Topic
Home / Berita / Opini / Dan Aleppo pun Lelah

Dan Aleppo pun Lelah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Sebuah graffiti yang ditulis di dinding bangunan yang hancur di Aleppo yang artinya, “kami akan kembali Aleppo”. (Twitter)

dakwatuna.com – Bom-bom dijatuhkan dari pesawat. Entah pesawat dari siapa, tak pernah ada yang mengklaim kalau yang menjadi korban adalah rakyat sipil. Awak pesawatnya tidak tahu menahu, ia hanya menjalankan perintah.

Selama berbulan-bulan, burung besi pembawa bahan peledak itu mengelilingi langit kelabu Aleppo, Republik Arab Suriah. Setiap kali akan menjatuhkan bom, mereka terbang rendah. Meski terkesan mudah, ada beberapa gangguan kecil di radar mereka yang ditimbulkan dari asap hitam akibat ban yang dibakar oleh penduduk setempat, anak-anak kecil pun turut serta.

Jatuhnya bom dari burung besi tadi tidak menentu. Kadang ia jatuh di persimpangan jalan, mencetak lubang besar. Belakangan tersebar di media sosial kalau lubang tadi digunakan sebagai kolam renang dan menjadi tempat bermain anak-anak setempat. Tidak jarang pula, bom-bom yang dijatuhkan dari pesawat tadi mengenai rumah penduduk, fasilitas umum, dan yang paling vital adalah rumah sakit.

Ya, Anda tidak salah baca, rumah sakit.

Sampai suatu hari, rumah sakit di Aleppo timur – tempat burung besi berlalu lalang membawa bom tadi – tidak dapat difungsikan semua. Semuanya rusak terkena serangan bom. Di kota itu, hanya tersisa klinik-klinik kecil yang dioperasikan secara “bawah tanah”.

Di sana, ada pula sebagian orang, berhelm putih, berlalu lalang menolong korban serangan udara. Ya, mereka adalah White Helmet yang dikenal pula sebagai Syrian Civil Defense. Sejak serangan udara makin intensif, orang-orang itu bingung. Tidak ada rumah sakit lagi yang tersisa. Mobil yang mereka gunakan untuk mengangkut korban juga –akibat pengepungan- lama-kelamaan kesulitan mendapatkan suplai bahan bakar. Burung besi tadi juga pernah dikabarkan menjatuhkan bom hingga meluluhlantakkan markas mereka. Membunuh para relawan kemanusiaan itu di dalamnya.

Berbulan-bulan, sekitar 300.000 penduduk – ada yang bilang 250.000, yang lain mengatakan 150.000 – dikepung, dikelilingi tentara pemerintah. Ah sudahlah, kita semua tahu tentara pihak yang mana. Kata panglima tertinggi tentara itu, mereka sedang berjuang melawan teroris. Namun, teroris yang mana? Selama ini komunitas internasional hanya melihat darah kematian anak-anak kecil dan rakyat biasa, setidaknya itu yang dikatakan oleh foto atau video yang tersebar di berbagai media.

Empat tahun berada di wilayah perang, meski berat, membuat penduduk di sana semakin terbiasa. Whatever happened the show must go on. Perang mulai dijadikan sebagai komoditas. Bom-bom yang tidak meledak saat bersentuhan dengan tanah, mereka jadikan kerajinan. Bom berbentuk rudal itu, yang tadinya menjadi lambang kengerian, mendadak beralih rupa sebagai seni profan setelah dilukis seindah mungkin untuk dijual sebagai kerajinan, barangkali untuk hiasan rumah. Kiranya kesedihan mereka bisa hilang dengan itu.

Hanya itu yang bisa dilakukan oleh penduduk di sana. Berharap kepada komunitas internasional sudah mereka lakukan. Namun, tak banyak yang bisa diharapkan. Karena walau sudah berganti utusan khusus PBB sebanyak dua kali pun sebagai broker perdamaian Suriah, perdamaian itu tak kunjung juga tercipta. Adapun gencatan senjata yang disepakati, selalu kolaps. Penyebab kolapsnya juga selalu menyisakan drama lempar bom sembunyi tangan – aktor tertentu tak pernah mengakui kalau ia merusak “masa tenang” dalam perang.

Hingga pada Rabu lalu (14/12/2016), yang kolaps bukan gencatan senjata, tapi Aleppo timur. Setelah terdesak dikepung, melalui bantuan Turki dan Rusia, oposisi dan pemerintah sepakat gencatan senjata. Dalam kesepakatan tersebut disepakati pula safe passage bagi penduduk Aleppo yang hendak melakukan evakuasi.

Namun sebelum itu, dari dalam Aleppo ada yang melaporkan telah terjadi eksekusi publik oleh pemerintah terhadap pejuang revolusi. Beredar pula video pesan terakhir dari Aleppo oleh beberapa aktivis media sosial dan rakyat biasa yang ketakutan karena pasukan pemerintah Suriah dan sekutunya mulai bergerak mendekati Aleppo. Benar tidaknya pesan itu dibuat tidak ada yang tahu, tapi yang jelas sang pembuat video terlihat takut, putus asa, seperti kehilangan harapan untuk hidup di keesokan hari.

Masih di Aleppo, di sana juga beredar pertanyaan dari para ayah yang kira-kira menanyakan, “Bolehkah seorang pria membunuh istri, saudara dan anak perempuannya daripada nantinya diperkosa oleh pasukan pemerintah?”

Masih belum bisa diverifikasi (tabayun) secara langsung apakah berita itu benar adanya terjadi di dunia nyata. Kita tahu, perang seperti ini penuh dengan propaganda. Namun, semestinya cerita seperti itu sudah cukup untuk menyayat hati pendengarnya.

Dan Aleppo pun akhirnya lelah.

Mulai Kamis kemarin (15/12/2016), penduduk kota mulai dievakuasi. Rencananya mereka akan dibawa ke Idlib, wilayah utama basis oposisi. Namun kini semuanya akan menjadi lain. Idlib yang terletak di barat laut Suriah itu dikelilingi kekuatan pemerintah dan Kurdi yang membuat posisinya tersudut.

Mungkin, Idlib kelak akan menjadi Aleppo kedua. Kota ini juga telah berkali-kali dibom sebelumnya, bahkan dengan senjata kimia yang sudah dilarang penggunaannya dalam perang. Senjata kimia yang membuat korbannya mati lemas setelah sebelumnya napas dan tubuhnya tersengal-sengal.

Walau terkesan menyerah, meninggalkan Aleppo bukanlah pilihan bagi para penduduk. Dalam sebuah foto, ada sebuah mural yang bertuliskan “kami akan kembali ke Aleppo”, tentu dalam bahasa Arab yang baru bisa saya mengerti setelah diterjemahkan oleh seorang kawan.

Semangat itu masih ada, semangat itu masih membara. Kalaupun toh mereka tak bisa menumbangkan rezim keji dan sekutunya, mungkin melalui berbagai kejadian yang ada selama ini, mereka masih bisa mengetuk dan bertanya pada kita semua. Apakah rasa kemanusiaan itu masih ada? (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Pengamat Timur Tengah.

Lihat Juga

Erdogan Bantah Turki Berniat Kuasai Wilayah Negara Lain

Figure
Organization