Topic
Home / Pemuda / Essay / The Amazing of Amang Cilok, Lebih Dari Sekadar “Cilok”

The Amazing of Amang Cilok, Lebih Dari Sekadar “Cilok”

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (sepedamigunani.tumblr.com)
Ilustrasi. (sepedamigunani.tumblr.com)

dakwatuna.com – “Huaah!”

Kuhembuskan napas keras. Bosan berputar-putar keliling kota kecilku, kuputuskan untuk memarkir motor di masjid kebanggaan kota kami, Syi’arul Islam. Waktu berbuka sebentar lagi tiba. Aku sedang tidak puasa namun kuterima juga takjil yang dibagikan petugas masjid. Sudah beli sepotong roti pizza sama satu sus besar sih. Tapi kita harus memberi kesempatan pada orang lain untuk berbuat baik, right? Dan kulihat masih banyak takjil yang tersisa. Jadi dengan senang hati kuterima, sayang kan kalo mubazir? (alasan, uhuk).

Karena tidak menemukan tempat tertutup, kuputuskan untuk menunggu waktu berbuka sambil membaca.

Totet-Totet-totet!

Mataku mengikuti langkah seorang bapak penjual jajanan yang biasa kupanggil Amang, menuntun sepeda dagangannya lalu parkir tak jauh dari tempatku duduk.

“Cilok?  Woah..” aku merasa bernostalgia dengan masa lalu.

Gerobak dagangnya terlihat sederhana. Beberapa bola-bola yang terbuat dari aci  berisi daging atau telur itu terlihat dari balik kaca di pinggir dandang yang mengepulkan uap beraroma masa kecil. Aku tidak ingat kapan terakhir kali memakannya. Tapi aku ingat betapa aku dulu menyukai jajanan satu itu. Semuanya berubah bukan saat negara api menyerang, lebih tepatnya karena lidahku mulai mengenal rasa fast food dan tak lagi menemukan cilok seenak waktu SD dulu.

Berbagai pertanyaan muncul di benaku seperti ‘kenapa si amang masih mau jualan cilok yang hasilnya gak seberapa?’ atau ‘kenapa gak coba jualan yang lain dan lagi booming kek seblak, capcin, ato cilok inovasi baru, misalnya cilok isi rumput laut mungkin?’ Aku masih berspekulasi dengan pikiran-pikiran yang makin ngaco itu hingga azan maghrib mengalihkan duniaku, tsah. Kulihat Amang tadi meminum air dari botol minumnya dan memakan lontong yang dibekalnya setelah dua orang datang membeli ciloknya. Aku sendiri kekenyangan setelah menghabiskan takjil yang kuterima tadi dan kini  memandang nanar dua tangkup besar roti yang masih tersisa. ‘Allah menyuruh kita jangan berlebihan’. Sebuah suara di kepalaku mengingatkan.

Sebuah ide brilian muncul. Mungkin ini roti ini bukan rezekiku semua. Kudekati amang cilok, berdehem pelan lalu menawarkan kue sus di tanganku. Awalnya beliau menolak. Tapi melihat ekspresi ‘ngenes’ dan sedikit tambahan kalimat ‘Yah.. padahal saya udah kenyang mang, sayang ini mubazir..’ beliau akhirnya luluh dan mau menerimanya juga setelah mengucap terima kasih, hehe..

Sambil makan roti aku kepoin si Amang. Beliau ternyata tinggal tak jauh dari sini. Biasa dagang di sekitar SD dekat taman kota.

“Kalo lagi puasa gini jualannya gimana mang?” Keluar juga hal yang paling membuatku penasaran.

“Ya.. gak seberapa sih neng. Ini juga saya kalo udah waktu tarawih saya simpen dulu. Bubar tarawih baru deh jualan lagi. Mumpung Ramadhan kan ya? Siapa yang tahu tahun depan saya masih bisa tarawihan apa enggak”.

Aku tertegun mendengar jawaban yang mungkin buat beliau biasa tapi bagiku begitu luar biasa.

Setelah itu ia berpamitan padaku untuk shalat, meninggalkan dagangannya tanpa khawatir sementara tak jauh darinya, kulihat pedagang jajanan lain masih adem ayem di tempatnya sambil ngobrol dengan beberapa temannya.

Kuputuskan menunggu amang cilok tadi selesai shalat sambil menunggui gerobaknya. Saat itu banyak hal yang kurenungkan kembali. Dan kalian tahu? Aku merasa malu, sangat malu.

Bukankah ada beberapa hadis tentang keutamaan bekerja keras yang pernah kaubaca dulu? Bahwa ada beberapa dosa yang hanya bisa diampuni dengan bekerja keras, bahwa orang yang bekerja keras agar tidak meminta-minta lebih utama, bisa mendapatkan surga, dan termasuk jihad fisabilillah selama prosesnya halal.

 Bukankah si amang ini lebih baik dan lebih mulia dari para tikus kantor yang tega mengambil hak rakyat kecil?

Dan sungguh, amang cilok ini jauh lebih hebat dari seorang mahasiswa yang masih jadi beban orang tua dan negara!

‘Itulah aku  saat ini’ jawabku. Suara dalam hatiku itu seketika terdiam mengamini.

Setelah berbincang kembali dengan amang yang ternyata sangat ramah itu, aku pulang dengan senyuman dan doa untuk usahanya. Aku bersyukur bisa pulang dengan sebongkah hikmah dan seplastik kecil cilok. Ini beli loh ya, bukan dikasih. Mungkin amang cilok tadi merasa aku telah menjadi salah satu perantara rezekinya, tapi sesungguhnya beliaulah yang memberiku lebih.

Jazakallah khairan katsira, Ganbatte Amang! (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Salah satu anak pendidikan Sejarah UPI 2014 yang hobi lintas alam.

Lihat Juga

Arie Untung: Emak-Emak Pelopor Utama Pemasaran Produk Halal

Figure
Organization