Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Jangan Mengeluh, La Yukalifullahu Nafsan Illa Wus’ahha

Jangan Mengeluh, La Yukalifullahu Nafsan Illa Wus’ahha

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com

Taukah kamu?
Bahwa hidup tidak dihitung dari jumlah peluh yang mengalir di pelipismu
Hidup, terhitung dari seberapa banyak ikhlas yang kamu rajut
Dan bisa terasa hangatnya oleh orang lain tanpa kamu mengatakannya

**

Suatu hari seperti awan kelabu, seorang aktifis wanita duduk di pelataran masjid kampus yang sepi. Jam menunjukan pukul empat sore.  Ia melepas jaket organisasinya dengan kesal sambil mengatakan pada sahabatnya tentang keadaan hatinya.

“Hari ini aku lelah, aku ingin berhenti dari pergerakan ini. Segalanya menuntut prioritasku, kehadiranku dan kontribusiku tanpa peduli dengan keadaanku, serta kondisi yang ku alami.” Ia menangis sesegukan dengan mata yang sungguh merah dan bengkak. “Aku merasakan seolah hanya aku yang seberdarah-darah ini, hanya aku yang tertinggal pelajarannya, hanya aku yang rela diseperti inikan”

“Ya sudah, buang saja jaket itu, jangan dipakai lagi. Menghilanglah dari peredaran jika kamu kecewa”, ujar sahabatnya.

Wanita itu menggeleng “Aku tidak ingin berada di barisan sakit hati”

Sahabatnya justru langsung bergerak dan mengambil jaket merah hati berlogo organisasi yang diikutinya. Kaki lenjang yang tertutupi rok cokelat bergegas menuruni tangga, dan membuangnya ke tempat sampah, jika tidak langsung wanita itu mengejarnya dan merebut jaket itu. Dipeluknya jaket yang hampir dibuang itu.

“Kenapa denganmu??” tanyanya pada sahabatnya yang hampir saja membuang jaket kesayangannya.

“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa denganmu?.”

“Tidak usah sampai membuang jaket ini, kamu keterlaluan!”

“Kamu mengganggapku keterlaluan? Padahal aku hanya peduli padamu. Kamu menganggap kamu yang berdarah-darah sendirian, padahal mungkin banyak yang ingin membantumu, hanya saja mereka bingung ingin membantu seperti apa karena hanya kamu yang mengerti cara melakukannya. Kamu menganggap mereka tak mau melakukannya, padahal kamu sendiri tidak pernah menjelaskan secara lengkap pada mereka bagaimana cara melakukannya. Intinya sekarang bukan pada lelahmu, tapi pada prasangka buruk yang ada di hatimu. Pada ikhlas yang seringkali kamu katakan untuk diketahui. Pada kesempurnaan yang selalu kamu harapkan untuk dilihat orang lain dari dirimu”

“Dan jaket ini adalah sebagian dari kesempurnaan yang selalu kamu banggakan”

Wanita itu menunduk, air matanya jatuh kali ini dengan nafas yang begitu tenang. Ia memandang sahabatnya dengan tatapan menyerah kalah.

Sadarkah wahai hati, yang kadang selalu memenangkan pandangan diri? Mengira ikhlas padahal tidak. Mengira mereka jahat padahal tidak. Mengira keadaan tak berpihak pada hidup, padahal hati dan jiwa lah yang tak pernah benar-benar hidup untuk memahami keadaan.

**

Mungkin saat ini hati menjadi yang terlalu sering berburuk sangka, hingga melihat saudaranya dengan tulus, tanpa tujuan lain selain tentang amanah pun enggan. Menjadi hati yang terlalu sering membuat orang lain bertanya-tanya harus melakukan apa. Menjadi hati yang selalu menilai apa yang bisa kita lakukan dan tidak bisa mereka lakukan. Hati yang selalu ingin dinilai dari apa yang sudah dilakukannya. Hati yang seringkali lupa, bahwa hidup ini bukan hanya tentang penilaian.

“Aku tidak ingin kamu atau aku menjadi penebar duri” ujar sahabatnya sambil memeluk wanita itu yang kini telah rapih kembali dengan jaket organisasi di badannya. “Para penebar duri mengisi kehidupan mereka dengan sebuah tugas maha penting yang mereka lakukan, untuk mengecilkan orang lain yang tidak melakukan sepertinya. Mereka ada untuk menyampaikan kelemahan-kelemahan yang ada pada seseorang dan membuat orang lain percaya bahwa selain dirinya tak layak dan tak punya kebaikan. Mereka mengungkapkan sejuta hal untuk meyakinkan seorang sahabat bahwa orang lain selain dirinya yang tak berkontribusi tertakdir menjadi sampah. Mereka membawakan segala mimpi buruk untuk dirinya sendiri di masa depan”

“Percayalah, apa yang telah kita dapatkan sekarang adalah apa yang terbaik, jika mungkin bukan untuk sekarang, mungkin untuk masa depan kelak. Amanah apapun yang kita emban bukanlah sesuatu yang memberatkan, karena esensinya adalah pembelajaran yang tak pernah putus tentang bagaimana cara memahami diri kita sendiri dalam menghadapi berbagai tekanan. Dari setiap amanah kita belajar, bukan dari setiap amanah kita mengeluh berat. Karena mengeluh bukanlah penyelesaian, namun hanya pelengkap lelah dan beban yang menukar rasa syukur dengan penyesalan.” Sahabatnya  menyeka air mata wanita itu dengan perlahan. Dengan haru wanita itu tersenyum, senyuman terimakasih yang begitu pedih.

“Terimakasih telah menjadi yang masih memeluk di saat tau siapa aku sebenarnya, di saat ternyata ada ketidaktulusan di hatiku, ada noda yang mungkin telah berkarat.. terimakasih karena selalu mengingatkan, meski nyatanya iman ini masih saja terus berlubang-lubang”

“Sabar.. imanku juga belum sesempurna yang ada dalam pandanganmu, tapi Allah selalu menutup aib kita, memeluk keluh demi keluh kita. Mengeluhlah hanya padaNya, sesungguhnya dia tidak akan membebankan beban yang berat di luar kemampuan kita. Jangan mengeluh di depan manusia, jangan mengeluh pada diri sendiri, kasihanilah hati dengan hanya mengeluh padaNya. Allah menyukai hambaNya yang kuat di hadapan manusia, tapi lemah di atas sajadah saat menghadapNya.”

Jangan Mengeluh, La Yukalifullahu Nafsan Illa Wus’ahha

Jika masih mengeluh tanyakan ikhlasmu. Bukankah ikhlas adalah korelasi yang paling kuat untuk mengukur kadar keluh dan kadar syukur? (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswi.

Lihat Juga

Mengeluh Bukan Solusi

Figure
Organization