Topic
Home / Berita / Opini / Esensi yang Terkikis oleh Zaman Saat Idul Adha 1437 H

Esensi yang Terkikis oleh Zaman Saat Idul Adha 1437 H

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (seputarmalang.com)
Ilustrasi. (seputarmalang.com)

dakwatuna.com – Tak terasa Idul Adha kembali menghampiri. Mungkin bagi beberapa orang merasa bahwa waktu memang melaju cukup cepat. Tapi, biarlah hal ini tetap menjadi subjektivitas yang nyata. Sebelumnya, kami ucapkan Taqobbalallahu minna wa minkum bagi semua yang tengah bersuka cita menyambut hari yang penuh dengan berkah ini. Insya Allah.

Seperti halnya sebuah hari perayaan yang memiliki berbagai corak yang membedakan satu sama lain, Idul Adha pun memiliki corak yang berbeda, entah itu dari sebuah tradisi maupun ketentuan dari kepercayaan. Dimulai dari menggema nya takbir di hampir semua masjid dari saat maghrib sampai keesokan harinya dimana hari mubarok tersebut ditetapkan. Lalu disusul dengan umat Muslim yang berbondong-bondong dengan pakaian yang serba bersih dan suci, berjejer melangkah berbarengan menuju rumah Allah untuk melaksanakan ibadah Sholat Ied. Pemandangan yang hanya dapat dilihat 2 kali dalam setahun. Dan tradisi yang paling ‘purba’ adalah berqurban. Demi Allah, kuasa Ilahi yang mengabadikan.

Tradisi berqurban inilah yang menjadi acara inti bagi hari raya Idul fitri. Ibadah yang satu ini tentu tidak lepas dengan sejarah Nabi Ibrahim as bersama putranya Nabi Ismail as. Tidak perlu detail bagaimana kisah ini, karena penulis yakin banyak dari khutbah sholat Ied mengumandang tentang sejarah sakral ini. Tentu tidak hanya itu, buku-buku sejarah ataupun materi pendidikan Islam banyak menceritakan kisah ini. Namun ada yang harus digaris bawahi tentang kisah ini yakni Tauladan atau teladan. Harus ada sebuah pertanyaan, minimal, dalam benak kita. Apa maksud dibalik kisah ini? Apa maksud Allah memberikan goresan sejarah semacam ini?

Apa yang dialami oleh Sang bapak Nabi ini tidaklah mudah. Melalui sebuah mimpi, Allah menurunkan perintah untuk menyembelih putranya yang ditunggu-tunggu selama ini dalam kehidupannya. Kebingungan tentu menghampiri, hingga perundingan dengan anaknya itu pun terjadi. Namun apa yang terjadi, karena keyakinannya akan Allah dan kepatuhan, kedua bapak dan anak ini rela menjalankan perintahnya. Sekali lagi ini tidak mudah. Ketaatan itulah yang menjadi jalan bagi keduanya hingga Allah menurunkan kuasa Nya. Allah mengangkat derajat mereka ke derajat yang tinggi. Nabi Ibrahim menjadi salah satu Nabi Ulul Azmi, abadi nya nama mereka dalam sejarah dan diperingati umat muslim setiap tahun, dan tentu masih banyak yang tidak mampu tertulis di sini.

Namun, semakin ke sini, subtansi dalam perayaan Idul Adha ini semakin tergerus oleh zaman. Abadi nya moment ini tidaklah cukup. Hal ini akan hanya menjadi perayaan yang hampa tanpa isi. Kosong. Umat Muslim seakan hanya mencecap euforia belaka. Alih-alih ada perubahan bagi dirinya untuk keesokan harinya. Hari perayaan ini seakan hanya berjalan sebagai rutinitas belaka tanpa pemahaman yang berarti. Banyak dari kita menemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti perayaan Idul adha dengan “nyate bareng” yang mana muda mudi campur baur tak karuan. Atau penyaluran hasil qurban yang tidak semestinya, mengingat ada aturan siapa yang berhak menerima daging qurban ini. Bahkan ada pula yang menumpuk hingga tidak muat dalam kulkas nya. Pula, akhir-akhir ini kita disuguhi pemberitaan tentang penjualan hewan kurban dengan jasa SPG (Sales Promotion Girl) yang pakaiannya jauh dari syari’at dengan rambut teurai-urai bak iklan shampo (penulis melihat pemberitaan di acara berita salah satu station TV swasta yang menyiarkan para SPG hewan qurban dengan pakaian ala koboi). Logika jual beli (meraup keuntungan) pun tetap berjalan dalam menyambut hari raya suci.  Ini masih dalam bentuk perayaan nya yang jauh dari nilai yang semestinya, Islami.  Setelah berlalunya hari perayaan ini pun semua kembali pada biasanya, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Pacaran merajalela, muslimah-muslimah tetap pada pakaiannya yang tidak sesuai dengan syari’at, gaya hidup yang jauh dari apa yang diperintahkan syariat (berlebih-lebih, dan tamak). Kemanakah semua nilai yang terkandung di dalamnya? Semua seakan menguap begitu saja.

Tentu tulisan ini bukanlah tulisan satu-satunya yang bertebaran di hari raya ini. Banyak pengingat bagi kita sebenarnya. Khutbah setelah sholat Idul Adha pun menjadi pengingat bagi kita, buletin-buletin yang bertebaran di masjid-masjid atau perkataan teman-teman dekat kita yang juga gundah akan hilangnya substansi hari raya ini. Maka dari itu, sepatutnya kita tetap memiliki sebuah pertanyaan yang kita tanyakan untuk diri sendiri. Apa makna sebenarnya dibalik hari perayaan ini? Lalu lekaslah kita jangan ragu untuk mengisi diri kita dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Semoga kita senantiasa diberi petunjuk olehNya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, untuk menjadi hambaNya yang mampu menyempurnakan keimanan akan Dia dengan mengamalkan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Semoga kita tidak menjadi manusia-manusia yang diwarnai oleh peradaban, tapi kita mewarnai peradaban dengan nilai-nilai Islam. Semoga kita mampu menjadi insan yang mengobarkan panji-panji Islam sehingga Islam mampu mencapai maksudnya sebagai rahmatan lil alamin. Allahu a’lam bis showab. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi jurusan Psikologi di Fakultas Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga. Ingin mendedikasikan diri lewat tulisan untuk agama dan peradaban. Belajar untuk tidak berhenti karena lelah.

Lihat Juga

Tangan Ribamu Mengikis Keadilan dan Kesejahteraan

Figure
Organization