Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Hikmah Dzulhijjah

Hikmah Dzulhijjah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (orgsc.com)
Ilustrasi. (orgsc.com)

dakwatuna.com – Bulan Dzulhijjah adalah momen bertaqarrub, mendekatkan diri kepada Allah, membuktikan keimanan, ketaqwaan, dan kecintaan, serta mencari simpati dan keridhaan-Nya dengan berbagai amal kebaikan, sekaligus meneladani sifat-sifat Nabi Ibrahim yang telah berhasil membuktikan keimanan dan kecintaannya yang sempurna kepada Allah, juga akhlaknya yang mulia kepada makhluk-Nya.

Nabi Ibrahim telah menghadirkan potret sempurna tentang sebuah perjalanan iman, keshalihan dan ketaatan bukan sebatas pribadinya, tapi nilai-nilai itu tertransformasi ke keluarga dan kerabatnya. Ia juga mampu dengan hikmah, cerdik, dan tata bahasa yang penuh santun mengingkari kesyirikan orang tua dan kaumnya. Rela mengorbankan nyawa karena dakwah di hadapan penguasa tiran yang menyesatkan rakyatnya, termasuk mencontohkan akhlak yang mulia dalam menjamu tamu yang baru dikenalnya yang ternyata mereka adalah malaikat yang membawa kabar gembira. Taat dan tunduk yang diperagakannya saat di perintah untuk meninggalkan keluarganya yang dikasihi di tempat jauh nan gersang, juga tabah ketika diuji dengan perintah menyembelih anaknya dan dirinya sendiri yang harus menjadi algojonya!. Sungguh, sebuah akhlak dan ketaatan yang tak ada celanya, tanpa keraguan, tidak ada penyimpangan, lurus, hanif, dan totalitas yang sempurna.

Maka pantaslah kalau Allah menempatkannya pada maqam yang tinggi, menganugerahinya kebaikan di dunia dan akhirat;  segala pujian, sanjungan, keturunan yang shalih, menjadi kekasih yang terpilih, kemudian nikmat nubuwah yang juga diberikan kepada anak keturunannya.

Lihatlah bagaimana banyaknya pujian Allah untuk Nabi Ibrahim dalam Al-Quran, seperti:

  • Sebagai orang yang shiddiq (sangat membenarkan) dan seorang nabi: Maryam:41
  • Yang selalu menyempurnakan janji: An-Najm: 37.
  • Yang sangat lembut hatinya lagi penyantun: At-Taubah:114.
  • Imam yang dijadikan teladan, patuh kepada Allah, hanif, bukan termasuk orang-orang yang musyrik,  mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Allah memberinya kebaikan di dunia dan di akhirat,  dan termasuk orang-orang yang saleh: An-Nahl:120-123.

Maka di bulan Dzulhijjah ini, juga di bulan lain tentunya, kita meneladani Nabi Ibrahim dalam hal keutamaan akhlak, bakti, ketaatan, serta berqurban dengan hal yang berharga dalam hidup kita, dengan rangkaian ibadah haji, dengan qurban, puasa, serta amal shalih yang berkualitas dan berkelanjutan.

Kita memasuki bulan ketaatan ini dengan banyak beristighfar, mohon ampun atas segala dosa dan kesalahan, karena sebagaimana dikatakan syekh Syanqithi, dosa-dosa bisa menghalangi seseorang mendapat taufiq, sehingga bisa jadi kita diberi kesempatan menjalankan ketaatan tapi hati kita tak tergerak. Kita juga hendaknya mengisi hari-hari penuh rahmat ini dengan banyak bersyukur atas segala nikmat yang terus dicurahkan kepada kita, sementara banyak orang di sekitar kita, yang lebih mulia dan lebih unggul kebaikannya, namun tak diberi kesempatan  merasakan manisnya ibadah di musim ketaatan ini.

Di antara amal shalih terbaik  di bulan ini adalah ibadah haji.  Ini adalah momen untuk mengambil hikmah dari perjalanan sebuah peradaban besar yang dirintis oleh keluarga kecil dan bersahaja, yang membangun kehidupan rumah tangga dengan fondasi keprihatinan, mujahadah, dan  bala’ yang panjang dan melelahkan.

Ini juga momen untuk merenungkan kemuliaan salah satu bulan haram ini, bulan yang bahkan sangat dihargai oleh orang musyrikin zaman Nabi. Merenungkan kembali taujih yang disampaikan Rasulullah SAW dalam khutbah yang beliau sampaikan saat haji wada’. Dalam suasana syahdu yang mengharu biru, terlebih beliau mengawalinya dengan sinyal perpisahan: “Dengarkanlah perkataanku wahai manusia, sungguh aku tak tahu, bisa jadi aku tak lagi menjumpai kalian setelah ini”. Kemudian beliau mengumumkan pengakuan dan jaminan atas hak-hak manusia, bahwa darah mereka haram ditumpahkan, harta mereka haram untuk diambil kecuali dengan keridhaannya, wanita dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Maka riba, membunuh tanpa hak, mengambil harta dengan kecurangan dan kekerasan, menyakiti dan mengurangi hak wanita tanpa sebab yang dibenarkan, semuanya adalah hal-hal yang diharamkan. Rasul juga menjelaskan manusia terbaik adalah yang paling bertaqwa, yang tidak mengganggu orang lain dengan perbuatan maupun perkataannya. Seorang muslim adalah yang membuat orang lain selamat dari kejahatannya, dan mukmin adalah yang menyebabkan orang lain aman dari gangguan tangan dan lesannya,  dan semua kaum muslimin hakikatnya adalah saudara.

Kita merenung, betapa sempurnanya wasiat perpisahan ini, namun betapa kondisi kaum muslimin semakin jauh dari hakikat yang seharusnya mereka jalani. Maka ini adalah saat yang tepat untuk kembali mendekat dan memohon kepada Allah agar wasiat ini mampu kita laksanakan dan kita wujudkan, sehingga umat mampu kembali menempati maqamnya yang terhormat.

Amalan terbaik lain yang dipersembahkan di bulan ini adalah kurban.  Dan kurban landasannya adalah iman, sehingga ia akan tertolak jika motivasinya bukan taqwa dan iman, sebagaimana Allah menolak kurban Qabil. Dan karena iman menuntut seseorang memberikan yang terbaik, maka kurban juga hendaknya yang terbaik dari yang kita punya.  Bukankah Allah telah menegur petani kurma yang bersedekah dengan memilih korma yang jelek-jelek, seandainya dia yang diberi pasti akan enggan dan segan untuk mengambilnya?.

Kurban adalah simbol keimanan, ketaatan dan ketundukan, maka haram hukumnya meniatkan atau memberikan kurban kepada selain Allah dalam bentuk apapun, seperti menyembelih kerbau, sapi, atau ayam, bahkan meski hanya berupa makanan, untuk patung, roh atau orang yang telah mati. Thariq bin Syihab meriwayatkan kisah dua orang laki-laki beriman dari umat terdahulu yang melewati kaum musyrik yang sedang menyembah patung dan mereka tidak membiarkannya lewat sebelum menyembelih kurban untuk berhala mereka meski hanya berupa seekor lalat yang ditangkapnya. Maka laki-laki yang pertama mengikuti perintah mereka dan akhirnya kelak ia termasuk penghuni neraka, sementara yang kedua menolak dan akhirnya dibunuh, hingga kelak menjadi penghuni surga. Hanya seekor lalat, apalah artinya? Bukan karena lalatnya tentunya, tapi karena kerelaannya berkorban untuk selain Allah Ta’ala.

Termasuk amalan unggulan di bulan Dzulhijjah adalah puasa pada hari-hari permulaan bulan, terutama puasa ‘Arafah. Sungguh puasa di hari yang panas adalah madrasah terbesar bagi kesabaran, ketaatan dan pengendalian hasrat dan keinginan. Ibnu Al-Qayyim menerangkan rahasia puasa dengan mengatakan bahwa kebaikan jiwa dan keistiqamahannya dalam perjalanan menuju Allah terletak pada usahanya menghimpun hatinya yang kotor dan tercerai berai dengan menghadapkan sepenuh jiwanya kepada Allah … dan berlebih-lebihan dalam makan, minum, bergaul dengan manusia, berlebihan dalam bicara dan tidur menambah hati kian bebal,  dan akan mengacaukan, memutus, menghentikan atau mengganggu perjalanannya menuju Allah. Dan rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya yang telah mensyariatkan puasa untuk menghilangkan keburukan-keburukan  tadi.

Dan jangan sampai seseorang terjebak dalam penyakit yang mengurangi atau merusak nilai ibadah-ibadah utama ini, seperti penyakit hati, beramal tidak dilandasi ilmu, hanya mengikuti adat dan kebiasaan, dll.

Dua anak Adam yang kisahnya abadi hingga hari kiamat bukan sedang dalam suasana kemaksiatan, justru mereka sedang dalam nuansa ibadah, mempersembahkan kurban untuk mendekatkan diri kepada Rabb semesta alam. Tapi penyakit hati yang menyebabkan salah satu dari mereka berubah dari pensucian ruh memasuki suasana hati paling rendah; hasad yang melahirkan kemarahan dan kebencian yang memuncak yang tidak puas kecuali dengan membunuh jiwa saudaranya.

Al-Quran juga banyak mengisahkan amal yang hanya akan menjadi layaknya fatamorgana, atau abu yang dihempas badai, atau seperti hujan yang menimpa batu licin yang semuanya tak menyisakan apa-apa bagi pelakunya, semua karena penyakit hati yang mengiringi amal baiknya. Wal ‘iyadzu billah..

Semegah apapun pelaksanaan haji, tetaplah yang dinilai adalah keikhlasan dan kesesuaian dengan tuntunan Rasulullah SAW. Sebaik apapun hewan kurban yang mampu dipersembahkan, yang sampai kepada Allah bukanlah daging dan darahnya, tapi besarnya ketakwaan yang menjadi motivasinya. Termasuk puasa dan ibadah lainnya, hanya yang dilandasi iman dan taqwa saja yang diterima di sisi-Nya.

Lalu bagaimana mereka yang belum diberi keluasan untuk berhaji atau berkurban, atau berhalangan melaksanakan puasa karena berbagai kendala yang menimpanya?. Allah Maha luas rahmat-Nya, jika jiwanya ikhlas menerima, hatinya tunduk, pasrah dan tetap menjalankan ketaatan disertai ikhtiar dan kerinduan yang mendalam untuk mencapai kesempurnaan perintah Allah tersebut, sambil berkontribusi dengan apapun yang ia mampu untuk menghidupkan syiar-syiar Allah ini, maka ia layak berbahagia di hari raya Idul Adha nanti, setelah bermujahadah dengan berbagai aktivitas ibadah,  dan bisa jadi nilai taqwa dan pahalanya melebihi sebagian orang yang mampu melakukan perjalanan haji, berkorban, dan berpuasa.

Wallahu a’lam. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pengajar dan penerjemah yang memiliki minat pada issu seputar wanita dan pendidikan.

Lihat Juga

Musibah Pasti Membawa Hikmah

Figure
Organization