Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Stop Makan Mayat Saudaramu!

Stop Makan Mayat Saudaramu!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi Media Ghibah (doc. dakwatuna)
Ilustrasi Media Ghibah (doc. dakwatuna)

dakwatuna.com – “Dan janganlah kalian saling mengghibah (menggunjing). Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat : 12)

Allah mengumpamakan ghibah dengan memakan mayat. Ketika ada seseorang yang mengghibahi saudaranya maka dia sama seperti sedang memakan bangkai saudaranya itu. Jika kita perhatikan pada ayat ke-12 Surah Al-Hujurat di atas, tidak hanya celaan bagi pelaku ghibah, Allah juga memerintahkan para pelaku ghibah untuk bertaubat. Tentunya ghibah adalah dosa besar di sisi Allah karena efek yang ditimbulkan bisa meluas dan tidak bisa dibendung lagi mudharatnya.

Misalnya ketika seseorang membuka aib saudaranya sesama Muslim, yang mana saudaranya berusaha keras untuk menutupinya, maka samua orang akan mengetahui aib saudaranya itu dan saudaranya itu tidak akan bisa lagi berhubungan dengan orang lain secara wajar. Akan ada rasa malu dan minder dalam hatinya.

Ghibah sangat merugikan kehidupan, bahkan Allah menyamakannya dengan memakan mayat, bukan bangkai binatang. Ini menandakan bahwa ghibah teramat dibenci oleh Allah dan salah satu dosa yang sangat besar.

Lalu bagaimana jika diri kitalah yang menjadi objek ghibah orang lain? Imam Ahmad bin Hanbal memberi contoh yang sangat mulia mengenai hal ini. Dari Abdullah bin Muhammad al-Warraq, dia mengatakan, “Suatu hari saya pernah berada di majelis Imam Ahmad bin Hanbal, dia bertanya, ‘Dari mana kalian datang?’ kami menjawab, ‘Dari majelis Abi Kuraib’ dia berkata, ‘Tulislah tentangnya, sebab dia seorang syaikh yang saleh’ kami berkata, ‘Tetapi dia selalu menuduhmu’ dia berkata, ‘lalu aku bisa berbuat apa, keberadaanku menjadi ujian baginya’”.

Benar. Keburukan dan kesalahan orang lain adalah salah satu ujian yang ada di dunia. Jangan sampai kekurangan orang lain membuat kita terjerumus dalam pergunjingan dan ghibah. Setiap manusia punya kekurangan dan kelebihan, itu semua adalah fitrah. Apabila kita tidak bisa memperbaiki kekurangan dan aib saudara kita maka yang harus kita lakukan adalah menutup rapat-rapat kekurangan dan aibnya.

Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi disebutkan, “Dan siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim ketika di dunia, maka Allah akan menutupi aibnya ketika di dunia dan akhirat”

Siapa manusia yang tidak memiliki aib? Sudah pasti tidak ada. Untuk itu agar Allah menutup aib kita di dunia dan akhirat, kita harus pandai-pandai menutupi aib saudara sesama Muslim. Karena seseorang yang suka membuka aib seseorang pasti akan Allah sebarkan aibnya ke seluruh manusia. Siapa pun yang suka melakukan ghibah maka ia juga akan dighibahi oleh orang lain. Tidak ada manusia yang sempurna, kita juga memiliki aib dan kekuarangan.

Apakah diri kita ridha jika kekurangan dan aib kita menjadi bahan pembicaraan orang lain? tentu jawabannya adalah tidak. Setiap aib dan kekurangan adalah miliki kita sendiri. Kitalah yang selayaknya mengevaluasi dan memperbaikinya, hal itu tidak layak untuk menjadi konsumsi publik.

Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, dia berkata, “Kami meyakini sebuah pandangan bahwa orang yang paling berdosa adalah orang yang paling banyak menyebut-nyebut cacat dan dosa orang lain”. Renungkanlah betapa para Salaf sangat memperhatikan masalah ini. Mereka sangat menjaga lisan mereka karena mereka berkeyakinan bahwa dosa terbesar berasal dari lisan.

Betapa banyak cinta menjadi benci, kawan menjadi lawan, saudara menjadi musuh, pahala menjadi sirna semua karena tergelincirnya lisan. Maka, saudaraku, berhati-hatilah dengan perkara lisan. Berbicaralah yang baik, atau diam. Jika kita ragu akan manfaatnya, maka diam lebih utama. Jauhi pembicaraan yang sia-sia, apalagi ghibah, pergunjingan, dan fitnah yang jelas dosanya. Berhentilah dari memakan daging saudara kita yang telah mati. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya bagi kita agar kita bisa menjaga lisan kita. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Sedang menempuh pendidikan sarjana di UIN Jakarta jurusan Perbandingan Mazhab Fiqh, mengisi waktunya sebagai penulis muda di Forum Lingkar Pena cabang Ciputat serta sebagai mudabbir di Ma’had Al-Jami’ah.

Lihat Juga

[Video] Dua Bersaudara Palestina Ini Dipertemukan Setelah 70 Tahun Terpisah

Figure
Organization