Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Laila Majnun dan Lailatul Qadr

Laila Majnun dan Lailatul Qadr

Ilustrasi. (buzzerg.com)
Ilustrasi. (buzzerg.com)

dakwatuna.com – Qais bin Mulawwah, si Gila dalam epik “Laila Majnun”, tak kunjung berhasil melupakan Laila walaupun jodoh tak mempertemukan mereka. Maklumlah, Laila telah dipersunting laki-laki lain atas perintah orang tuanya.

Semakin hari, Qais pun makin rapuh. Namun, cintanya tak pernah pudar. Maka, ketika mendengar kabar Laila sakit, Qais ikut merasakannya.

Dia menulis,

يَقُوْلوُنَ لَيْلَى بِالْعِرَاقِ مَرِيْضَةٌ * فَأقْبَلْتُ مِنْ مِصْرَ إليْهَا أعُوْدُهَا

فَوَاللهِ مَا أدْرِي إذَا أنَا جِئْتُهَا * أَأُبْرِئُهَا مِنْ دَائِهَا أمْ أزِيدُهَا

Mereka mengabarkan, Laila di Irak tengah sakit * Aku (memutuskan) kembali dari Mesir untuk menjenguknya

Demi Allah, aku tak tahu jika aku mengunjunginya *

Apakah aku membantu membebaskannya dari rasa sakit, atau justru menambahkannya.

Maklum, cinta Qais dan Laila telah tumbuh sejak masa kanak-kanak. Keduanya melalui masa kecil bersama. Namun, perjalanan hidup memisahkan mereka. Qais menulis:

تعَلَّقتُ لَيْلَى وهْيَ غِرٌّ صَغِيرَة ٌ * ولم يَبْدُ لِلأترابِ من ثَدْيها حَجْمُ

صَغِيرَيْنِ نَرْعَى البَهْمَ يا لَيْتَ أنَّنَا * إلى اليوم لم نكبر ولم تكبر البهم

Aku mengagumi Laila saat ia bermain boneka; seorang anak kecil * bahkan gundukan pasir debu lebih besar dari ukuran payudaranya

Kami adalah dua anak kecil yang merawat domba bersama; Andai kami * hingga hari ini tak pernah menjadi dewasa; dan domba-domba itu pun tak pernah menjadi tua

Sedemikian dahsyat cintanya itu, Qais menulis dengan dibumbui pesan agama:

وَجَدْتُ الحبَّ نِيرَاناً تَلَظَّى * قُلوبُ الْعَاشَقِينَ لَهَا وَقودُ

فلو كانت إذا احترقت تفانت * ولكن كلما احترقت تعود

كأهْل النَّار إذْ نضِجَتْ جُلُودٌ * أُعِيدَتْ-لِلشَّقَاءِ- لَهُمْ جُلُودُ

Aku mendapati cinta (bagaikan) api yang menyala * Dua hati sejoli  adalah bahan bakarnya

Seharusnya, jika telah terbakar punahlah ia * Namun, semakin sering terbakar, ia justru kembali sedia lagi

Demikianlah penduduk neraka (kelak) apabila terpanggang kulit mereka * dikembalikan (Allah) sehingga mereka berbungkus kulit (lagi).

Demi melihat anaknya tak kunjung bisa melupakan Laila, orang tua Qais mengirimnya ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Mereka berharap, barangkali di Mekah dia bisa menemukan belahan jiwa lainnya dan melupakan Laila. Namun, Qais justru menulis:

ياَ رَبِ إِنَكَ ذُوْ مَنََ وَمَغْفِرَةََ * بيت بِعَافِيَة ليل المُحْبينا

الذاكرينَ الهَوَى مِنْ بَعدِها رقدُوا * السَاقِطِينَ عَلى الأيدي المكبينا

يَا رَبِ لاَ تسْلُبَنِّي حُبَّها أبداً * وَيَرْحَمُ اللّه عَبْداً قالَ آمينََا

Wahai Tuhanku, Engkaulah pemilik rahmat dan ampunan * pemilik rumah (Ka’bah) doaku agar Laila selalu dalam belaian cinta

(dan) mereka yang terlena di buaian nafsu kini tengah tertidur * terjatuh di pelukan tangan-tangan penuh keangkuhan

Wahai Tuhanku, janganlah pernah Kau hancurkan cintaku darinya * semoga Allah merahmati setiap hamba yang ikut mengucapkan  “amin”.

Setiap kali diingatkan orang lain, untuk apa terus mengingat Laila, toh dia sudah tak mengingatmu, tak mungkin jadi milikmu, bahkan mungkin tak pernah peduli denganmu,  Qais justru menulis,

فَلوْ كُنْتِ مَاءً كُنْتِ مَنْ مَاء مُزْنَة ٍ * وَلَو كُنْتِ نَوْمَاً كُنْتِ مِنْ غَفْوَة الفَجر

وَلَوْ كُنْتِ لَيْلاً كُنْتِ لَيْلَ تَوَاصُلٍ * وَلَوْ كُنْتِ نَجْماً كُنْتِ بَدْرَ الدُّجَى يَسْرِي

عليك سلام الله ياغاية المنى*** وَقاتِلَتي حَتَّى الْقِيَامَة ِ وَالْحشْرِ

Ibarat air, kau adalah kejernihan(ku) yang mengalir * Ibarat tidur, kau adalah lelap(ku) hingga fajar

Ibarat malam, kau adalah ketenangan(ku) yang terus bersambung * Ibarat bulan, kau adalah purnama yang menawan dengan keindahan

Untukmu kedamaian Allah, wahai yang menjadi impianku *(cintamu) membunuhku hingga hari kiamat dan berbangkit kelak

Di lain kesempatan, dia menulis:

يَقُولُونَ لَيْلِى عَذَبَتْكَ بِحُبِّهَا * ألَاَ حُبْذًا ذَاكَ الْحَبِيبِ الْمُعَذَّبُ

Mereka berkata, Laila mengazabmu dengan terus mencintainya * Bukankah sebaik-baik cinta adalah yang mendatangkan penasaran

Dia juga menulis,

أُحِبُّكِ حبّاً لو تُحبِّين مثلَه * أَصَابَكِ منْ وَجْدٍ عليَّ جنونُ

وَصِرتُ بِقَلبٍ عاشَ أَمّا نَهارُهُ * فَحُزنٌ وَأَمّا لَيلُهُ فَأَنينُ

Aku mencintaimu yang sekiranya engkau merasakannya

seperti aku * niscaya engkau akan menjadi gila karenanya.

Demikianlah, aku hidup dengan jiwa yang pada siang hari * dipenuhi kegundahan dan malam hari berselimut impian

Pada bulan Ramadhan, saat orang-orang berbicara tentang keutamaan puasa dan malam lailatul qadr, Qais pun menulis keagungan lailatul qadr, namun tetap dengan pendekatan cintanya pada Laila.

Dia menulis,

بَلَى والَّذِي نَادَى مِنَ الطُّورِ عَبْدَهُ .*** وَعَظَم أياَمَ الذَبِيحَةِ وَالنَحْرِ

لَقَدْ فَضَلْتُ لَيْلِى عَلَى النَاسِ مِثْلَ مَا * عَلَى ألفِ شَهْرِ فضلت ليلةُ الْقَدَرِ

Ketahuilah, demi Tuhan yang memanggil hamba-Nya (Musa) di bukit Tursina * dan mengagungkan hari-hari penyembelihan (Idul Adha)

Kekagumanku pada Laila dibandingkan seluruh gadis di dunia ini * adalah bagaikan seribu bulan terkalahkan oleh satu malam lailatul qadr

Akhirnya, Qais bin Mulawwah divonis gila. Dia hidup terlunta-lunta di padang pasir. Puisi-puisi yang saya kutip di atas, ditemukan para ahli sastra bukan di kertas atau buku yang rapi, tapi di pelepah kurma dan bebatuan yang dicoret-coretnya.

Si gila itu telah mengajarkan satu hal; bahwa sastra dan cinta adalah bahasa universal yang dimiliki setiap anak manusia.

Wallahu’alam. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization