً عَلِيْماً؟ قَالَ: عَلِيْمُ اللِّسَانِ جَاهِلُ الْقَلْبِ وَالْعَمَل”ِ.

Umar bin Khatab ra berkata “Sesungguhnya sesuatu yang paling menakutkan umat ini adalah para orang munafiq yang berilmu (Alim)”. Para sahabat bertanya “Bagaimana orang munafiq tapi ia Alim?”. Umar menjawab “Mereka alim dalam lisannya tapi tidak dalam hati dan amaliahnya”. (Al-Marwazi, Ta’dzim Qadri Al-Salat, no: 783).

قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللهُ: لاَ تَكُنْ مِمَّنْ يَجْمَعُ عِلْمَ الْعُلَمَاءِ وَطَرَائِفَ الْحُكَمَاءِ وَيَجْرِي فيِ الْعَمَلِ مَجْرَى السُّفَهَاءِ

Hasan al-Bashri ra berkata, “Janganlah kalian menjadi pengumpul ilmu-ilmu ulama dan kata-kata bijak ahli hikmah namun dalam pengamalannya sama pengamalan orang-orang pandir/bodoh” [2].

قَالَ ابْنُ الْمُبَارَك: لاَ يَزَالُ الْمَرْءُ عَالِماً مَا طَلَبَ الْعِلْمَ، فَإِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَطٌ عَلِمٌ فَقَدْ جَهُلَ

Ibnu al-Mubaarak berkata, “Selama seseorang masih mau belajar ilmu ia akan menjadi orang alim, namun saat ia merasa dirinya telah alim sesungguhnya ia adalah orang bodoh”. (Ibnu Qutaibah, ‘Uyun Al-Akhbar, 183).

7) Ilmu diangkat dengan wafatnya Ulama.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ وَيُرْفَعُ الْعِلْمُ فَلَمَّا سَمِعَ عُمَرُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ يُرْفَعُ الْعِلْمُ قَالَ عُمَرُ أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ يُنْزَعُ مِنْ صُدُورِ الْعُلَمَاءِ وَلَكِنْ يَذْهَبُ الْعُلَمَاءُ

Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah saw bersabda, “Fitnah akan muncul, al Harj (pembunuhan) merajalela dan ilmu akan diangkat, ” Ketika Umar mendengar Abu Hurairah menyebutkan “ilmu akan diangkat”, Umar berkata; “Sesungguhnya hal itu bukan dengan mengambilnya dari dada para ulama, akan tetapi ilmu itu akan hilang dengan perginya ulama”. (Musnad Ahmad, no: 9841).

Ilmu agama adalah ruh dan nyawa Islam. Sebab hidup dan berkembangnya Islam ditentukan oleh seberapa besar kesungguhan ulamanya mempelajari dan memahami Islam. Rasalullah saw bersabda:

اَلْعِلْمُ حَيَاةُ الإِسْلاَمِ وَعِمَادُ الإِيْمَانِ، وَمَنْ عَلِمَ عِلْمًا أَنْمَى اللهُ لَهُ أَجْرَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا فَعَمِلَ بِهِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُعْلِمَهُ مَالَمْ يَكُنْ يَعْلَمْ

“Ilmu adalah ruhnya Islam dan tiang tegaknya Iman, barang siapa belajar ilmu, Allah menyempurnakan pahalanya di hari kiamat, dan siapa yang belajar ilmu kemudian mengamalkannya, maka Allah mengajarkannya ilmu yang belum ia ketahui sebelumnya”. (Al-Suyuti, Jami’ Al-Ahadis, no: 14492).

Bisyr bin Hakam telah menceritakan kepada Abdullah bin Rajab dari Hisyam dari Hasan ia berkata:

مَوْتُ الْعَالِمِ ثُلْمَةٌ فِي الْإِسْلَامِ لَا يَسُدُّهَا شَيْءٌ مَا اخْتَلَفَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ

“Wafatnya seorang alim laksana robeknya sesuatu yang tidak dapat ditambal kembali, selama masih ada siang dan malam”. (Sunan Al-Darami, no: 324).

Diriwayatkan oleh Abi Al-Dardaa bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيْبَةٌ لاَ تُجْبَرُ وَثُلْمَةٌ لاَ تُسَدُّ وَهُوَ نَجْمٌ طُمِسَ، مَوْتُ قَبِيْلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

“Meninggalnya seorang Alim adalah musibah yang tak tertambalkan, kerugian yang tak bisa tergantikan, layaknya bintang yang telah pudar sinarnya, kematian sekelompok orang lebih ringan dari pada meninggalnya seorang Alim”. (Al-Suyuti, Jami’ Al-Ahadis, no: 22142)

Dengan demikian betapa tinggi dan besarnya peranan ulama dalam masyarakat, ia merupakan pewaris tugas para nabiyullah. Rasulullah saw telah menjelaskan bahwa ilmu akan hilang seiring dengan matinya para ulama. Dalam sebuah hadis, rasul bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمُ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ فَإِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan mencabut langsung dari para hamba. Akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para Ulama’, sehingga apabila tidak tersisa seorang alim pun. Maka orang banyak akan mengangkat orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya dan berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan”. (Sahih Bukhari, no: 100)

Maksudnya adalah diangkatnya ilmu seorang ulama yang sejati dan bukan ulama Suu’ yang tujuan hidupnya untuk mencari keduniaan sahaja, oleh kerana itu wafatnya seorang ulama sejati, lurus dan istiqamah, merupakan salah satu tanda-tanda kecil hari kiamat, model ulama ini adalah mereka yang penuh keikhlasan menyampaikan risalah dakwah kepada umat, mereka tidak tergoda dengan bujuk rayuan kemewahan dunia. Ibnu Rajab Al-Hambali pernah mendefinisikan ciri-ciri ulama sejati bahwa, “Mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan pangkat jawatan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun”, Al-Hasan mengatakan, “Orang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat lain, “Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan tidak menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah sedikit pun dalam menyampaikan ilmu Allah”[3]. Di samping itu maksud diangkatnya ilmu juga berarti tidak disampaikannya kebenaran oleh para Ulama’ walaupun jumlah mereka banyak, dan bukanlah yang dimaksud adalah ilmu tentang dunia, akan tetapi adalah ilmu tentang agama seperti permasalahan akidah, ibadah, hukum hakam halal haram dan sebagainya, dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa akan terjadi fitnah dan kekacauan tatkala banyak orang yang mempelajari ilmu dunia, dan berkurangnya orang mempelajari ilmu agama.

عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسَتْكُمْ فِتْنَةٌ يَهْرَمُ فِيهَا الْكَبِيرُ وَيَرْبُو فِيهَا الصَّغِيرُ إِذَا تُرِكَ مِنْهَا شَيْءٌ قِيلَ تُرِكَتْ السُّنَّةُ قَالُوا وَمَتَى ذَاكَ قَالَ إِذَا ذَهَبَتْ عُلَمَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ جُهَلَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ قُرَّاؤُكُمْ وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ وَكَثُرَتْ أُمَرَاؤُكُمْ وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ وَالْتُمِسَتْ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الْآخِرَةِ وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّينِ

Dari Al-Qamah bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagaimana dengan kalian jika kalian tertimpa fitnah/kekacauan yang di tengah-tengah fitnah tersebut orang dewasa menjadi tua, anak kecil menjadi tumbuh besar, dan manusia ketika menjadikannya (menganggapnya) sebagai sunnah. Jika ada sedikit saja dari fitnah itu yang ditinggalkan orang, maka akan dikatakan, “Sunnah telah ditinggalkan?” Mereka bertanya, “Kapan hal itu terjadi?” (Ibnu Mas’ud) menjawab, “Apabila para ulama kalian telah pergi (wafat); pembaca Alquran (penghafal Alquran) dari kalian banyak, tetapi fuqaha kalian sedikit; umara’ kalian banyak, tetapi orang-orang yang amanah di antara kalian sedikit; kehidupan dunia dicari dengan amalan akhirat dan (orang bersungguh-sungguh) mendalami agama bukan untuk (kepentingan) agama.” (Sunan Al-Darami, no: 192).

Dalam riwayat di atas dijelaskan bahwa sebagian zaman fitnah ditandai dengan wafatnya para ulama sejati dan istiqamah, mereka wafat membawa ilmunya, sehingga dunia akan kehilangan tokoh agama yang benar-benar faqih di bidang Islam dan memahaminya secara mendalam, begitu juga penghafal Alquran ketika itu tiada terbilang banyaknya, tetapi semakin sedikit orang yang memiliki kedalaman ilmu tentang agama. Dengan demikian, wafatnya seorang yang alim adalah satu musibah bagi Islam yang sukar digantikan, dan satu kepincangan yang susah ditutupi dan ditambal, ini adalah umpama bintang yang hilang sirna di antara bintang-bintang di langit. Sesungguhnya mati satu kabilah adalah lebih ringan musibahnya berbanding matinya seorang yang ‘alim.

8) Dunia semakin kacau.

دَخَلْنَا عَلَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنْ الْحَجَّاجِ فَقَالَ مَا مِنْ عَامٍ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Sufyan Ats Tsauri dari Az Zubair bin ‘Adi berkata: Kami bertamu ke kediaman Anas bin Malik, kami mengeluhkan perlakuan yang kami terima dari Al-Hajjaj kepadanya lalu ia berkata: Tidaklah ada suatu tahun melainkan setelahnya akan lebih buruk lagi hingga kalian menemui Rabb, aku mendengar ini dari nabi kalian saw”. (Sunan Tirimizi, no: 2132).

Menurut Ibnu Hajar, terdapat kesulitan dalam memahami hadis di atas sebab sejumlah orang sukar memahami perkataan beliau ini. Kerana sebagian masa ada yang lebih sedikit keburukannya daripada masa yang telah berlalu sebelumnya. Salah satu di antaranya adalah masa kepemimpinan Umar bin Abdil Aziz yang datang setelah masa Al-Hajjaj. Banyak sekali riwayat yang menceritakan kebaikan di masa Umar bin Abdil Aziz, sebagian orang memberikan jawaban bahwa apa yang dimaksud (dari perkataan Anas) atas keutamaan tersebut keseluruhan keutamaan pada masa tersebut. Kerana sesungguhnya pada masa Al-Hajjaj di dalamnya terdapat banyak sahabat yang masih hidup. Sedangkan pada masa Umar bin Abdil Aziz tidak ada lagi sahabat yang masih hidup. Masa yang di dalamnya terdapat sahabat tentu lebih baik daripada masa sesudahnya (ketika sahabat telah tiada). Hal itu disebabkan oleh sabda Rasulullah saw:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ وَكَانُوا يَضْرِبُونَنَا عَلَى الشَّهَادَةِ وَالْعَهْدِ

“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidup pada zamanku (generasiku), kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian orang-orang yang datang setelah mereka. Kemudian akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya. Ibrahim berkata; Dahulu, mereka (para shahabat) mengajarkan kami tentang bersaksi dan memegang janji ketika kami masih kecil. (Mereka memukul kami bila melanggar perjanjian & persaksian)”. (Bukhari, no: 3378).

Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan kembali dan menekankan bahwa ia menemukan sebuah penjelasan dari Ibnu Mas’ud ra atas maksud perkataan tersebut yang layak diikuti.

Diriwayatkan oleh Ya’qub bin Syaibah dari jalur Al-Harits bin Hashirah dari Zaid bin Wahb, ia berkata:

“سَمِعْت عَبْد اللَّه بْن مَسْعُود يَقُول: لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ يَوْم إِلَّا وَهُوَ شَرّ مِنْ الْيَوْم الَّذِي كَانَ قَبْلَهُ حَتَّى تَقُوم السَّاعَة ، لَسْت أَعْنِي رَخَاءً مِنْ الْعَيْش يُصِيبهُ وَلَا مَالًا يُفِيدُهُ وَلَكِنْ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ يَوْم وَإِلَّا وَهُوَ أَقَلّ عِلْمًا مِنْ الْيَوْم الَّذِي مَضَى قَبْلَهُ ، فَإِذَا ذَهَبَ الْعُلَمَاء اِسْتَوَى النَّاس فَلَا يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنْكَر فَعِنْدَ ذَلِكَ يَهْلَكُونَ”

Aku mendengar Abdullah bin Mas’ud ra berkata, “Tidak akan datang satu masa atas kalian melainkan masa yang aka datang lebih buruk daripada masa sebelumnya hingga datang hari kiamat. Maksudku bukanlah kelapangan hidup yang diterimanya atau harta yang didapatkannya. Akan tetapi maksudku adalah masa yang akan datang itu lebih sedikit ulamanya daripada masa yang telah berlalu. Apabila ulama telah pergi dan semua manusia merasa sama rata, akibatnya tidak lagi memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Saat itulah mereka binasa”.

Diriwayatkan dari jalur Asy-Sya’bi dari Masruq ia berkata:

“لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَان إِلَّا وَهُوَ أَشَرّ مِمَّا كَانَ قَبْلَهُ أَمَا إِنِّي لَا أَعْنِي أَمِيرًا خَيْرًا مِنْ أَمِير وَلَا عَامًا خَيْرًا مِنْ عَام وَلَكِنْ عُلَمَاؤُكُمْ وَفُقَهَاؤُكُمْ يَذْهَبُونَ ثُمَّ لَا تَجِدُونَ مِنْهُمْ خَلَفًا، وَيَجِيء قَوْم يُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ”

“Tidaklah datang satu masa melainkan pasti lebih buruk daripada masa sebelumnya. Maksudku bukanlah seorang pemimpin (amir) lebih baik daripada amir (pemimpin) lainnya, bukan pula satu tahun lebih baik daripada tahun lainnya. Namun maksudku adalah perginya ulama dan ahli fiqih, kemudian kalian tidak menemukan penggantinya. Lalu datanglah satu kaum yang berfatwa atas dasar akal pikiran mereka sendiri”[4](kamaluddin/dakwatuna.com)

[1] Ghazali, Ihyaa Ulum Al-Din, 1/51, Darul Ma’rifat, Beirut-Lebanon.

[2] Yaser Abd Rahman, Mausuu’ah Al- Akhlak wa Al-Zuhd, 1/216, Muassasah Iqra’, Kaherah, 2007.

[3] Abdul Rahman Al-Sa’di, Al-Khithabul Minbariyyah, 1/177)

[4] Ibnu Hajar, Fathul-Baariy, 13/21, atsar ini derajatnya sahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al Ilmi wa Fadhlihi, 2/136.

 

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Associate Professor at Department of Akidah and Religion Studies, Faculty of Leadership and Management, Universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Born on June 11, 1973, Indonesia. He specializes in studies comparing the doctrine and political thought of the Sunnis and Shiites. He received his bachelor degree in Islamic Law from University of Al-Azhar, Tanta-Egypt 1997, Master (2002) & PhD (2005) in Islamic Philosophy at Faculty of Darul Ulum, University of Cairo, Egypt. In 2016, he was a visiting professor at the Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Currently has written 13 books in Malay and Arabic, and published in various countries: Lebanon: 1) مَوْقِفُ الزَّيْدِيَّةِ وَأَهْلِ السُّنَّةِ مِنَ الْعَقِيْدَةِ الإِسْمَاعِيْلِيَّةِ وَفَلْسَفَتِهَا, 2009, Darul Kutub Ilmiah, Beirut. (PhD Thesis), ISBN: 978-2-7451-6255-7 2) نَشْأَةُ الْفِرَقِ وَتَفَرُّقُهَا, 2011, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, ISBN: 9782745172464 3) اَلْعَقِيْدَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ وَالْقَضَايَا اَلْخِلاَفِيَّةُ عِنْدَ عُلَمَاءِ الْكَلاَمِ, 2014, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, ISBN: 13-978-2-7451-7854-1 Cairo-Egypt: 1) مَسَائِلُ الاِعْتِقَادِ عِنْدَ الإِمَامِ الْقُرْطُبِيِّ, 2009, Muassasah 'Ilyaa, Cairo-Egypt. (Master Thesis). Malaysia: 1) اَلْفِرَقُ الشِّيْعِيَّةُ وَأُصُوْلُهَا السِّيَاسِيَّةُ وَمَوْقِفُ أَهْلِ السُّنَّةِ مِنْهَا, 2009, USIM, ISBN: 978983295093-6 2) مَدْخَلٌ إِلَى عِلْمِ الْكَلاَمِ, 2011, USIM, ISBN: 978-967-5295-79-9 3) اَلْمَذَاهِبُ الْعَقَائِدِيَّةُ الإِسْلاَمِيَّةُ, 2014, USIM, ISBN: 978-967-5295-42-3 4) Agenda Politik Syiah, 2013, PTS, Malaysia, ISBN-13: 978-967-411-030-7 5) Adakah Kawanku Syiah, 2014, PTS, Malaysia, ISBN-13: 978-967-411-269-1 6) Imam Mahdi, 2016, PTS, Malaysia, ISBN-13: 978-967-411-749-8 Indonesia: 1) Syawarifiyyah, Sinonim Arab – Indonesia, 2009, Ciputat Press, Jakarta, ISBN: 978-979-3245-66-9- 2) Konflik Pemikiran Politik Aliran-Aliran Syiah, 2017, Penerbit Dar'ami, Jakarta, ISBN: 978 - 602 - 73707 - 1 - 5 His works have been collected by various universities in the world, both in the Middle East, America, Europe and Japan, even Israel and Iran, such as: Harvard University, Yale University, Penn University, Stanford University, National Library Of Israel, National Library Of Iran, Chigago University, Kyoto University, Uc Berkeley University, Ohio University, University of Arizona, University of Arizona, Washington University, New York University, University Of Toronto, Columbia University, Library Of Congress, University Of Michigan, Princeton University, Leiden University, Astan Quds Razavi Library Iran etc.

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization