Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Negeri Burung Garuda

Negeri Burung Garuda

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (dakwatuna/hdn)
Ilustrasi. (dakwatuna/hdn)

dakwatuna.com – Matahari masih malu pagi itu. Namun si Bocah SD sudah bersemangat untuk belajar ke rumah gurunya. Di saat belajar, Kata gurunya, burung garuda hamil ayam horn. Bagaimana bisa? Acapnya burung garuda yang bertelur, telurnya keluar, terus menetas garuda pula. Nah, kalau hamil kan tidak usah pakai cangkang telur, langsung keluar seperti manusia. Atau mungkin telurnya menetas di dalam perut seperti sebagian makhluk reptilia. Ah, telur atau bukan telur tidak penting. Tapi yang terpenting bagi bocah SD itu, bagaimana ceritanya burung garuda bisa hamil ayam horn.

Selidik punya selidik, si Bocah SD ini menemukan fakta baru yang oleh gurunya tidak disampaikan di ruang kelas – Kita acungin jempol sama Bocah ini yang sudah susah payah masuk perpustakaan untuk ngecek kebenaran berita dari pak guru-. Fakta sesungguhnya, ternyata ayam horn yang digosipkan sebagai anak burung garuda bukanlah anak kandung. Tapi anak tiri. Perihal penggunaan redaksi “hamil” hanya ingin menunjukkan kecintaan yang berlebih burung garuda kepada ayam horn.

Di samping fakta tersebut, Bocah SD ini juga menemukan fakta bahwa ayam horn tersebut bukan dari kerajaan burung garuda. Tapi produk impor dari kerajaan tetangga. Weleh-weleh, udah anak tiri, impor, tapi burung garuda malah lebih perhatian sama ayam horn ini. Padahal, burung garuda ini menduduki kursi raja di kerajaan nusantara lho.

Perhatian yang berlebih tersebut, bisa kita saksikan melalui kebijakan-kebijakan burung garuda yang sangat menguntungkan ayam horn. Pertama, burung garuda memberikan lahan yang luas kepada ayam horn untuk membangun  wisma, hotel, pabrik, jalan tol, restoran mahal dan bisnis-bisnis menguntungkan lainnya. Masalahnya, dengan kebijakan tersebut, ayam kampung, sebagai penduduk asli kerajaan nusantara, merasa terpinggirkan.

Tidak hanya terpinggirkan, kandang mereka digusur. Sawah tempat mereka memungut bulir padi, digusur. Dirubah menjadi jalan tol. Lapangan untuk main anak-anak ayam kampung, juga digusur. Dirubah manjadi pusat properti oleh ayam horn. Bahkan laut, yang biasa dijadikan tempat wisata oleh ayam-ayam kampung, turut diuruk oleh ayam horn, untuk kemudian dijadikan apartemen-apartemen mewah sebagai tempat tinggal ayam-ayam horn yang akan diimpor lagi oleh pemerintah burung garuda. Aduh, apes bener jadi ayam kampung.

Keapesan ayam kampung ternyata belum tuntas. Sekarang, ayam kampung tidak punya tempat tinggal yang tetap. Efeknya, mereka tidur di mana-mana. Ada yang di atas pohon mahoni, pohon jati, pohon akasia, pohon melinjo, dan pohon-pohon lainnya. Otomatis, dengan tidur di tempat seperti itu, jika hujan turun akan kehujanan. Kalau ada angin kencang mereka pada jatuh semua dari pohon. Apes memang jadi ayam kampung, kata mereka.

Suatu ketika, karena ayam-ayam kampung ini sudah muak dengan kebijakan burung garuda yang begitu baik terhadap ayam horn, mereka merencanakan aksi demo ke depan istana burung garuda. Dengan persiapan yang matang, ayam kampung dari beberapa keresidenan dari kerajaan nusantara dipanggil untuk ikut menyuarakan protes. Massa terkumpul, dan aksi akan segera dimulai.

Mulanya, massa long march dari tugu kucing menuju utara, ke arah istana nusantara, tempat burung garuda bercokol di atas dinding. Namun, 100 meter sebelum mereka sampai, para ayam kampung dihadang oleh pasukan bebek. Sambil beryel-yel “wek wek wek” pasukan bebek membuat barikade pagar betis. Ayam kampung tak gentar, sambil terus meneriakkan tuntutan “Ganyang politisi busuk, ganyang pengusaha hitam, ganyang pejabat korup” ayam kampung terus maju ke arah pasukan bebek.

Namun, apa daya ayam kampung menghadapi pasukan bebek. Pasukan bebek memang sudah dilatih untuk menuruti permintaan burung garuda. Bukan untuk memberi perlindungan kepada ayam kampung. Di samping itu, bebek memang terkenal patuh dengan perintah tuannya. Kalau pagi digiring ke sawah atau sungai, berbaris lurus, rapi, sambil terus menyuarakan yel-yel “wek wek wek wek wek”. Kalau sudah sore, digiring ke kandang. Sambil wek wek wek pula. Saya pikir, nggak capek apa wek-wekan terus.

Karena sudah tertahan, mau apa lagi. Ayam kampung hanya bisa terima. Namun tetap melanjutkan orasinya. Dalam orasinya, ketua persyarikatan ayam-ayam kampung se-nusantara meminta burung garuda untuk merluruskan jalan reformasi. Perlu diketahui, reformasi  adalah jerih payah para ayam kampung pada tahun 1998. Karena reformasi inilah, burung garuda bisa bertengger di dinding istana nusantara.

Namun burung garuda lupa. Tidak insaf juga. Politisi busuk dipelihara, seperti para laba-laba. Pengusaha hitam dimanja, seperti ayam horn. Pejabat korup dibiarkan senang-senang, seperti para musang pencuri pisang petani.

Apes-apes-apes, begitulah ayam kampung menangisi keadaanya. Pusing. Bagaimana bertahan hidup. Pusing kerajaannya dirusak oleh orang-orang bejat dan rakus. Pusing pula dengan burung garuda yang santai-santai saja dengan keadaan ayam kampung, rakyatnya yang asli.

–00—

Setelah mendapatkan fakta yang sesungguhnya, Bocah SD ini senang sekali. Menjadi paham terhadap sikap burung garuda kepada anak tirinya, ayam horn. Bocah SD ini kemudian berdo’a, mengangkat tangannya ke arah kiblat, di saat matahari mulai pulang ke peraduan “Ya Allah, ya Tuhan kami, ampunilah kami, berilah kesabaran kepada para ayam kampung, gantilah rumah-rumah mereka, ladang-ladang mereka, dengan rumah dan ladang di surga-Mu, Ya Allah. Amin”

Bocah SD ini pun pulang ke rumah diiringi cahaya kekuningan mentari di ufuk barat setelah seharian mencari fakta di perpustakaan sekolah.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumni Ponpes Maskumambang Gresik, Jatim. Kader Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Jakarta.

Lihat Juga

Muhasabah, Kebaikan untuk Negeri

Figure
Organization