Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Kita Sebagai Manusia Terlahir Istimewa

Kita Sebagai Manusia Terlahir Istimewa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Manusia adalah makhluk ciptaan Allah dengan tugas khusus menjadi khalifah. Artinya, sejak lahir setiap dari diri kita mengemban amanah istimewa, yaitu menjadi pemimpin. Di alam rahim, setiap manusia yang lahir ke dunia telah menjadi pemenang dengan mengalahkan jutaan calon manusia lain. Sudah seharusnya saat ini kita pun menjadi pemenang dalam setiap ujian kehidupan. Kita mampu memimpin diri kita untuk terus maju dan berkembang sebelum kita memimpin orang lain.

Saat ada seorang anak manusia yang lahir ke dunia, kedua orang tuanya adalah dua manusia yang paling beruntung. Beragam doa dipanjatkan sejak ia masih berada dalam rahim ibunya agar saya menjadi anak yang saleh, anak yang berbakti kepada kedua orang tua, anak yang berpotensi besar untuk sukses dalam kehidupannya. Sembilan bulan lamanya ia berada dalam rahim ibunya. Sepanjang pagi, siang, dan malam ibunya selalu mendoakan yang terbaik dalam hidup.

Kita harus percaya bahwa setiap anak yang lahir ke dunia adalah karunia dan anugerah yang tak terhingga dari Allah. Setiap manusia terlahir ke dunia dengan memiliki potensi yang besar untuk maju dan berkembang. Allah telah menganugerahkan satu karunia terbesar kepada manusia untuk dipakai sebagai alat untuk menjadi pemimpin, yaitu akal pikiran. Karena itu, siapa pun dari kita memiliki kesempatan sama untuk menjadi pemimpin dan orang sukses. Hanya orang-orang yang menggunakan akal pikiranlah yang akan menjadi pemimpin yang beruntung sebagaimana firman Allah SWT.

“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah:100).

Dalam ayat tersebut, Allah menegaskan kepada manusia agar membedakan yang baik dan buruk. Walaupun yang buruk terlihat menarik, namun sebagai makhluk yang berakal kita dianjurkan untuk memilih yang baik bagi hidup kita agar mendapat keberuntungan. Yang dimaksud dalam keberuntungan di sini adalah keberkahan dalam hidup di dunia, dan keselamatan di akhirat. Keberkahan hidup di dunia bisa berupa, mendapatkan rezeki dari harta yang halal lagi baik, usia yang dimanfaatkan untuk bertakwa kepada Allah SWT dan bermanfaat bagi sesama manusia.

Di antara dari kita pasti banyak yang bertanya, untuk menjadi manusia yang bisa memimpin hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang dilahirkan dalam kondisi normal lagi baik. Lantas bagaimana dengan kita sendiri atau saudara-saudara kita yang terlahir dalam kondisi disabilitas maupun dalam kondisi kekurangan ketika lahir? Apakah masih memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin yang beruntung? Perhatikan ayat berikut ini :

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa:28).

Siapa yang tak kenal Habibie Hasjah? Seorang penyandang disabilitas yang sukses menjadi pengusaha. Habibie mengalami penyakit kelumpuhan otak sejak lahir yang menyebabkan organ tubuh dan syaraf tidak berfungsi dengan baik. Namun, di tengah segala keterbatasannya, ia kini tercatat menjadi salah satu pengusaha muda di Indonesia. Penghasilannya  lebih dari Rp 10 juta per bulan. Kini, ia menjadi narasumber di mana-mana dan menginspirasi banyak orang. Kiprahnya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang terlahir normal.

Sekarang kita mengetahui bahwa Allah telah menciptakan manusia sejak awal sebagai pemenang. Kita mampu mengalahkan jutaan calon manusia lain untuk menembus rahim ibu kita. Ini bukan tanpa maksud, karena Allah tahu bahwa manusia makhluk yang kuat. Setelah lahir ke dunia, Allah langsung menganugerahkan tugas khusus kepada manusia untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Allah Yang Maha Mengetahui memberikan tugas ini karena mengetahui potensi setiap individu untuk menjadi pemimpin.

Janganlah sekali-sekali menyalahkan Allah karena dilahirkan dalam kondisi organ tubuh kurang lengkap atau dari keluarga kurang berada, atau saat kita mengalami ujian berat, atau saat merasa Allah menjauhi kita. Sebesar apa pun ujian kita, dan sebanyak apapun kekurangan kita, sadarilah bahwa sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Thalaq:65)

Allah memberikan kelemahan, kekurangan, ujian, musibah, dan tantangan kepada kita karena mengetahui, bahwa kita mampu memikulnya. Kita mampu melewatinya, dan mampu menjadi manusia yang naik kelas menjadi orang yang lebih baik lagi.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabuut:2-3).

Jangan mengaku beriman jika belum diuji. Orang yang mengaku telah beriman kepada Allah pun diuji. Orang-orang yang hidup terlebih dahulu dengan kita pun diuji. Maka marilah kita menjadi pribadi yang senantiasa bersyukur, bahwa dengan diuji kita mampu membuktikan kepada Allah bahwa kita mampu, kita beriman kepada-Nya.

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dengan sesempurna-sempurnanya bentuk. Kita terlahir istimewa. Sejak di alam rahim kita telah menjadi pemenang, dan begitu lahir ke dunia kita diberikan tugas khusus untuk menjadi khalifah atau pemimpin. Minimal kita pimpin diri kita sendiri untuk menjadi lebih baik, dan belajar untuk memimpin orang sekitar kita, dan menjadi role model atau teladan bagi orang-orang di sekitar kita.

Menjadi khalifah bagi diri sendiri artinya kita mampu mengendalikan dan memimpin hawa nafsu diri sendiri. Misalnya, di antara kita banyak yang mengetahui makan babi dan minuman keras haram, tetapi karena kita tidak mampu mengendalikan hawa nafsu sendiri, tetap saja dilanggar. Sesungguhnya apa yang diharamkan Allah kepada manusia itu baik bagi manusia itu sendiri. Perbuatan ini disebut menzalimi diri sendiri.

Cara menjadi khalifah sesama manusia, misalnya, dengan memimpin suatu organisasi, komunitas maupun perusahaan. Kita belajar menjadi pemimpin. Semakin tua usia seharusnya kualitas kekhalifahan semakin meningkat. Cara menjadi khalifah bagi makhluk Allah lain, misalnya, dengan menjaga dan memelihara kelestarian makhluk hidup di bumi dan tidak merusaknya. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Anak ke 2 dari 4 bersaudara. Sarjana Pertanian lulusan Program Studi Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak kuliah merupakan penulis lepas dari tahun 2006 – 2009. Menjadi wartawan media harian BERITA UIN, dan penulis features Jurnal Wisuda UIN Jakarta yang terbit setiap penyelenggaraan wisuda. Juga menjadi Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi BEM Fakultas Sains dan Teknologi UIN Jakarta. Di masa kepemimpinannya menjadi pendiri dan pemimpin redaksi media fakultas SAINTIVO. Saat ini berkecimpung dalam organisasi pemuda internasional JCI Chapter Jakarta, dan kini bekerja sebagai karyawan swasta di Pusat Studi Al-Qur’an, serta dalam proses menulis buku “I am Special” sebagai buku perdana.

Lihat Juga

Apakah Palestina Istimewa?

Figure
Organization