Topic
Home / Narasi Islam / Humaniora / Sepeda Seumur Hidup Sang Marbot Masjid

Sepeda Seumur Hidup Sang Marbot Masjid

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Wak Min (Ponimin) dan sepedanya. (Nanda Koswara)
Wak Min (Ponimin) dan sepedanya. (Nanda Koswara)

dakwatuna.com – Suami dari Ibu Siti Aisyah Siregar ini adalah pekerja keras. Wak Min (65 tahun), Pemilik nama asli Ponimin ini merupakan marbot masjid di Masjid Raya Petumbukan, Kecamatan Galang, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Wak Min muda menghabiskan masa remajanya dengan bekerja menjadi kenek truck angkut barang. Setelah menikah Ia beralih profesi menjadi kuli panggul di sebuah kilang padi.

Setelah 5 tahun menjadi kuli panggul, Wak Min memutuskan untuk mandiri berdagang keliling dengan sepeda Onthel, yang dibelinya dari hasil menabung selama menjadi kuli panggul.

Wak Min mengusahakan apapun untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Selama 35 tahun, Wak Min menjual aneka jenis barang dengan sepedanya. Mulai dari roti, ikan gembung rebus, pisang salai, kue pancung sampai cari kayu bakar untuk kemudian dijual kembali. Bahkan pernah Ia berjualan seharian, lalu malamnya bekerja sebagai penjaga kebun.

Beliau mengaku paling lama berjualan roti. Wak Min bisa dibilang adalah legenda di kalangan penggemar roti pabrikan tradisional di daerahnya.

Dengan sepeda onthel dan gerobak kayu yang diikat di bangku belakang. Menggowes sambil membunyikan toet-toet (terompet tangan) untuk mengundang pembeli.

Wak Min punya pengalaman tak terlupakan soal dagang roti. Suatu pagi, sehabis mengambil barang dagangan di pabrik dan bersiap untuk keliling. Wak Min melintasi areal persawahan dengan jalan sempit di pinggir sungai. Karena faktor beratnya gerobak dan jalanan yang licin, Wak Min dan barang dagangannya pun tepeleset sampai masuk ke sungai. Alhasil, hari itu Ia tidak berjualan dan harus membayar modal dagangan ke pabrik.

“Itu namanya roti manis sampai jadi satu, lengket semua, basah.” Kenang Wak Min sambil tertawa memamerkan gigi ompongnya.

Sejak saat itu, Wak Min mengganti Sepeda Onthelnya dengan sepeda Jengki sampai hari ini. Sepeda Jengki dengan palang tengah rendah memudahkannya yang berbadan tidak terlalu tinggi. Sementara sepeda ontelnya dibiarkan dirumah sebagai kenangan Wak Min.

Selama kehidupannya, Wak Min mencari nafkah dengan sepeda. Untuk kebutuhan Isteri dan 7 orang anaknya. Baginya sebuah sepeda adalah kaki, tangan dan mata pencahariannya.

Sekarang Wak Min menghabiskan sisa umurnya untuk mengabdikan diri di Masjid, menjadi marbot. Beliau adalah sosok marbot yang penuh dengan dedikasi. Sebagai betuk apresiasi terhadap apa yang ia kerjakan, komunitas Gerakan Jum’at Sedekah menggalang aksi patungan untuk membelikan Wak Min sepeda baru. Sebagai pengganti sepeda jengki nya yang sepertinya sudah harus pensiun.

Klik kitabisa.com/sepedamarbot untuk ikut donasi. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pendiri #MakingPeopleSmileProject wadah kreatif untuk berekspresi di bidang sosial.

Lihat Juga

Seminar Nasional Kemasjidan, Masjid di Era Milenial

Figure
Organization