Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Bu, Aku Menyayangimu

Bu, Aku Menyayangimu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (islamicartdb.com)
Ilustrasi. (islamicartdb.com)

dakwatuna.com – Ibu mulai mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari pria Jawa pilihan kakekku itu. Dari mulai kekerasan verbal sampai non verbal, dari mulai hinaan dan cacian sudah ibu nikmati dari ayahku walaupun ibu harus menghidupi semuanya sendiri karena ayah yang sudah tidak berkerja, ibu ikhlas demi anak- anaknya. Ibu bertahan hanya demi aku dan kakakku. Sekeras apapun hantaman ombak dari pria serigala itu, ibu masih bisa menikmatinya sendiri, tak perlu ada yang tahu, tak perlu ada merasakan, cukup ibu yang mengalami. Ibu tidak mau aku tahu…

Ibuku perempuan yang dibesarkan di keluarga berpendidikan, kakekku seorang Kepala sekolah di salah satu sekolah di Bogor. Ibu lahir ditengah-tengah keluarga besar, ayah dan ibunya melahirkan 13 anak dan ibu anak ke enam, mungkin pada tahun itu mempunyai banyak anak merupakan hal yang lumrah. Ibu lahir di Bogor, 6 Januari 1962. Kakek dan nenekku mendidik ibu dan saudara-saudaranya dengan keras.

“Kakek mendidik ibu agar ibu menjadi perempuan berkepribadian kuat dan mandiri, ibu dibiasakan untuk mengerjakan semuanya sendiri,” cerita malaikat tanpa sayapku di sudut malam. Ayahku sangat melarang untuk menggunakan pakaian yang minim dan selalu mengingatkanku akan kewajiban aku untuk menyembah Penguasa Semesta. Ayah orang yang sangat keras dalam mendidik anak-anaknya berbeda halnya dengan ibu yang sangat lembut dan semua itu sangat mengimbangi perkembanganku. Aku tumbuh menjadi perempuan yang mandiri yang berpegang teguh bahwa pendidikan lebih penting dari apapun.

Ibu menikah dengan ayah saat ia berusia 25 tahun pada tanggal 6 April 1985, usia yang pada saat itu mungkin dibilang perawan tua. Setelah menikah, ibu memutuskan untuk tinggal mandiri tanpa ayah dan ibunya lagi. Ibu tinggal di sebuah kontrakan kecil berukuran 3×5 meter. Ibu mengabdi di salah satu Sekolah Dasar di Bogor dan ayah bekerja sebagai pegawai di sebuah kantor tekstil di Bogor. Setahun setelah ibu menikah dengan pria yang begitu ia cintai, ibu dikaruniai anak perempuan yang lahir 20 Mei 1986.

Setelah setahun aku tidur di kontrakan kecil aku pindah ke sebuah perumahan yang ada di Bogor, tidak terlalu besar namun bisa melindungi dan menjadi saksi bisu dalam kehidupanku dengan keluargaku. Kehidupanku begitu tentram dan sejahtera, aku percaya ini semua hasil dari doa-doa orang tuaku yang Tuhan kabulkan. Hari ke hari berlalu menjadi tahun, kehidupanku semakin mencukupi dan dapat memenuhi semua kebutuhan keluarga kecilku.

Sepuluh tahun ibu membesarkan kakakku dan berniat memberikan adik untuknya karena ibu merindukan rengekkan bayi di dalam rumah. Setelah berusaha akhirnya ibu dan ayah dikarunia lagi buah hati, aku lahir! “Ingin hati mempunyai jagoan apa daya Tuhan memberikan Ibu buah hati yang cantik pada tanggal 23 Maret 1996,” ujarnya sembari memelukku didinginnya malam. Aku begitu bahagia, dulu.

Sampai di mana hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, ayah memilih pensiun dini karena ingin mengikuti suatu Multi Level Marketing. Niat hati agar bisa sukses, ayah justru ditipu puluhan juta oleh rekan bisnisnya. Hal itu membuat perekonomian keluargaku berangsur-angsur melemah. Dari situ perpecahan mulai melukai dinding rumah, ayah yang ku pikir lembut selembut angsa berubah menjadi sekasar serigala.

Ibu mulai mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari pria yang ku sebut “ayah” itu. Dari mulai kekerasan verbal sampai non verbal, dari mulai hinaan dan cacian sudah ibu nikmati walaupun ibu harus menghidupi semuanya sendiri karena ayah yang sudah tidak berkerja, ibu ikhlas demi anak- anaknya. Sekeras apapun hantaman ombak dari pria serigala itu ibu masih bisa menikmatinya sendiri, tak perlu ada yang tahu, tak perlu ada yang merasakan, cukup ibu yang mengalami. Ibu tidak mau aku tahu…

Serapat apapun ibu menutupinya akhirnya aku tahu bagaimana sikap ayah yang ia dambakan selama ini. Ayah yang aku pikirkan sebagai pria yang berwibawa, mengayomi, mendidik dan melindungi layaknya figur ayah pada umumnya. Sakit hati yang ibu rasakan tidak melebihi ketika saat anak-anaknya mengetahui bahwa ayah ibunya berpisah. Sakit? Tapi harus, aku dididik untuk menjadi perempuan tegar dan tidak mau ditindas terus menerus.

Sampai akhirnya ibu benar-benar berpisah oleh pria pilihan kakekku. Sumpah! aku tidak menyalahkan siapapun, aku tidak menyalahkan kakekku, yang aku tahu ini memang sudah menjadi garis yang ditetapkan oleh Tuhan Penguasa Semesta. Sampai dititik ibu berpisah, kakek dan nenekku tetap tidak mengetahuinya, umur dan penyakit menua menjadi hal yang harus ibu pikirkan sebelum menceritakan semuanya.

Aku bisa apa? Aku hanya seorang diri, mencoba agar bisa ikut menerima dan memahami keadaan yang mungkin masih terlalu dini untuk aku merasakannya. Kadang aku merasa Tuhan tidak adil, mengapa harus aku dan ibu? Mengapa bukan orang lain saja. Namun satu yang aku pahami Tuhan memilihku karena Dia tahu aku dan ibu adalah perempuan terpilih yang istimewa dan Tuhan yakin ibu bisa menghadapinya.

Jatuh bangun sudah ibu rasakan, getirnya hidup sudah tak asing lagi. Aku mulai bangkit dari keterpurukan. Kini aku hanya mempunyai satu satunya malaikat cantik yang akan aku bahagiakan. “Mungkin kini tugasku sudah selesai, aku kini hanya memasrahkan sisa hidupku untuk Penciptaku dan menyerahkan sisa hidupku untuk dua permataku,” lirih doa ibu di ujung malam ketika ia mengadu pada Sang Maha Kuasa. Aku yakin ibu adalah perempuan yang kuat. Semangat ibu, aku menyanyangimu! (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Anak bungsu dari 2 bersaudara, sekarang masih mengemban pendidikan di salah satu Universitas Negeri di Depok. Senang sekali membaca novel dan menulis.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization